Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Thailand Pasca-Kudeta

2 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yuli Ismartono

  • Wartawan Tempo

    DUA pekan setelah kudeta militer yang dipimpin Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Sonthi Boonyaratkalin, kehidupan di Bangkok tampaknya sudah kembali normal. Massa yang mengelu-elukan kudeta dengan membawa bunga dan pangan untuk tentara yang berjaga-jaga dengan kendaraan lapis baja di sudut-sudut jalan sudah tidak terlihat lagi, begitu juga para wisatawan dengan kameranya yang merasa telah menyaksikan sejarah digelar di depan mata. Setelah 15 tahun pemerintahan sipil, termasuk Thaksin yang terpilih secara demokratis, Thailand sekali lagi harus menghadapi intervensi militer.

    Walaupun dikecam masyarakat internasional dan berbeda dengan campur tangan militer di masa lalu, kudeta kali ini pada umumnya disambut gembira oleh elite dan kelas menengah Thailand. Bahkan oleh kaum reformis. Memang ironis, karena Jenderal Sonthi telah membungkam pers Thailand yang terkenal bergairah dan bebas, menutup lebih dari 100 stasiun radio komunitas di seluruh negeri, dan menyensor berita mengenai Thailand dari lembaga berita internasional seperti CNN dan BBC. Yang lebih merisaukan, para pelaku kudeta juga telah melarang pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari lima orang dan mencabut Konstitusi 1977 yang dianggap sebagai konstitusi paling progresif di Thailand selama ini.

    Kudeta memang berhasil, walaupun Thaksin sangat populer di kalangan rakyat pedesaan—sekitar 80 persen suara dalam pemilihan di Thailand. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa yang mendorong militer yang selama 15 tahun terakhir ini telah ”berperilaku baik” itu keluar dari tangsi dan menggulingkan pemerintah yang sah?

    Jawabannya mungkin terletak pada pribadi Raja Thailand yang tunduk kepada konstitusi dan sangat dicintai rakyatnya itu. Raja Bhumibol Adulyadej, 79 tahun, baru saja merayakan ulang tahun ke-60 naik takhta. Raja tetap bertahan walaupun telah terjadi 20 kali pergantian perdana menteri, 15 kali pergantian konstitusi, dan mungkin juga kudeta yang sama banyaknya. Raja merupakan faktor penentu keberhasilan suatu tindakan politik di Thailand. Dan semua orang mafhum bahwa militer Thailand loyal kepada Raja, bukan kepada pemerintah.

    Tidak mengherankan jika para pelaku kudeta membenarkan perebutan kekuasaan yang mereka lakukan karena tindakan dan sikap Thaksin terhadap Raja yang menurut mereka telah menyerempet lese majeste dan mengakibatkan perpecahan serta ketegangan di kalangan rakyat. Sebenarnya, demonstrasi di jalan-jalan raya kemungkinan besar lebih banyak dipicu oleh perdana menteri yang dituduh tidak loyal kepada Raja daripada oleh praktek korupsi yang dilakukannya.

    Di samping korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang lebih sering dituduhkan terhadap dirinya, Thaksin juga dianggap telah ”campur tangan dalam lembaga-lembaga kenegaraan”. Ia memang mencoba menyingkirkan sejumlah pejabat senior pemerintah dan ini akan mengurangi pengaruh istana di dalam birokrasi—sesuatu yang menurut seorang analis merupakan upaya memperkukuh kekuasaannya menjelang berakhirnya era Bhumibol. Tuduhan semacam ini telah menyebabkan ketegangan antara Perdana Menteri dan Raja menjadi terbuka.

    Tapi keterlibatan Raja dalam politik tidak pernah disinggung sama sekali di muka umum. Padahal Dewan Penasihat Istana, penasihat Raja mengenai segala urusan kenegaraan, telah terlibat dalam intrik-intrik politik. Ketua Dewan Penasihat Istana Prem Tinsulanonda—perdana menteri tahun 1980-an—dikenal sebagai loyalis dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap Raja.

    Diduga kuat, Prem merupakan tokoh kunci dalam kudeta militer kali ini dan kemungkinan besar akan memainkan peran penting dalam rezim politik yang akan terbentuk. Ia kabarnya mendukung Jenderal Sonthi dan membantu meyakinkan Raja untuk merestui kudeta. Sementara analis bahkan mengatakan, Prem penghubung utama antara militer dan Raja. Sebelum kudeta 19 September, Prem kabarnya menjadi mediator antara perwira-perwira yang loyal kepada Thaksin dan orang-orang Sonthi. Tapi ia gagal.

    Apakah ini berarti bahwa demokrasi telah mengalami kekalahan di Thailand? Akankah Thailand kembali kepada masa lalu ketika pemutus kata terakhir adalah raja atau militer? Mereka yang berkuasa tampaknya serius akan melakukan reformasi dan mengubah konstitusi untuk memperkuat lembaga politik, guna mencegah pejabat terpilih seperti Thaksin dan partai politik seperti Partai Thai Rak Thai menjadi terlalu kuat.

    Lebih penting lagi, tersingkirnya Thaksin dari panggung politik akan membuka jalan bagi Dewan Penasihat Istana dan Raja untuk tanpa cemas merencanakan transisi sebuah dinasti yang tengah mempertahankan kedudukan sentral kerajaan dalam masyarakat Thailand. Sesungguhnya, kecemasan terbesar di kalangan pengamat dan juga di kalangan para pejabat adalah seberapa siap sistem yang ada sekarang menyambut tibanya era pasca-Bhumibol. Mengingat ahli waris takhta yang ada sekarang tidak mempunyai karisma dan respek masyarakat seperti yang dimiliki ayahnya.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus