Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara tangis pecah silih berganti di salah satu rumah warga Desa Blambangan, Kecamatan Blambangan Pagar, Lampung Utara, Minggu pagi pekan lalu. Mereka yang menangis—kebanyakan ibu-ibu—bergantian memeluk tujuh pemuda yang turut meneteskan air mata. Puluhan tetangga pun ikut terharu. Para keluarga pria itu lega setelah berbulan-bulan tak bertemu. "Keluarga sangat cemas mendengar mereka telah dijadikan budak," kata Kepala Desa Blambangan Sobri Wirawan.
Warga Sobri merupakan sebagian dari korban perbudakan di industri perumahan CV Sinar Logam di Kampung Bayur Opak RT 03 RW 06, Desa Lebak Wangi, Sepatan, Kabupaten Tangerang. Sebanyak 34 pria, termasuk warga Desa Blambangan itu, dipaksa bekerja lebih dari 16 jam per hari di industri penghasil aluminium batangan, panci, dan kuali. Sekitar 30 personel Kepolisian Resor Tangerang yang dipimpin Kepala Satuan Reserse Kriminal Komisaris Shinto Silitonga menggerebek pabrik itu pada 4 Mei lalu. "Para korban disekap dan dipaksa bekerja," ujar Shinto.
Dalam penggerebekan itu, polisi menahan Yuki Irawan, 41 tahun, pemilik pabrik, bersama empa mandor yang juga merangkap sebagai centeng: Tedi Sukarno, 35 tahun, Sudirman (34), Nurdin alias Umar (25), dan Jaya (30). Mereka ditangkap tanpa perlawanan. Para tersangka kini ditahan di Polres Tangerang dan dijerat dengan enam pasal, yaitu perampasan kemerdekaan orang, penganiayaan, penggelapan, pelanggaran izin usaha, penggunaan tenaga kerja anak-anak, dan eksploitasi karyawan. "Ada berlapis-lapis pelanggaran hak asasi di pabrik itu," kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sianne Andriani.
Saat dibebaskan, para pekerja terlihat ringkih dan kuyu. Kulit mereka hitam. Sebagian berkurap, berkudis, dan banyak bekas luka bakar yang baru mengering. Baju yang mereka kenakan terlihat pudar, lusuh, dan rombeng. Celana yang mereka pakai kebanyakan sudah robek hingga dengkul. Rambut terlihat gimbal meski tak gondrong, dengan bau sengit, bercampur dengan bau apak yang keluar dari tubuh mereka. "Berbulan-bulan kami tak mandi," ujar Abdul Nawa Fikri, salah satu korban yang berasal dari Cianjur.
Saat dibebaskan, mereka sedang bekerja di bengkel. Mereka bekerja tanpa perlengkapan keamanan, bahkan tanpa alas kaki. Padahal setiap hari mereka menghadapi panasnya lelehan aluminium yang dicampur logam lain untuk dicetak menjadi kuali dan panci. Adapun enam pekerja lain tengah "mengaso" di dalam kamar khusus pekerja, tapi dengan pintu yang dikunci dari luar. "Kami tahu ada pekerja lagi setelah mereka berteriak minta tolong," kata Shinto.
Beberapa reserse terpaksa menjebol pintu karena para mandor mengaku tak memiliki kunci gemboknya. Saat dibuka, bau anyir menyeruak dari dalam kamar berukuran 8 x 6 meter itu. Kamar itu hanya diberi lampu 60 watt. Tak ada jendela, hanya dua ventilasi kecil. "Kalau malam panas. Kami tidur di lantai tak pakai baju," ucap Abdul. Kamar mandi berada di luar. Namun kalau sudah malam mereka tak bisa ke kamar mandi atau buang hajat karena pintu kamar selalu dikunci dari luar.
Cat dinding kamar yang awalnya berwarna putih sudah terlihat kusam dengan coretan spidol di sana-sini. Salah satu coretan itu berbunyi: "hidup berperang, mati dikenang". Langit-langit kamar dipenuhi sarang laba-laba. Di antara dinding, melintang kawat jemuran. Lantainya dari semen, sebagian terlihat hitam dan kotor. Piring makan berserakan di sudut kamar. Fasilitas di dalam kamar hanya dua lembar tikar kumal, televisi 14 inci yang sudah rusak, kipas angin dinding, dan setengah botol garam.
Andi Gunawan, 20 tahun, selesai makan siang lebih cepat ketimbang pekerja lain. Mereka beristirahat bergantian dengan pekerja lain yang sibuk mencetak kuali dan panci. Pada awal April lalu itu, Andi Âmengumpulkan Âtekad. Hari itu ia akan kabur setelah tiga bulan bekerja di bengkel aluminium milik Yuki tersebut. Tak ada barang yang ia bawa selain baju dan celana yang juga ia kenakan saat pertama kali ke bengkel. "Saya sudah tak tahan lagi," katanya saat ditemui di rumahnya di Desa Blambangan, Selasa pekan lalu.
Ada empat mandor yang biasa mengawasi mereka makan. Saat mandor-mandor itu lengah, Andi berjingkat-jingkat menuju ke depan kamar pekerja. Kamar itu berada persis di belakang rumah Yuki. Seluruh rumah dipagari beton setinggi 3,5 meter. Di pagar tembok dekat kamar itu, ada lubang sebesar kardus mi instan yang ditutupi asbes. Ia memanjat ke arah lubang itu, dan menjebol asbesnya. Andi melompat, dan menjauh dari rumah dengan merangkak di dalam got.
Setelah jauh, ia bangkit dan lari sekencang-kencangnya ke arah permukiman di belakang rumah. Ia mengabaikan pertanyaan beberapa warga yang berpapasan dengannya. "Saya takut ditangkap," kata pria kurus itu. Setelah beberapa saat berlari, ia tiba di pematang sawah. Andi bersembunyi di bangunan kosong di tengah sawah sambil beristirahat. Setelah malam tiba, ia berjalan kaki ke Pelabuhan Merak. Dua hari ia berjalan kaki. "Saya makan dari makanan sisa yang ditemukan di tengah jalan," ujarnya.
Andi berhasil tiba di rumah setelah dibantu seorang sopir truk. Tak ada kegembiraan, karena ia pulang tak membawa uang. Ia enggan menceritakan penderitaannya ke para handai tolan di desa, karena yakin mereka tak akan percaya pada kisah penderitaan yang telah ia alami. Pria lulusan SMP ini juga memilih "tiarap" karena takut keberadaannya diketahui antek-antek Yuki di kampungnya.
Mereka dulu direkrut oleh seseorang yang bernama Taufik, yang datang sendiri ke kampung itu. Taufik menjanjikan Andi dan teman-temannya akan diberi gaji Rp 700 ribu per bulan. Semua makan dan penginapan ditanggung perusahaan. Namun, setelah bekerja, gaji mereka tak dibayar utuh. "Hanya separuh, itu pun dirapel setelah berbulan-bulan," kata Andi.
Dua minggu setelah bebas, Andi bertemu dengan Junaidi, teman sekampungnya yang juga berhasil kabur dari bengkel itu. Keberanian keduanya menyatu, lalu mereka mengadu ke kepala desa, Sobri. Mereka menceritakan semua penyiksaan yang dialami, dan mengatakan masih ada tujuh warga yang masih bekerja di sana.
Beberapa hari kemudian Sobri bersama perangkat Kecamatan Blambangan Pagar melapor ke sentra pelayanan Polres Tangerang. Rencananya, mereka mengadukan perbuatan Yuki dan meminta bantuan polisi menjemput tujuh warganya yang masih berada di bengkel. Petugas jaga malah menyuruh Sobri dan kawan-kawannya ke Kepolisian Sektor Sepatan Timur.
Bersama aparat Polsek, mereka bertamu ke rumah Yuki. Usaha penjemputan ini gagal karena Yuki berhasil meyakinkan polisi bahwa ketujuh warga Lampung itu dalam keadaan sehat walafiat. "Saya pulang lagi dan mengadu ke Bupati dan Polres Lampung Utara," kata Sobri. Kali ini pengaduannya ampuh, apalagi dibantu Komnas HAM dan Kontras, hingga melibatkan Markas Besar Kepolisian.
Setelah dilepaskan dan dibawa ke kantor polisi, para buruh mulai buka mulut. Mereka dipaksa membuat 150-200 kuali per hari. Bila hasilnya tak mencapai target, para mandor yang bertubuh lebih besar dari mereka akan menganiaya mereka. Bila membandel, mereka akan dikurung di sebuah ruangan khusus di gudang yang bersebelahan dengan bengkel. Jika mengeluh sakit, mereka juga dihajar. "Bila bekerja lamban, mandor menendang kami, dipukul, disiram cairan kimia," ujar Arifuddin, korban lainnya.
Jumlah pekerja, kata Arif, memang banyak, 34 orang. Namun mereka tak berani melawan. Mereka jiper kepada anggota Brimob dan tentara yang kerap bertandang ke rumah Yuki. Saat datang, mereka selalu menenteng senjata api laras panjang dan pistol. Para mandor juga Âditakuti karena tinggal di sekitar pabrik dan dikenal sebagai preman setempat. Yuki bahkan mengancam akan membunuh mereka bila bertindak macam-macam. "Kalau kabur, kalian ditembak dan dibuang ke laut," ujar Arif menirukan ancaman Yuki.
Kepala Polres Tangerang Komisaris Besar Bambang Priyo Andogo mengatakan kedua anggota Brimob berpangkat bintara itu kini tengah diperiksa di Propam Polda Metro Jaya. "Keterlibatan mereka masih diselidiki," katanya. Termasuk para calo tenaga kerja yang bekerja sama dengan Yuki.
Motif perbudakan ini, ujar Bambang, demi mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Sudah 12 tahun Yuki menekuni bisnis pengolahan aluminium. Baru beberapa tahun belakangan ia memproduksi panci dan kuali. Ia tak punya bisnis lain. Sebelumnya, pabrik dikelola dengan normal. Buruh datang setiap hari, bekerja, lalu pulang. Baru satu setengah tahun belakangan perbudakan itu berlangsung.
Yuki, kata Bambang, mulai menyekap pekerjanya karena permintaan kuali dan panci semakin tinggi. Pasar utama distribusi mereka ada di Jabodetabek, Jawa Barat, hingga Kalimantan dan Jawa Timur. Dengan penyekapan dan kerja paksa ini, omzetnya yang biasa hanya belasan juta rupiah per minggu berlipat menjadi Rp 30 juta sepekan. Semua perhitungan ini ada di buku keuangan milik perusahaan Yuki, yang disita polisi.
Pada Rabu sore pekan lalu, di Markas Polres Tangerang, Yuki akhirnya berbicara selama lima menit kepada wartawan setelah berhari-hari bungkam. Ia meminta maaf kepada para korban. Ia juga membantah telah menganiaya dan menyekap mereka. Kalaupun ada, itu dilakukan tanpa diketahuinya. "Ada anak buah saya yang berkhianat," ucapnya.
Mustafa Silalahi, Putri Anindya (Jakarta), Ayu Cipta, Joniansyah (Tangerang), Nurochman Arrazie (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo