Dalam politik Turki yang serba sekuler, politisi Islam Recep Tayyip Erdogan memiliki cacat yang sulit diampuni. Empat tahun lalu dia ditahan atas dakwaan membaca sajak yang dinilai memicu kebencian agama: "Masjid adalah barak kami, kubah adalah helm kami, menara adalah bayonet kami, dan orang beriman adalah serdadu kami." Pengadilan mengganjarnya dengan penjara 10 bulan, tapi dia dibebaskan setelah mendekam di situ empat bulan.
Dan kini, kekhawatiran para pendukungnya menjadi kenyataan. Status terpidana itu membuat Erdogan, sesuai dengan konstitusi Turki, tak bisa menduduki jabatan politis seperti perdana menteri. Padahal, awal November ini partai yang dipimpinnya, Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan-Pembangunan yang berhaluan Islam, menang telak dalam pemilu dan berhak membentuk pemerintahan sendirian, tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Pekan lalu, Presiden Turki memilih Abdullah Gul, kawan Erdogan separtai, menjadi perdana menteri baru. Namun Erdogan bukan Erdogan jika dia menyerah begitu saja. Sikap pantang mundur selama inilah yang membawa Erdogan menjadi politisi karismatis, dihormati oleh penduduk miskin Turki hingga pengusaha.
Erdogan lahir di Rize, kota kecil tepi Laut Hitam, pada 1954. Ayahnya, seorang penjaga pantai, membawa Erdogan yang berusia 13 tahun, dan empat saudaranya, ke Istambul untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tapi kehidupan tidak menjadi lebih baik, sehingga untuk memperoleh penghasilan tambahan, Erdogan harus berjualan makanan di kawasan kumuh Istambul.
Dengan bekal sekolah agama, Erdogan menjadi mahasiswa manajemen Universitas Marmara di Istambul. Saat itulah Erdogan bertemu dengan Necmettin Erbakan, arsitek gerakan politik Islam Turki. Erbakan kelak menjadi perdana menteri pertama dari Partai Refah yang berbasis Islam. Erbakan terpesona pada sosok Erdogan, seorang pemain bola profesional, orator yang ambisius, tapi memiliki kepribadian yang memikat, khususnya di hadapan generasi muda Turki yang meliputi 60 persen dari populasi. "Dia salah satu dari kami," kata Aslihan Dede, 21 tahun, pengagum Erdogan.
Dalam Partai Refah, Erdogan memulai karier politiknya dari hanya anggota sayap pemuda hingga menjabat selaku ketua. Partai ini menentang keikutsertaan Turki dalam Nato dan menentang keinginan Turki menjadi anggota Uni Eropa. Pembangkangannya yang pertama kepada penguasa sekuler terjadi ketika ia bekerja di jawatan transportasi. Atasan Erdogan, pensiunan kolonel, menyuruhnya mencukur kumisnya, tapi ia menolak dan lebih memilih keluar dari pekerjaannya.
Lewat Refah ini pula Erdogan terpilih menjadi Wali Kota Istambul pada 1994. Selaku wali kota, Erdogan membuat marah kaum sekuler dengan kebijakannya melarang penjualan minuman beralkohol di kedai minum. Namun Erdogan juga berhasil membuat Istambul menjadi bersih dan rimbun dengan pohon hijau. "Dia seorang perfeksionis," ujar koleganya, Mehmet Muezzinoglu.
Penduduk Istambul melihat sosok Erdogan sebagai pejabat yang bersih dari korupsi, dengan latar belakang keislaman yang kuat. Erdogan terpaksa menyekolahkan dua anak perempuannya ke Universitas Indiana, Amerika Serikat, karena universitas di Turki tak mengizinkan mahasiswi mengenakan jilbab.
Sebelum ia mengakhiri pengabdiannya selaku wali kota pada 1998, partainya dibredel militer dan Necmettin Erbakan tercampak dari kursi perdana menteri. Militer Turki yang dianggap sebagai pengawal setia konstitusi sekuler Turki menuduh Erbakan akan menjadikan Turki sebagai negara Islam. Tapi Erdogan dan sejumlah pemimpin Partai Keselamatan Nasional membuat kapal penyelamat dengan mendirikan AKP.
Selepas dari penjara pada 1998, dia memimpin partai baru itu. Meski tak bisa mencalonkan diri sebagai anggota parlemen karena punya status narapidana, dia ikut berkampanye. Nada orasinya berbeda. Dia tak lagi mengumbar jargon Islam dan justru berbicara tentang hal yang sederhana, semacam perlunya jaringan air bersih ke setiap rumah, atau berjanji menurunkan harga minyak untuk petani. Dengan citranya yang bersih dan karismanya, AKP menang telak.
Harapan Erdogan menjadi perdana menteri belum tertutup sama sekali. Partainya kini sedang mengusahakan perubahan konstitusi yang memungkinkan seorang narapidana seperti dia bisa menjadi pejabat, atau setidaknya mengajak publik Turki melihat "dosa" Erdogan pada 1998 sebagai bentuk "kebebasan mengemukakan pendapat".
Abdullah Gul sendiri—seorang muslim moderat yang seperti Erdogan kini gencar memperjuangkan Turki menjadi bagian dari Uni Eropa—mengindikasikan dia akan mundur dan menyerahkan kursinya kepada Erdogan jika upaya perubahan konstitusi tadi berhasil.
Masalahnya: adakah Eropa dan militer Turki sendiri mempercayai retorika Erdogan yang baru?
Raihul Fadjri (BBC, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini