BABAK belur, dengan plakat bertuliskan "Teroris Prancis" tergantung di leher mereka, kedua mahasisa itu didorong keluar dari konsulat Iran di London. Jumat pekan silam. Bersama sembilan rekan yang lain, yang diserahkan ke tangan polisi Inggris malam yang sama, mereka dlnyatakan gagal mengambil alih gedung konsulat Iran di Kensington. Gedung ini terletak hanya 300 m dari Istana Kensington, kediaman Putri Margareth Rose, adik Ratu Inggris. Kegagalan "teroris Prancis" - julukan ini sekadar menyindir Prancis yang memberi perlindungan kepada pelarian Iran di negara itu - juga dialami empat aksi pembangkang Iran di Den Haag, Paris, Frankfurt, dan Wina. Kepada kantor berita AP salah seorang Juru bicara gerakan penentang Khomeini itu menyatakan bahwa aksi mereka dimaksudkan sebagai protes terhadap "pengadilan massal, penyiksaan, hukuman mati, dan penindasan politik". Semua kekejaman ini ditimpakan atas ribuan orang progresif dalam berbagai penjara di Iran, dewasa ini. Aksi protes kecil-kecilan itu ternyata dilancarkan serentak di lima kota itu, sama sekali tanpa senjata, tapi anehnya bertujuan menduduki perwakilan rezim Khomeini di sana. Tidak kurang menarik adalah perkelahian yang terjadi antara mahasiswa penyerbu dan diplomat yang diserbu. Agaknya telah berlangsung adu jotos, cakar-cakaran hingga Duta Hossein Tajgardoon di Den Haag, misalnya, terpaksa masuk rumah sakit karena luka-luka tergores. Adapun 16 pembangkang di Belanda itu baru ditahan polisi setelah satu jam merajalela di kedutaan. Di Paris, 20 anggota kelompok Fedayeen yang berhaluan Marxis-Leninis, menyerbu kantor Iran di gedung UNESCO, menyandera bcberapa petugasnya, dan baru angkat kaki 31/2 jam kemudian. Kebetulan sekali pendudukan kantor perusahaan penerbangan Iran Airline di Frankfurt berlangsung sebentar, karena polisi cepat turun tangan. Mereka segera dihalau keluar. Di Wina, 15 pembangkang mendatangi kantor Amnesti Internasional seraya mengingatkan soal "penyiksaan dan pembunuhan massal". Setmgkat lebih terarah, aksi protes di London menuntut dibentuknya komisi internasional untuk menyelidiki keadaan tahanan politik di Iran. Kata mereka, ada 100.000 tapol, dan 10.000 dipastikan mendukung aksi protes itu. Siapakah kelompok Fedaveen? Diduga mereka hanya segelintir dari sekian ribu pelarian Iran yang kini tersebar di berbagai kota di Eropa Barat. Jumlah terbesar memang berkumpul di Paris (Lihat box: . . . ), kota idaman bagi pelarian politik. Sebelum berhasil menjatuhkan Syah Iran, Ayatullah Khomeini juga mendekam di pinggiran Paris, hingga tahun 1979 ia kembali ke Iran sebagai pemenang. Sekarang, orang-orang yang bermaksud menjatuhkannya juga menggalang kekuatan dari sana. Sementara itu, sesudah lima tahun berkuasa, rezim Khomeini mengadakan pemilu untuk Majelis (Parlemen) dua pekan berselang. Pemilu yang dimaksudkan memantapkan kedudukan para mullah (ulama) ini belum diketahui hasilnya hingga kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini