Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang mengingatkan bekas ratu kecantikan Thailand, Thawinan Khongkran, pada masa lalunya. Ia sering menatap dan berbicara di depan kamera. Sejak Komandan Angkatan Darat Jenderal Sonthi Boonyaratkalin mendepak Perdana Menteri Thaksin Shinawatra lewat kudeta tak berdarah dua pekan lalu, Thawinan setiap saat harus siap muncul memamerkan paras eloknya di layar televisi.
Thawinan sejak beberapa tahun lalu memang bekerja sebagai pejabat hubungan masyarakat di televisi milik militer Thailand itu. Kini, perempuan yang mengenakan mahkota Miss Asia 1987 ini tak keberatan mendapat tugas tambahan dari bosnya, para jenderal: membacakan pengumuman yang dilansir junta militer. ”Suatu kehormatan bagi saya melakukan pekerjaan yang terbaik,” ujarnya.
Menurut Karuna Buakamsri, pembawa acara kondang stasiun televisi Channel 11, pilihan junta terhadap Thawinan logis saja. ”Dengan menggunakan perempuan sebagai pengganti orang tua (para jenderal), harapannya bisa melunakkan citra mereka,” katanya.
Junta militer yang kini menamakan diri Dewan untuk Reformasi Demokratik di Bawah Monarki Konstitusional (CDRM) ini memang sedang sibuk menangkis kecaman dari negara Barat maupun dari pengkritiknya di dalam negeri, karena kudeta dianggap bukan merupakan cara beradab untuk mengganti rezim yang antidemokrasi sekalipun. Bahkan Amerika Serikat, Jumat pekan lalu, menghukum junta dengan menunda bantuan militer sebesar US$ 24 juta (Rp 228 miliar). ”Bagi orang luar, kudeta adalah kudeta. Tak ada kudeta yang baik,” kata bekas Menteri Luar Negeri Surin Pitsuwan.
Apalagi kemudian rezim militer menerapkan hukum darurat perang yang merampas sejumlah kebebasan sipil, semisal larangan berkumpul lebih dari lima orang, dan sensor media massa. Kamis pekan lalu juga muncul rancangan konstitusi sementara yang memberi hak kepada junta memecat perdana menteri sipil yang mereka pilih. Esoknya, junta memilih Surayud Chulanont, 62 tahun, pensiunan jenderal bekas komandan angkatan darat, selaku perdana menteri. Rancangan konstitusi ini dinilai junta tak berniat memulihkan pemerintahan sipil. ”Kami tak memiliki hak asasi kini,” ujar Ji Ungpakorn, penggiat Jaringan Menentang Kudeta.
Toh, militer tak kekurangan akal untuk melunakkan hati kelas menengah kota. Corong radio militer kini rajin menyiarkan instruksi agar tentara rajin menebar senyum kepada masyarakat. Pada tataran tertentu, upaya memoles citra wajah garang tentara agar lebih ramah memang berhasil. Dari pendeta Buddha hingga remaja ABG melepas senyum menanti jepretan kamera telepon seluler di depan tank atau bersama tentara yang menyandang senjata mesin.
Tapi kelompok masyarakat yang vokal semacam Ji Ungpakorn tentu tak luluh diumpan dengan senyum tentara, atau wajah elok bekas ratu kecantikan Thawinan Khongkran di televisi. Buktinya, sudah dua kali demonstrasi mahasiswa menentang kudeta. Demonstrasi pertama berlangsung di pusat belanja dua pekan lalu. Mereka mengusung poster bertuliskan ”Tidak untuk Thaksin. Tidak untuk Kudeta”.
Demonstrasi kedua di kampus kondang Universitas Thammasat. Mereka merentang spanduk yang mengejek junta militer dengan tulisan ”Dewan Militer Gila dan Menggelikan”. Tapi militer tak mengusik demonstrasi ini, meski jelas melanggar larangan berkumpul lebih dari lima orang. Namun, junta militer tak mau ambil risiko. ”Tak ada demonstrasi lagi yang ditoleransi,” ujar Jenderal Thawip Netniyom, juru bicara junta militer.
Bagi analis politik, benturan lebih terbuka hanya soal waktu. Apalagi pergolakan mahasiswa menentang kudeta militer bukan barang baru di Thailand. Suatu ketika militer dan pengritik kudeta akan melampaui toleransi masing-masing, dan saat itulah bentrokan tak akan terhindarkan.
Maka, Jenderal Sonthi dan kolega militernya perlu menunjukkan kudeta bermanfaat bagi rakyat Thailand. Belakangan ia sering menunjukkan borok bekas perdana menteri Thaksin. ”Lihat, tak ada demokrasi di bawah pemerintahan Thaksin,” ujar Surin Pitsuwan, bekas Menteri Luar Negeri tadi.
Junta militer memang sedang menyodorkan bukti-bukti: seburuk apa pun suatu kudeta, ia diperlukan jika semua cara demokratis sudah mentok. Maka, para jenderal kini sibuk menyudutkan Thaksin dan jajaran pemerintahnya dengan tuduhan korupsi. Prioritas utama junta adalah pemberantasan korupsi dan penulisan ulang konstitusi untuk menghindari Thaksin kembali berkuasa.
Pemerintah baru yang menyebut dirinya Dewan untuk Reformasi Demokratik di Bawah Monarki Konstitusional (CDRM) menghidupkan kembali Komisi Anti-Korupsi setelah dibubarkan Thaksin pada 2001. Junta menunjuk sembilan orang memimpin Komisi Nasional Melawan Korupsi untuk menyidik korupsi di bawah pemerintahan Thaksin.
Loket pengaduan Komisi Anti-Korupsi pun kini dibuka kembali sejak Senin pekan lalu. Dalam waktu singkat komisi ini berhasil mengumpulkan 10 ribu tuduhan penyuapan. ”Kami menghadapi berton-ton dokumen dan 10 ribu kasus yang belum dituntaskan,” ujar juru bicara junta. Komisi juga mengharuskan bekas pejabat pada masa Perdana Menteri Thaksin mengumumkan kekayaan mereka dalam waktu 30 hari.
Komisi juga diberi keleluasaan mengusut anggota keluarga Thaksin dan lingkaran dalam. Mereka diberi kekuasaan membekukan dan menyita kekayaan yang diduga hasil korupsi. ”Ada bukti yang cukup untuk mempercayai bahwa anggota bekas pemerintah mencederai kekuasaan mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi,” kata juru bicara junta dalam siaran malam televisi.
Sebagai sasaran awal, Komisi Anti-Korupsi akan memusatkan perhatian pada skandal penjualan perusahaan keluarga Thaksin, Shin Corp., kepada perusahaan pemerintah Singapura, Temasek Holding. Keluarga Thaksin menikmati keuntungan penjualan sebesar US$ 1,9 miliar (Rp 1,8 triliun) tanpa sepeser pun membayar pajak.
Selain kasus kakap yang sarat dengan nuansa politik itu, Komisi sudah siap menggarap tuduhan pembelian curang perangkat pemindai di bandara Bangkok dan perlengkapan konstruksi untuk jaringan transpor ke ibu kota. Menurut Auditor Jenderal, Jaruvan Maintaka, ada sekitar sembilan orang pejabat era Thaksin yang akan didakwa.
Politisi Partai Thai Rak Thai yang dipimpin Thaksin pun segera menjadi sasaran tembak. ”Jika kami menemukan bukti mereka mencoba mentransfer kekayaan ke luar negeri, kami akan membekukan aset mereka,” kata Sawat Chotiphanit, Ketua Komisi Anti-Korupsi. Maklum, setelah kudeta, muncul spekulasi bahwa Thaksin dan keluarganya menyelundupkan kekayaan mereka ke luar negeri pada awal September.
Thaksin meninggalkan Thailand untuk sejumlah kunjungan selama 10 hari sebelum kudeta, dan kemudian satu penerbangan dari Bangkok membawa pejabat untuk pertemuan negara non-blok di Kuba. ”Penerbangan itu berangkat dari bandara militer, dan jumlah koper tidak biasanya,” ujar Kapten Montol Suchookorn, juru bicara Angkatan Udara Kerajaan.
Dalam satu pernyataan, Thai Airways menyatakan: 28 pejabat pemerintah dengan 40 kopernya berangkat dalam penerbangan kedua pada 14 September yang dicarter kantor perdana menteri. ”Kami tahu ada lusinan tas, tapi kami tak punya otoritas membuka koper untuk memeriksa isinya, terutama untuk tamu VIP semacam perdana menteri,” ujar juru bicara Theerasin Saengrungsri.
Bagi analis politik, tindakan junta berupaya membongkar kasus korupsi Thaksin dan pejabat dalam pemerintahnya sama dengan keputusan junta menggunakan bekas ratu kecantikan Thailand, Thawinan Khongkran. Yakni, untuk memoles citra junta militer. ”Satu alasan untuk membenarkan kudeta adalah korupsi,” ujar pengamat politik Thitinan Pongsudhirak dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok.
Selain itu, katanya, untuk meyakinkan agar Thaksin tak kembali ke Thailand. Jika Thaksin nekat, junta sudah menyiapkan pengadilan.
Raihul Fadjri (The Nation, Washington Post, AFP, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo