Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAM Sokha, perempuan aktivis buruh yang didakwa menghina Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, tampak lusuh dengan kaus hitam dan rambut acak-acakan. Dalam foto tertanggal 8 Februari 2017 itu, yang beredar di media-media lokal, dia tampak memegang tas ungu muda.
Tak diketahui pasti di mana dia berada kini. Organisasi hak-hak asasi manusia Amnesty International menyatakan saat itu Sokha ditahan petugas Kementerian Dalam Negeri Kamboja setelah dideportasi dari Thailand dan esoknya digelandang ke penjara Kampong Speu, Kamboja. Padahal, saat berada di Pusat Tahanan Imigrasi Suan Phlu di Bangkok, Badan Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) telah mengakui Sokha sebagai pengungsi.
Sam Rithy, bekas suami Sokha, mengaku tak tahu soal deportasi itu. Tapi, "Jika penegak keamanan Thailand menahan dan mengirimnya pulang, saya sangat khawatir akan keselamatannya," ujarnya.
Kasus Sokha dimulai tahun lalu. Pada April 2017, anggota Free Trade Union itu iseng melempar sepatu merahnya ke potret Hun Sen dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Heng Samrin di sebuah papan reklame di Provinsi Preah Sihanouk. "Kapan orang ini akan berhenti merusak negeri ini?" ucap perempuan 38 tahun itu.
Masalahnya, ulah Sokha itu direkam dengan kamera telepon seluler dan dia unggah ke Facebook. Video sepanjang 13 detik itu pun beredar luas dan bikin gusar pemerintah. Pengadilan Negeri Kampong Speu lantas mengadili bekas buruh garmen yang bermukim di Kampong Speu itu secara in absentia. Jaksa pengadilan itu, Keo Sothea, menyatakan Sokha terkena pasal penghinaan dan penghasutan terhadap pejabat publik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sokha pun divonis dua tahun penjara.
Sokha mengaku memang membuat video itu. "Saya unggah karena saya sakit hati terhadap kepemimpinannya. Tanah bibiku dirampas. Mereka memenjarakan saudaraku dan bahkan saudaraku tak diberi pengacara," katanya kepada The Phnom Penh Post.
Sejak dicari-cari polisi, Sokha bersembunyi. Dia mengaku mendapat ancaman dari para pendukung Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Hun Sen. "Mereka mengancam, jika ada yang tahu di mana persembunyianku, mereka menawarkan 5 juta riel (sekitar Rp 17 juta)," ujarnya tanpa menyebut secara spesifik ancaman itu.
Wakil Direktur Asia Human Rights Phil Robertson menilai pengadilan Sokha berlebihan. "Ini sangat menggelikan bahwa pemerintah kini memburu pelempar sepatu dan mendakwanya dengan pasal pidana serius," katanya.
Para aktivis hak-hak asasi manusia menuduh pemerintah daerah sengaja mengadili Sokha untuk menunjukkan dukungan terhadap Partai Rakyat Kamboja. Gubernur Kampong Speu Vi Samnang membantahnya dan mengatakan langkah itu untuk menegakkan kedamaian dan tatanan sosial. "Melempar sepatu ke foto? Apakah Anda ingin perang berlangsung seperti di luar negeri atau apa?" tuturnya.
Sokha kemudian kabur ke Thailand, tapi ditahan pada awal Januari lalu karena visanya kedaluwarsa. Namun keputusan pemerintah Thailand memulangkan Sokha itu dikritik Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR). "Kami mendorong lingkungan yang kondusif bagi kebebasan berekspresi dan debat publik, sesuai dengan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diterima Kamboja, terutama menjelang pemilihan umum," kata Simon Walker, wakil OHCHR di Thailand.
Kasus Sokha menjadi sorotan karena mencerminkan makin kuatnya cengkeraman kekuasaan Hun Sen. Hal ini membuat aktivis hak asasi khawatir terhadap nasib lebih dari 100 anggota Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), partai oposisi pimpinan Kem Sokha yang dibubarkan Hun Sen pada November tahun lalu. Mereka kabur menyelamatkan diri ke Thailand dan sebagian mengajukan suaka politik ke Negeri Gajah Putih.
"Sungguh menyedihkan, tapi tidak mengherankan bahwa junta militer (Thailand) akan memberikan bantuan kepada diktator tetangganya. Namun mereka seharusnya tidak memperkuat persahabatan mereka dengan mengorbankan seorang pengungsi," kata Direktur Asia Human Rights Brad Adams. Berdasarkan hukum kebiasaan dalam hukum internasional, negara dilarang mengekstradisi seseorang bila ia akan menghadapi persekusi atau penahanan yang tak adil di negara asal.
Masalahnya, junta militer Thailand lebih pragmatis dalam perkara pelarian politik. Pada Desember tahun lalu, misalnya, Menteri Pertahanan Thailand dan Laos bersepakat untuk saling membantu melacak ancaman terhadap keamanan negara masing-masing. Para analis menafsirkan perjanjian ini menyasar para pembangkang politik yang melintasi perbatasan kedua negara.
Perjanjian ekstradisi kedua negara mengecualikan deportasi bagi orang yang kejahatannya tak ada di negara asal. Laos, misalnya, tak punya hukum mengenai penghinaan terhadap raja (lese-majeste), yang ada di Thailand. Namun Thawip Netniyom, bekas Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Thailand, menyiasatinya. "Jika Laos menginginkan siapa pun yang kabur dari tuntutan hukum ke Thailand, kami akan menahan dan menyerahkannya dengan barter (pelarian Thailand)," ucapnya, awal Februari lalu.
Pengetatan terhadap suara oposisi meningkat menjelang pemilihan umum Kamboja yang dijadwalkan pada Juli nanti. Tahun lalu, pemerintah membredel 32 stasiun radio dan menutup Cambodia Daily, surat kabar independen berbahasa Inggris, melalui tuntutan pajak yang sangat tinggi. Kamis dua pekan lalu, polisi menahan Sun Rotha, penduduk Provinsi Kampong Cham, yang didakwa menghina kepemimpinan CPP melalui grup Facebook.
Hun Sen telah berkuasa selama 32 tahun dan menjabat perdana menteri selama 19 tahun berturut-turut. Pada September 2017, dia mengumumkan masih ingin berkuasa 10 tahun lagi. Bila keinginannya terwujud, dia akan menjadi salah satu penguasa terlama di dunia, menyaingi pemimpin Libya, Muammar Qadhafi. "Izinkan saya meminta kepada semua orang asing, tolong jangan iri kepada saya bila saya menjadi perdana menteri terlama di dunia," ujarnya kala itu.
Untuk mengamankan jalan berkuasa kembali, mantan komandan batalion Khmer Merah itu menyingkirkan semua lawan politiknya. Partai oposisi terbesar Partai Penyelamat Nasional Kamboja telah dia bubarkan. Kini politikus yang punya 3.000 tentara swasta itu hanya perlu menghadapi segelintir partai gurem, yang bahkan perlu berkoalisi untuk mendapat satu-dua kursi parlemen. Pemilihan umum nanti seolah-olah hanya akan diikuti satu partai, yakni partai Hun Sen.
Bahkan Hun Sen tak peduli bila masyarakat internasional menolak hasil pemilihan umum itu. Baginya, yang perlu adalah bagaimana Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasilnya, lalu Raja memanggil parlemen dan mencalonkan perdana menteri dari partai pemenang. "Pemilihan umum mensyaratkan partisipasi rakyat Kamboja. Dia tak mensyaratkan presiden negara mana pun atau Sekretaris Jenderal PBB atau mekanisme multipartai untuk mengakui pemilihan umum ini," ucap Hun Sen, akhir Januari lalu.
Iwan Kurniawan (The Phnom Penh Post, Asia Times, ABC News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo