Kunjungan ke Amerika itu terjadi pada musim bunga lalu. Ribuan mil dari Beijing, Hu Jintao berpidato untuk pertama kalinya di depan publik Amerika dalam bahasa Mandarin. Nada suaranya datar dan kaku, membuat sebagian tamu terkantuk-kantuk. Tapi Gubernur Jersey, James E. McGreevy, yang sempat bertemu dengannya di New York, punya pendapat lain: Jintao adalah sosok yang hangat dan kocak. Dia memuji rambut Jintao yang hitam mengkilap, membuatnya terlihat awet muda. Yang dipuji segera membalas dengan kesantunan Timur: "Bangsa Cina akan senang memberikan teknologi yang membuat rambut tetap hitam."
Tentu saja bukan urusan rambut, terutama, yang membuat Gubernur New Jersey itu terkesan atau para pejabat AS rela terkantuk-kantuk mendengar Jintao berpidato dalam bahasa ibunya, melainkan bahwa pria berusia 59 tahun itu terpilih—di antara satu miliar lebih penduduk Cina—menggantikan Jiang Zemin sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (PKC) pada 15 November lalu. Jabatan ini berjarak cuma beberapa inci dari kursi nomor satu di negeri itu. Pada Maret 2003 nanti, dia akan menggantikan Zemin pula sebagai presiden.
Naiknya Jintao menggantikan Zemin bukanlah urusan kemarin petang. Sudah sepuluh tahun dia dipersiapkan untuk memimpin Cina dari Beijing. Masuk Partai sejak 1964, Jintao membawa sejumlah perubahan. Dia mendorong diskusi terbuka tentang demokrasi dan reformasi saat memimpin sekolah Partai Komunis Cina pada 1993. Dia amat piawai dalam dua hal: pembangunan ekonomi dan kemiskinan—keahlian yang tidak datang dengan tiba-tiba. Hu meniti kariernya di distrik-distrik Cina paling miskin. Pada tahun 1985, misalnya, ia memimpin PKC di Provinsi Guizhou dan sebelumnya di Provinsi Ganzu.
Masa dinasnya di daerah ini ternyata memberi nilai tinggi dalam rapornya. Tuan-tuan pemimpin di Beijing mencatat, anak muda ini mampu berbaur dan punya keberpihakan pada kaum miskin. Kerja kerasnya mulai berbuah pada 1992 ketika ia menjadi anggota paling muda dalam Komite Tetap Politbiro. Ini lembaga paling berkuasa dalam pengambilan keputusan di Partai Komunis Cina. Dan Deng Xiaoping, pemimpin Cina modern yang paling berpengaruh, sudah melihat kemampuan Jintao jauh sebelum ini. Dia bahkan sudah menggadang-gadangnya sebagai pemimpin Cina masa depan saat Jintao aktif mengatur kongres PKC ke-14 di Beijing pada 1992.
Dalam sebuah pidatonya dua tahun silam, Jintao berseru: "Menyiapkan pemimpin yang bisa diandalkan adalah salah satu ciri kematangan partai politik." Dua tahun setelah pidato itu ia ucapkan, Jiang Zemin mengumumkan namanya sebagai pemimpin baru Cina di depan para peserta kongres PKC ke-16. Toh, jalan tidak akan mulus begitu saja. Pertama, Zemin sendiri belum "ikhlas" benar turun dari kursi kekuasaan. Para pengamat memperkirakan, Zemin akan tetap bertahan sebagai pemimpin militer Cina.
Seperti yang dilukiskan The Economist, Zemin punya preseden untuk melakukan itu: para pendahulunya juga rata-rata mencengkeram jabatan hingga maut atau penyakit berat merenggut mereka dari kursi kekuasaan. Kedua, sudah jadi rahasia umum bahwa Zemin sebetulnya jauh lebih sreg bila sohibnya yang paling dekat, Zeng Qinghong, menggantikannya. Tapi Presiden Cina itu juga sadar bahwa melanggar amanat Deng bisa membawa mudarat ke dalam Partai.
Siapa Jintao? Dia lahir pada 1942 di Jixi, Provinsi Anzui, dekat Shanghai. Studinya di bidang rekayasa konservasi air ia rampungkan di Universitas Qinghua—ini kampus yang menjadi tempat belajar rata-rata para elite Partai Komunis Cina. Gemar main ping-pong, membaca sastra, dan mahir berdansa foxtrot, Jintao jarang bersentuhan dengan media. Tak mengherankan jika sejumlah orang menjulukinya sosok yang misterius.
Salah satu titik penting dalam perjalanan karier Jintao adalah saat dia memimpin PKC di Lhasa, Tibet. Dia menerapkan undang-undang darurat perang bagi Tibet pada 1989 untuk mengatasi kaum demonstran. Hu juga dianggap bertanggung jawab atas kematian Lama Panchen, pemimpin spiritual tertinggi kedua di Tibet. Namanya juga tersangkut dalam kasus Tiananmen. Rakyat Tibet dan dunia tak pernah melupakan "periode tirani" Jintao. Tapi Beijing menyukainya. Deng Xiaoping memilihnya. Dan Zemin, suka tidak suka, memberikan kursi kepadanya.
Di luar problem utang yang menggunung, Jintao akan menghadapi sebuah problem pelik dalam kepemimpinannya. Dia harus memandu Cina melewati sebuah masa yang tak lagi mengharamkan apa yang diajarkan para leluhur pendiri Partai: kapitalisme dan persaingan bebas.
Bina Bektiati (The New York Times, The Economist, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini