Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berita Tempo Plus

Masih Panjang Jalan ke Bagdad

Mengapa keputusan Irak untuk menerima tanpa syarat kedatangan tim inspeksi senjata justru membuat frustrasi kedua musuhnya: Amerika dan Inggris?

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Masih Panjang Jalan ke Bagdad
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Surat itu dikirim oleh Neil Wilson dari Cape Town, Afrika Selatan. Pria ini menuliskan betapa penderitaan rakyat Irak belum kunjung lepas dari seorang tiran bernama Saddam Hussein. Namun, dalam surat yang dikirimkannya kepada mingguan The Economist beberapa pekan lalu itu, Wilson tak lupa menyindir: kalaupun Amerika Serikat berhasil menghancurkan seluruh senjata pemusnah di negara itu, apakah Irak adalah satu-satunya negara dengan kekuasaan tirani yang harus dihajar? Bagaimana dengan para tetangga Irak yang juga gemar menggunakan pelor dalam menjalankan kekuasaannya? Tentu saja bukan lantaran sepucuk surat ini lantas Saddam Hussein dan para pengiringnya mengubah strategi dalam menghadapi dua musuh bebuyutannya, Inggris dan Amerika. Selasa pekan lalu, ribuan kilometer dari Bagdad, sebuah delegasi yang dipimpin Amir Al-Saadi—mewakili pemerintah Irak—menerima tanpa syarat tim inspeksi senjata dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dipimpin Hans Blix, dalam sebuah perundingan di Wina, Austria. Dan orang bertanya-tanya: ada apa? Beberapa pekan lalu, Irak masih menderetkan syarat ini dan itu jika Mr. Blix ingin meronda ke seantero Irak untuk mengubek-ubek senjata pemusnah. Urusan ini bahkan merambat sampai ke Indonesia segala. Presiden Saddam mengirim utusan khusus, Abdul Khaliq Abdul Gafur, untuk menemui Presiden Megawati. Dalam silaturahmi itu, Gafur menyampaikan permintaan pemerintahnya agar pemerintah Indonesia bersedia mendampingi tim inspeksi senjata PBB. Pendek kata, dalam perundingan di Wina itu, Irak seperti ingin mengenalkan citra baru mereka sebagai pihak yang patuh, yang rela diajak bekerja sama dalam urusan pengecekan senjata. Untuk membuktikan bahwa niat itu bukan sekadar omong kosong, Pak Saadi pun menyodorkan kepada Mr. Blix empat keping cakram. Isinya? Semua informasi tentang perangkat nuklir yang berfungsi ganda sebagai senjata ataupun untuk kepentingan sipil. "Perundingan itu seperti pertemuan bisnis saja," Saadi melukiskan hasil perundingannya dengan Blix. Nah, kepatuhan Irak yang tiba-tiba itu justru membuat waspada para musuhnya di barat sana. Amerika dan Inggris, yang sudah gatal tangan ingin menghajar Irak dengan kekuatan senjata, seakan tersedak karena kesal. Kok, bisa? Mereka justru "berharap" Irak membandel, kalau perlu bersikap kurang ajar. Dengan demikian, ada alasan bagi Amerika dan partnernya untuk segera meluncurkan bom serta rudal menghantam pusat-pusat senjata nuklir dan senjata kimia yang mereka curigai. Singkat cerita, betapapun jinaknya sikap Saadi, sulit meyakinkan siapa pun bahwa Irak tiba-tiba bertobat menjadi "good boy". Bahkan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, yang terkenal santun itu, meragukan itikad Presiden Saddam. Apalagi AS dan Inggris. "Tidak penting sebenarnya Irak memberi akses 99 persen kepada tim inspeksi senjata jika senjata penghancur massal (Irak) yang sebenarnya disembunyikan di 1 persen lokasi di Irak," ujar Tony Blair, Perdana Menteri Inggris. Blair bahkan pernah meyakinkan parlemen Inggris pada 1998 bahwa lokasi persenjataan Irak meliputi area seluas Kota Paris. Dan itu harus dihancurkan demi stabilitas internasional. Blair tampaknya tidak mau pusing dengan demo 250 ribu warganya—terbesar dalam sejarah Inggris—dua pekan lalu, yang berteriak di jalanan London agar jangan ada perang lagi, bahkan dengan Irak. Prasangka Blair sebetulnya bukan tanpa dasar. Belum pupus dalam ingatan betapa lihainya Saddam Hussein memainkan diplomasi tarik-ulur sejak Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 687 seusai Perang Teluk. Perang yang berakhir pada 1991 itu membuat Irak harus menerima resolusi ini: Irak wajib menerima tim inspeksi senjata PBB (Unscom) untuk memusnahkan senjata penghancur massal Irak hingga rudal dengan jangkauan 150 kilometer. Ketika itu Irak terpaksa menerima tim inspeksi tersebut, yang dipimpin Richard Butler. Tapi Saddam kemudian mendepak Butler keluar wilayah dengan tuduhan ia membawa misi intelijen untuk kepentingan AS. Pengusiran ini dimulai ketika Butler dan anak buahnya berusaha memasuki sasaran yang dicurigai menjadi tempat penyimpanan senjata pemusnah milik Irak, khususnya di delapan istana kepresidenan Saddam Hussein. Belakangan, tuduhan Irak terhadap Amerika ini mendapat pembenaran dari Kepala Unscom, Scott Ritter—pengganti Butler—bahwa perilaku Amerika memang telah menghancurkan independensi Unscom. Gara-garanya adalah, Amerika, menurut Ritter, membajak perangkat dengar Unscom untuk berbagai kepentingan AS. Misalnya, memilih target sasaran pengeboman ketika Amerika menggelar Operasi Rubah Gurun. Sepak terjang AS ini juga masuk akal bila menilik sejarah kenekatan Saddam Hussein. Saddam enteng saja menggunakan senjata kimia selepas Perang Teluk. Diperkirakan, senjata kimia tersebut telah menewaskan 20 ribu jiwa dalam Perang Irak-Iran. Sekitar 5.000 etnis Kurdi-Irak diperkirakan pula telah tewas akibat gas mustard dari senjata kimia tersebut di Halabja, wilayah utara Irak, pada Maret 1988. Alhasil, Amerika boleh saja menutup mata terhadap proyek senjata nuklir Israel. Tapi, dalam urusan dengan Irak, AS amat khawatir kemampuan nuklir dan rudal balistik Irak bisa membahayakan Israel dan Arab Saudi—dua sobat kental AS di Timur Tengah. Amerika belum pula melupakan kenekatan Saddam Hussein menderapkan 120 ribu serdadunya pada 1991 guna menduduki Kuwait. Ini semua kian mendorong Amerika untuk memberangus senjata pemusnah massal Irak sekaligus menumbangkan Saddam Hussein. Sebaliknya, Irak bukan tidak tahu muslihat musuh-musuhnya. Pemerintahan Saddam Hussein tahu betul, sedikit saja Irak menunjukkan kebandelannya dalam perundingan di Wina, Amerika dan Inggris akan menggeram dan menyatakan bahwa perang dengan Irak adalah wajib hukumnya. Amerika dan para jenderal di Pentagon tidak peduli pada laporan Ritter, yang menyebutkan Irak tak lagi punya kemampuan mengembangkan senjata nuklir. Maka, Irak pun memainkan hitungan dan strategi bertahannya, baik dengan cara halus maupun kasar. Saddam menghitung, di atas kertas posisi Irak tidak buruk-buruk amat. Kampanye perang AS hanya ditopang oleh Inggris. Tiga anggota Dewan Keamanan PBB lainnya (Prancis, Rusia, dan Cina) hanya menyokong adanya inspeksi senjata ke Irak tanpa embel-embel penggunaan kekuatan senjata. Saddam juga tahu, negara-negara Arab punya pendapat sendiri: serangan AS terhadap Bagdad sama artinya dengan merusak stabilitas politik di wilayah Teluk. Sikap paling maksimal negara-negara Arab adalah mendukung serangan terhadap Irak jika ada legitimasi dari PBB. Bahkan Turki, sekutu AS yang menyediakan fasilitas bagi pesawat tempur AS dan Inggris untuk mengontrol zona larangan terbang di wilayah utara Irak, pun menolak rencana perang AS. Turki selama ini memang menikmati minyak murah dari Irak. Mereka juga khawatir, tumbangnya Saddam Hussein akan memprovokasi suku Kurdi mendirikan negara merdeka (lihat: Gelas Perdamaian dari Utara)—yang akan bisa bikin Turki pusing kepala. Bagaimana dengan para kolega Bush di Eropa? Prancis dan Rusia, yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB, secara terbuka menentang rencana perang AS. Mereka rupanya sudah telanjur menikmati hubungan ekonomi dengan Irak. Tak mengherankan jika AS dan Inggris menjadi amat frustrasi ketika Irak menerima tanpa syarat kedatangan tim inspeksi senjata PBB. Kesediaan Irak itu jelas menutup kemungkinan bagi AS dan Inggris untuk mendesakkan rencana perangnya dalam waktu dekat. Bahkan kesediaan Irak itu kian mengecilkan kemungkinan diterimanya rancangan resolusi AS di PBB. Dalam rancangan resolusi itu, AS memberi waktu satu bulan bagi Irak untuk memberi semua akses bagi Blix dan timnya. Dengan lain kata, jika sedikit saja Irak berusaha menghalangi kerja Blix, genderang perang terhadap Irak bisa langsung ditabuh. Amerika juga menghadapi faktor lain—kebencian masyarakat internasional terhadap Presiden Bush dengan berbagai kebijakan perangnya. Irak juga tampaknya menghitung bahwa sikap mengalahnya secara tidak langsung memberi kemenangan kepada PBB, yang sudah kesal melawan superioritas AS akhir-akhir ini. Pemerintahan Bush, misalnya, menentang pengadilan internasional terhadap militer suatu negara yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan—yang membuat PBB naik darah. Rapor Amerika dalam Perang Afganistan dan terorisme, yang membuat gusar banyak negara Islam—Malaysia, antara lain—juga bukan tiket yang bagus untuk memperoleh dukungan internasional guna menghajar Bagdad. Sandungan lain? Ancaman-ancaman Bush dan para jenderal Pentagon justru membuat Saddam Hussein lebih populer. "Saya lebih sudi dijajah oleh Saddam Hussein ketimbang oleh kafir Amerika," ujar Habibah Khudair dengan mata bernyala-nyala dari balik kerudungnya. Sebagian warga Irak lebih memilih hidup tertekan di bawah Saddam ketimbang ditekan oleh rudal-rudal Mr. Bush. Alhasil, masih panjanglah jalan Amerika menuju Bagdad. Raihul Fadjri (The Economist AP, Reuters, The Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus