Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CUTI, Datuk Seri, cuti!" teriak segerombolan anak muda yang berdiri di samping Tempo pada pesta kemenangan Barisan Nasional, Senin pekan lalu, di markas Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), Kuala Lumpur. Teriakan mereka tersebut menjawab pertanyaan dalam pidato Datuk Seri Najib Razak, yang dinihari itu menjadi bintang di atas panggung.
"Semua akan saya turuti, sesuai dengan janji kampanye saya," katanya mengakhiri pidato. Hadirin pun berdiri, mengangkat tangan seraya melambai kepada Perdana Menteri Malaysia yang berhasil melanggengkan kekuasaannya hingga lima tahun ke depan itu. Semua ceria.
Impresi yang jauh berbeda didapati Tempo tiga hari setelah pesta itu berlangsung. Di dalam sebuah ruangan besar yang nyaris kedap suara, tokoh paling penting dalam sejarah UMNO dengan koalisi Barisan Nasionalnya, Mahathir Mohamad, duduk terpekur. Ia baru mengangkat dagunya saat Tempo berdiri tepat di hadapan meja sembari memanggil nama. Tak tampak raut gembira seperti pada pesta di markas UMNO, gedung Putera World Trade Center. Kakek 87 tahun itu kelihatannya biasa saja menyambut kelanggengan kekuasaan politik warisannya. "Saya pikir hasil ini lebih buruk dari apa yang pernah dicapai pada 2008," ujarnya.
Menurut Mahathir, gaya kepemimpinan Najib, yang lebih luwes dalam membawa koalisi penguasa ini, sebelumnya sempat diprediksi akan melampaui prestasi Pak Lash—sebutan bagi mantan perdana menteri Abdullah Badawi—yang pada 2008 untuk pertama kalinya koalisi tak dapat meraih dua pertiga kursi parlemen. "Tapi ternyata sama saja, walau performa pemerintah lebih bagus, hanya konsolidasi di dalam koalisi lemah," katanya.
Koalisi Barisan Nasional, yang terbentuk pada 1973, ujar Mahathir, kini di ambang perpecahan. Terutama partai-partai orang Melayu. Sebabnya bisa banyak hal, dari perebutan kursi kekuasaan di antara partai di dalam koalisi hingga politik rasialis yang kadang membekap mereka. "Karena itu, dari dulu sudah saya sarankan untuk bisa berkongsi dengan partai yang sama kuat agar tak terjadi perpecahan di dalam nantinya," kata Mahathir.
Apa yang diucap Mahathir diperbuas Datuk Mohammad Ariff Sabri, mantan pejabat teras UMNO yang pada akhir 2012 beralih partai ke Partai Aksi Demokratik. Menurut dia, dominasi Melayu di dalam UMNO terlalu kuat sehingga nyaris tak adanya ruang dialog bagi sesama partai koalisi. "Maraknya rasuah dan penyelewengan kedudukan politik kini membuat saya tak lagi memutuskan terus diam di Barisan Nasional. Politik kebendaan dan mementingkan kepentingan pribadi menjadi sebabnya," ucapnya.
Kegoyahan semakin kentara saat beberapa partai warga Melayu di Sabah dan Sarawak dikabarkan bergaduh memperebutkan kursi parlemen lokal, tiga hari setelah pilihan raya. Kecabuhan yang dipantik soal kekuasaan ini, kata Ariff, kerap terjadi di dalam tubuh partai persatuan Melayu itu. "Jadi bagaimana tak goyah?" ujarnya.
Kini Barisan Nasional memang masih penguasa Malaysia. Datuk Seri Najib Razak sudah dilantik menjadi perdana menteri sehari setelah pengumuman. Namun, tidak seperti dulu, tak semua orang sekarang menyokong Barisan Nasional. Bahkan, dalam "undi popular", Barisan Nasional kalah tipis oleh Pakatan Rakyat. Beruntung mereka masih punya Mahathir, yang mau kembali turun ke kancah kampanye. Barisan Nasional terselamatkan dia.
Petang kemudian turun di luar kantor Mahathir sewaktu Tempo pamit pulang, Selasa pekan lalu, di Putrajaya. Pada sebuah ujung jalan, bendera kubu oposan berkibar. Sebuah pesan tertulis di atasnya. "Sudah saatnya kerajaan rasuah BN tumbang," menurut tulisan di bendera itu. Sebuah senja yang pelik bagi Barisan Nasional.
Sandy Indra Pratama (kuala lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo