AMERIKA dan Inggris boleh saja mengalirkan segala jenis senjata pembunuh dan membariskan ribuan serdadu ke garis depan medan perang di Irak. Tapi, pada saat yang sama, ada kekuatan lain yang tak kalah sigap mendekati calon-calon lokasi pertempuran. Berbeda dengan tentara AS dan sekutu-sekutunya, kelompok ini mengangkut muatan lain: dari obat-obatan, bahan makanan, tenda, selimut, hingga sabun mandi dan sampo. Mereka adalah tim relawan untuk bantuan kemanusiaan. Mereka datang dari seluruh dunia.
Di Yordania dan Iran, mereka menimbun segala stok bantuan tersebut. Barang-barang berharga itu disimpan rapi di kantor-kantor Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-Anak (UNICEF), Program Pangan Dunia (WFP), dan juga Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Semuanya sudah siap diluncurkan ke Irak begitu senjata pertama meletus guna mengganyang Saddam Hussein. Bulan lalu saja, PBB sudah membuka kocek US$ 37,4 juta atau sekitar Rp 370 miliar sebagai persiapan menghadapi krisis di Teluk ini.
Lembaga itu memperkirakan, jika perang pecah, kondisinya akan jauh lebih buruk dibandingkan dengan Perang Teluk 12 tahun lalu. Alasannya? Sekarang tidak ada produksi minyak. Itu berarti tidak akan ada makanan untuk rakyat yang selama ini sudah kurang makan akibat sanksi ekonomi. Sarana listrik pasti macet, di samping ada masalah air bersih dan sanitasi.
Tak mengherankan bila CARE—sebuah organisasi kemanusiaan internasional—telah mempersiapkan 120 bak raksasa, yang masing-masing bisa menampung 1.320 galon air, untuk rakyat sipil Irak. Tapi, bila perang pecah, bukan mustahil truk-truk tangki air akan dikerahkan untuk pasukan di garis depan. Dan warga sipil justru tak kebagian air bersih.
Sebenarnya, banyak organisasi kemanusiaan PBB yang merasa tak nyaman dengan menumpuk berbagai bantuan kemanusiaan ini. Mereka amat berharap perang tidak meletus. "Tapi kami harus bersiap untuk menghadapi yang terburuk," ujar Marcus J. Dolder dari Palang Merah Internasional di Baghdad.
Palang Merah Internasional sendiri telah mempersiapkan kotak medis untuk 7.000 orang calon korban perang. Mereka juga menyediakan tenda, kompor, dan selimut untuk 100 ribu orang. Sementara itu, UNICEF telah membikin kotak medis bagi 900 ribu orang plus suplemen nutrisi dan susu. CARE sudah menumpuk selang air, segunung sabun, pasta gigi, sampo, serta perlengkapan lainnya.
Toh, menurut para relawan, persediaan "sandang-pangan" untuk perang tersebut masih jauh dari cukup. Laporan PBB memperkirakan sekitar 10 juta orang mendapat risiko kena penyakit dan kelaparan. Sedangkan 2 juta orang terancam menjadi gelandangan. Diperkirakan sekitar 900 ribu pengungsi akan mengalir ke Iran, Turki, Suriah, dan Yordania.
Ruud Lubbers, pemimpin UNHCR, menyatakan bahwa perang dengan Irak hanya akan menjadi bencana dari perspektif kemanusiaan. Apalagi kondisi kehidupan rakyat Irak sudah melorot hingga ke bawah titik nol selama dua dasawarsa terakhir.
Ada satu hal yang amat menyedihkan di tengah segala persiapan perang ini: negeri-negeri jiran belum bersedia membuka perbatasannya bagi calon pengungsi. "Kami tidak mampu menampung pengungsi baru," ujar Menteri Dalam Negeri Iran, Abdolvahed Mussavi-Lari. Iran sekarang ini masih menampung 2,5 juta pengungsi, baik dari Afganistan maupun dari sisa Perang Teluk lalu. Turki dan Suriah berpendapat serupa. Mereka mengizinkan orang-orang PBB dan tim relawan melewati perbatasannya, tapi tidak untuk pengungsi Irak.
Walau resmi menolak membantu, para tetangga itu rupanya tidak tega juga. Iran tengah menyiapkan 19 kamp pengungsi baru yang bisa menampung sejuta orang. Sedangkan Turki tengah membangun 13 kamp pengungsi yang dapat menaungi kurang-lebih 250 ribu orang.
Semua persiapan memang sudah cukup matang. Tapi, ironisnya, bantuan itu hanya bisa diluncurkan bila perang betul-betul pecah. Padahal rakyat Irak sesungguhnya amat membutuhkan semua barang itu—dengan atau tanpa perang. "Kami bahkan tidak bisa (mengirim) meski hanya sehari sebelum perang," ujar Marcus Dolder.
Alhasil, pada menit pertama perang meletus, barang-barang itu akan bergerak ke arena pertarungan.
Purwani D. Prabandari (Washington Post, AFP, Deutsche Presse Agentur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini