Presiden George W. Bush tampaknya harus mengajukan dalih baru untuk bisa menyerang Irak dan menggulingkan Saddam Hussein. Setelah selesai mengaduk-aduk Irak, pekan lalu ketua tim inspeksi senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa, Hans Blix, mengatakan tak ada bukti negeri itu mengembangkan senjata pemusnah massal kimia, biologi, apalagi nuklir.
Tim yang dipimpin Blix akan membuat rekomendasi untuk badan dunia itu akhir bulan ini. Tapi itu tampaknya bukan rekomendasi yang hendak didengar para politisi Gedung Putih, yang beberapa pekan terakhir telah memperkuat otot militer Amerika di Kawasan Teluk guna menyerbu Baghdad.
Bagaimanapun, dengan atau tanpa rekomendasi itu, Amerika memang sudah berniat menyerang. "Kita tidak harus benar-benar menemukan bukti," kata Menteri Luar Negeri Colin Powell.
Namun, tanpa bukti kuat, rencana Amerika itu hanya memicu reaksi sinis dan sentimen antiperang yang makin luas, baik di kalangan publiknya sendiri maupun di seluruh dunia. Tekanan keras Amerika terhadap Irak, dan hanya kepada Irak, makin kentara menunjukkan bahwa melucuti senjata Irak bukanlah motif Amerika sebenarnya.
Standar ganda Amerika terlalu tampak. Irak hanya satu dari tiga "Poros Setan" yang dikutuk Presiden Bush. Namun sikap Bush cenderung lunak terhadap Iran, dan bahkan terhadap Korea Utara, yang pekan lalu menyatakan mundur dari perjanjian internasional penghentian pengembangan senjata nuklir (Non-Ploriferation Treaty).
Lebih dari itu, jika nuklir menjadi dalih utamanya, ketiga negeri "Poros Setan" itu bahkan terhitung "anak bawang" di lapangan pengembangan senjata maut ini. Amerika sendirilah, bersama empat negara anggota Dewan Keamanan, yang merupakan kekuatan nuklir terbesar di dunia. Dalam tiga dasawarsa terakhir, Rusia dan Amerika saja membuat total sekitar 40 ribu rudal berhulu ledak nuklir (lihat tabel). Padahal mereka semua ikut menandatangani Perjanjian Non-Ploriferasi pada 1970.
Perjanjian itu mewajibkan semua kekuatan nuklir tidak mentransfer teknologi pembuatan senjata nuklirnya ke negara lain. Juga melarang negara yang belum memiliki mengembangkan kemampuan nuklirnya. Dan negara pemilik nuklir diharapkan mengurangi koleksi senjatanya.
Sikap Amerika terhadap Irak, yang ikut menandatangani perjanjian itu bersama 187 negeri lain, bahkan lebih keras dibanding terhadap negeri-negeri yang menolak tanda tangan tapi diam-diam mengembangkan nuklir. Sebelum Korea Utara mundur dari perjanjian itu, sejauh ini hanya empat negara yang tidak mau menandatangani perjanjian, yakni Kuba, Israel, India, Pakistan. Dari keempatnya, hanya Kuba yang jelas tidak memiliki nuklir.
Pada kenyataannya, Amerika memang membiarkan sebuah negeri sekutu mengembangkan nuklir, sepanjang sejalan dengan kepentingan geopolitik dan bisnis senjatanya. Israel, misalnya, adalah satu-satunya negeri Timur Tengah yang mengembangkan teknologi nuklir tanpa harus melaporkannya kepada Badan Energi Atom Internasional.
Israel diperkirakan memiliki sekitar 200 senjata nuklir dengan sistem pengiriman yang luar biasa canggih. Dalam perdebatan tentang soal ini di Knesset, parlemen Israel, beberapa pekan lalu, anggota parlemen Issam Mahoul menyebut negerinya sebagai pionir yang memperkenalkan senjata nuklir di Timur Tengah. "Seluruh dunia tahu bahwa Israel adalah penimbun terbesar senjata atom, kimia, dan biologi," ujarnya. Puluhan tahun lalu, intelijen Amerika pernah melaporkan kekuatan nuklir Israel adalah 75-130. Namun Amerika diam saja.
Sikap Amerika terhadap India dan Pakistan pun sangat lunak. Padahal kedua negeri itu diketahui melakukan sejumlah uji coba senjata nuklir sejak 1998, dan keduanya sama-sama berpotensi memicu perang nuklir pertama di Asia Selatan akibat sengketa perbatasan di Kashmir yang sudah menahun.
Pakistan adalah sekutu Amerika dalam serangannya ke Afganistan. Itu sebabnya Pakistan dibiarkannya menerima transfer teknologi nuklir dari Cina. Adapun India adalah pelanggan teknologi nuklir Rusia dan juga Israel, sekutu Amerika lainnya. Lebih kacau lagi, sekarang ini Amerika bahkan sedang mendiskusikan penjualan teknologi nuklir ke India juga. Dengan kata lain, Amerika membiarkan dua musuh yang sudah berhadap-hadapan itu memiliki nuklir.
Namun, bahkan ancaman nuklir terbesar sebenarnya datang dari Amerika sendiri. Dalam Laporan Kajian Kebijakan Nuklir yang bocor Maret lalu, Amerika disarankan mengembangkan sistem serangan agresif, dengan senjata nuklir sebagai unsur penting. AS juga harus diperbolehkan menggunakan nuklir untuk menyerang negeri seperti Irak, Iran, Korea Utara, Suriah, Libya, Rusia, dan Cina.
Tak mengherankan jika sebuah kelompok lembaga swadaya masyarakat di Kanada, Rooting Out Evil (www.rootingoutevil.org), dua pekan lalu mengusulkan para aktivis antiperang untuk membuat prioritas. Mereka berniat mengirimkan sukarelawan Pengawas Senjata Pemusnah Massal Internasional bukan ke Irak, tapi Amerika Serikat!
Purwani D. Prabandari (BBC, IslamOnline, WagingPeace.Org, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini