Ekspresi kegembiraan itu mengalir dari seulas senyum lebar yang terkembang di bibir Yasser Arafat. Tangan kanannya dia acungkan tinggi-tinggi, sembari jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V—dari kata victory yang berarti kemenangan. Ekspresi itu meluap dalam diri pemimpin Palestina tersebut setelah pemerintah Israel memutuskan menarik mundur tank-tank dan kendaraan bersenjata dari reruntuhan markas besar kawasan Otoritas Palestina di Ramalah, Tepi Barat, Minggu dua pekan lalu.
Arafat memang layak merasa menang, kendati hingga pekan lalu tentara Israel—atas permintaan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon—terus berlatih untuk menculik Arafat, memberangusnya ke dalam helikopter, dan menerbangkannya ke sebuah tanah pengasingan, entah di mana. Betapapun, dia dan puluhan anak buahnya telah membuktikan bahwa mereka mampu bertahan di satu sayap bangunan—satu-satunya bangunan yang masih berdiri—selama 10 hari, tanpa logistik yang memadai. Pemimpin Otoritas Palestina ini juga berhasil merebut keberpihakan opini publik internasional akibat aksi pembuldoseran Israel ke hampir semua bagian markas.
Tapi kemenangan paling manis sesungguhnya datang dari Palestina sendiri. Dalam beberapa bulan terakhir ini kepemimpinan Arafat—dengan adanya korupsi di kabinet dan kekerasan tanpa akhir—boleh dikata tengah dilanda krisis. Tapi pengepungan Israel justru membuat Arafat kembali mendapat simpati dari rakyatnya. Bahkan Menteri Luar Negeri Israel Simon Perez mengakui bahwa tindakan Israel itu justru mendongkrak popularitas Arafat.
Maka, pemimpin Palestina itu pun segera memanfaatkan momentum emas itu sebaik-baiknya. Dia menunda pembentukan kabinet selama tiga minggu. Sebelumnya, Arafat menjanjikan akan segera membentuk kabinet baru pada awal pekan ini. Langkah ini diambilnya setelah para menterinya mundur secara massal 11 September lalu. Penundaan di atas memungkinkan Arafat melakukan konsolidasi dengan orang-orang kepercayaannya agar kabinet baru nanti dapat dia pertahankan hingga pemilihan umum pada 20 Januari 2003.
Langkah ini bukan tanpa perhitungan. Arafat ternyata mendapatkan kembali dukungan dari faksi Al-Fatah, kelompok terkuat dalam PLO, yang kini menguasai mayoritas parlemen Palestina. Al-Fatah, yang semula—sebelum Arafat ditahan Israel di reruntuhan markasnya—keras menentang Arafat, telah berubah pendirian. Al-Fatah juga meralat tuntutan mereka agar Arafat menyerahkan kekuasaan ke perdana menteri yang akan mereka tunjuk. ”Kami sudah sepakat bahwa perdana menteri ditunjuk setelah terbentuknya negara Palestina dan setelah ada konstitusi,” kata Nabil Shaath, anggota senior Al-Fatah.
Pertanyaannya, mampukah Arafat mempertahankan kepopulerannya. Ini amat bergantung pada kemampuannya memilih orang-orang yang bersih untuk yang kabinet baru. Sebab, pudarnya kepercayaan rakyat Palestina kepada Arafat bersumber pada menjamurnya praktek korupsi di kalangan elite politik—yang rata-rata merupakan orang-orang setia Arafat. Padahal rakyat Palestina hidup miskin dan menderita.
Selain itu, rakyat juga frustrasi karena perjuangan intifadah—yang sudah berlangsung selama dua tahun—terbukti tidak efektif dan banyak menimbulkan korban. Arafat juga dinilai gagal mencegah terus berlangsungnya bom bunuh diri. Lebih dari 1.500 orang Palestina telah terbunuh sejak maraknya perjuangan untuk merdeka, September 2000. Maka, posisi Arafat sepertinya sudah di ujung tanduk, walaupun pada 11 September lalu dia telah mengumumkan tanggal pemilihan umum sekaligus membuka peluang suksesi.
Toh, pengumuman itu sama sekali tidak menenangkan parlemen. Parlemen malah meminta 21 anggota kabinet Arafat mengundurkan diri. Mereka menilai Arafat tidak mampu menindak menterinya yang jelas-jelas korupsi. Suara terkeras datang dari faksi Al-Fatah. ”Terjadi krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan Arafat,” kata Salah Taameri, seorang ahli hukum yang juga pendukung setia Arafat.
Namun tragedi pengepungan itu, secara tak langsung, telah memberi Arafat kesempatan baru untuk memperbaiki citranya. Dia dapat membentuk kabinet yang bersih serta mulai bersiap-siap menyerahkan kekuasaan kepada calon pemimpin yang lebih muda, kredibel, dan lebih diterima semua pihak. Seperti Mahmud Abbas, wakil Arafat di PLO yang dikenal sebagai perunding perdamaian yang andal.
Sepuluh hari dalam kepungan di Ramalah agaknya telah memberikan jalan baru kepada Arafat dan Palestina.
Bina Bektiati (The Economist, BBC, AP, Ha’aretz)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini