Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tersesat di Neraka Guantanamo

Tahanan penjara Guantanamo melancarkan mogok makan. Obama pun memperbarui janjinya.

12 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari nahas bagi Mohamedou Ould Slahi, pria 43 tahun kelahiran Mauritania, bermula pada 20 November 2001. Sejak hari itu, kerabatnya tak pernah lagi menjumpainya di rumahnya Kota Rosso, sampai akhirnya—sembilan bulan kemudian—ia dijumpai meringkuk di penjara Amerika Serikat di Guantanamo, Kuba. Kini Slahi satu di antara seratus tahanan Guantanamo yang mogok makan.

Hingga pekan lalu, Slahi masih ditahan di Kamp 7, bersama sekitar 80 tersangka kasus terorisme yang dikategorikan sebagai tahanan berisiko tinggi bagi Amerika dan sekutunya. Mereka yang dikategorikan memiliki level risiko dan nilai lebih rendah ditahan di Kamp 5 dan 6, tak jauh dari sana.

Dalam tulisan 466 halaman, buah karya tangannya selama di penjara, Slahi mengaku bahwa November itu ia menyerahkan diri secara sukarela. Tapi Amerika punya versi berbeda. Dalam dokumen Departemen Pertahanan yang dibocorkan kepada dunia oleh WikiLeaks, Slahi tidak dinyatakan menyerahkan diri, tapi ditangkap aparat keamanan Mauritania.

Slahi diinterogasi soal plot serangan pada tahun baru 2000, yang gagal. Peristiwa yang dikenal sebagai Millennium Plot itu menargetkan empat lokasi di Yordania, kapal perang USS The Sullivans di Yaman, dan Bandar Udara Internasional Los Angeles, Amerika. Rencana itu tercium sebelum dieksekusi. Pelaku rencana pengeboman di Los Angeles, Ahmed Ressam, ditangkap pada 14 Desember 1999 saat memasuki Amerika.

Peristiwa 20 November itu adalah penangkapannya yang kedua oleh aparat Mauritania, setelah 29 September 2001. Menurut dokumen Pentagon itu, Slahi disebut pernah mengikuti latihan jihad di Afganistan, berbaiat kepada pemimpin Al-Qaidah Usamah bin Ladin, dan ikut merekrut pelaku pembajakan pesawat yang menyerang New York pada 11 September 2001.

Setelah diperiksa selama delapan hari oleh aparat Mauritania, Slahi diserahkan ke Yordania dan ditahan di Amman selama delapan bulan. Tak puas atas hasil penyelidikan terhadap Slahi, dinas rahasia Amerika, CIA, mengangkutnya ke Bagram, pangkalan Angkatan Udara Amerika di Afganistan, pada 19 Juli 2002.

Enam belas hari kemudian, dengan kepala yang diselubungi, tangan diikat, dan dibius, lulusan Universitas Duisburg, Jerman, ini diangkut pesawat dalam perjalanan sekitar 36 jam ke Guantanamo. Ia tiba pada 5 Agustus di penjara yang sejak 2002 digunakan khusus untuk menahan tersangka terorisme itu—lahannya disewa Amerika dari pemerintah Kuba sejak 1903.

Awalnya, Slahi merasa pengirimannya ke Guantanamo sebagai berkah. Dalam surat kepada saudaranya di Mauritania, ia mengaku percaya terhadap hukum dan idealisme hak asasi manusia Amerika serta menganggap masa-masa buruk penyiksaan seperti yang ia alami di Yordania sudah berakhir. Tapi keyakinan itu tak berumur panjang. Hari-harinya di balik penjara Guantanamo menunjukkan itu semua cuma retorika humanisme hukum dan keadilan Amerika.

Dalam kurun dua tahun di Guantanamo, Slahi merasakan aneka teknik penyiksaan. Setiba di Guantanamo, ia langsung dimasukkan ke sel tertutup yang membuatnya menggigil sepanjang hari. "AC memang tidak dirancang untuk membunuh. Tapi, di ruang yang terisolasi, AC itu sangat dingin, terutama bagi seseorang yang harus tinggal lebih dari 12 jam, tak memiliki pakaian, cuma memakai seragam sangat tipis, dan berasal dari negara yang panas," katanya.

Matahari, yang seharusnya dinikmati secara cuma-cuma, menjadi barang mewah bagi Slahi. Ia sangat menikmati perjalanan singkat dari selnya menuju ruang interogasi.

Interogasi sekitar 20 jam dalam sehari, dengan pertanyaan yang hampir sama, membuatnya selalu dalam teror. Sudah jamak ia mendapat hantaman di wajah dan sekujur tubuhnya jika menjawab "tak tahu" atau memberi keterangan "tak sesuai dengan keinginan" interogator. Saat ia masuk ke ruang interogasi, tentara Amerika menyambutnya dengan "Selamat datang di neraka".

"Mereka berusaha keras membuat saya gila," ujar Slahi. Minggu pertamanya di penjara, semua barang pribadinya disita: sabun, sikat gigi, buku, juga Al-Quran. Ia pernah seminggu tak bisa mandi, tak ganti baju, dan tak bisa menyikat gigi, sampai ia membenci diri sendiri.

Ia juga pernah dipaksa tak tidur dengan terus-menerus diguyur 740 mililiter air dalam interval satu-dua jam, bergantung pada suasana hati para penjaganya, selama 24 jam. Akibatnya, ia tidak bisa menutup mata meskipun cuma sepuluh menit—karena sebagian besar waktunya dihabiskan dengan duduk di kamar mandi. "Aku jarang mendapat hari libur penyiksaan," katanya. Pada akhir 2003, ia mulai kerap berhalusinasi.

Rasa sakit akibat penyiksaan itu menjebol pertahanannya, sehingga ia memberi banyak keterangan meski tak melakukan apa yang dikatakannya. Pada akhir 2003, pengacara marinir yang bertugas menuntut Slahi juga curiga mengapa ia tiba-tiba begitu "produktif" membeberkan informasi. Penyidik Angkatan Laut Amerika, Letnan Kolonel Stuart Couch, lantas menyimpulkan Slahi telah disiksa dan ia pun menolak menuntutnya.

Baru pada 2005, siksaan fisik terhadap Slahi berhenti. Ia ditempatkan di Kamp 7 dan mendapat fasilitas yang tak biasa: diizinkan berkebun, menulis, dan melukis. Tapi ia tak kunjung dibebaskan meski pengadilan federal Amerika pada 2010 memerintahkan pembebasannya karena pemerintah tak punya bukti untuk memperpanjang penahanannya.

Penyiksaan dan ketidakpastian masa depan membuat Slahi frustrasi. Sikap petugas penjara yang tak menghormati barang pribadi, yang membuat mereka merasa tetap sebagai manusia, membuat rasa frustrasi itu kian tak tertahankan. Kata Obaidullah, warga Afganistan yang ditangkap pada 2002 di negaranya sebelum diangkut ke Guantanamo, pemicu mogok makan adalah penggeledahan pada 6 Februari 2013.

Saat itu, kata Obaidullah, tentara Amerika tak hanya membawa foto keluarga dan harta tahanan, tapi juga "mengobrak-abrik banyak halaman Al-Quran" dan memperlakukannya dengan kasar. "Sebelas tahun hidup saya telah diambil. Mereka juga merenggut martabat saya dan tidak menghormati agama saya," katanya tentang aksi mogok sejak 6 Februari itu. Petugas penjara Guantanamo membantah tak memperlakukan kitab suci umat Islam itu dengan baik.

Kata Shaker Aamer, 44 tahun, para penjaga merampas satu per satu barang pribadinya—selain menyiksa yang membuat tubuhnya serasa remuk—dari selimut, sikat gigi, obat rematik, sampai sepatu dan sandal jepitnya. Dokumen hukumnya juga hilang sehingga dia hanya sempat menyisakan gambar foto anaknya di dinding, yang belakangan juga dirampas dan membuatnya merasa seorang diri saja di dunia.

Aamer, satu-satunya warga negara Inggris di penjara Guantanamo, ditangkap di Jalalabad pada 22 Desember 2001. Amerika mengidentifikasi Aamer sebagai anggota Al-Qaidah, dekat dengan Usamah, dan tokoh kunci Al-Qaidah di Inggris. Pria kelahiran Madinah, Arab Saudi, 21 Desember 1966, ini pun ikut mogok makan sejak 12 Februari lalu.

Tahanan yang mogok adalah yang menghuni Kamp 5 dan 6, yang sebagian besar sudah boleh dibebaskan tapi masih tetap ditahan. Tak ada laporan mogok makan terjadi di Kamp 7, penjara dengan pengamanan maksimal dan rumah bagi 14 tahanan bernilai tinggi. Di antaranya Khalid Sheik Mohammed, yang dituding Amerika sebagai otak serangan 11 September 2001.

Carlos Warner, kuasa hukum sebelas tahanan Guantanamo, mengatakan Presiden Amerika Barack Obama harus bergerak cepat. "Mari kita mulai dengan 86 tahanan," kata Carlos, menyebut 86 orang yang dinyatakan boleh bebas karena pemerintah Amerika tak punya argumentasi untuk memperpanjang penahanannya. Padraig O'Malley, profesor di University of Massachusetts di Boston, yang pernah menulis soal aksi mogok di Irlandia, menyebut ini sebagai aksi politik mereka yang tak memiliki kekuasaan lain lagi.

Mogok makan yang pekan ini sudah memasuki bulan keempat itu menambah tekanan politik dan ekonomi bagi pemerintah Amerika. Ongkos yang harus dikeluarkan buat setiap tahanan di penjara ini US$ 900. Dan itu memaksa Obama, April lalu, memperbarui janjinya menutup penjara ini, yang secara tak langsung mengakui mandulnya perintah eksekutifnya tentang penutupan Guantanamo yang ia tanda tangani pada 22 Januari 2009.

Abdul Manan (slate, UPI, Daily Mail, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus