RABINDRANATH Tagore tak punya kata-kata bagus untuk sekolah. Sekolah, seperti yang ditempuhnya semasa kanak, kemudian ia sebut sebagai "siksaan yang tak tertahankan." Tak heran bila pada umur 13 tahun ia berhenti. Kemudian ia jadi penyair. Kemudian ia jadi pemikir India paling terkemuka hingga hari ini: orang Asia pertama yang mendapatkan Hadiah Nobel untuk kesusastraan. Demikianlah, pada tahun 1924 ia berbicara kepada para guru tentang pengalaman pendidikannya itu. "Sering aku hitung tahun-tahun yang harus kujalani sebelum aku memperoleh kemerdekaanku," katanya ketika ia berkunjung ke Tiongkok - seakanakan sekolah adalah sebuah penjara. Seakanakan sekolah sebuah tempat menunu yang pengap, sebelum seorang anak boleh pergi setelah dianggap jadi. Betapa inginnya saya," kata Tagore mengenang, "untuk dapat melintasi masa 15 atau 20 tahun yang menghalang itu, dan dengan semacam sihir gaib, serta-merta jadi seorang dewasa." Sayang sekali, dalam kehidupan sehari-hari tak ada sihir gaib seperti itu. Ritus itu harus. Masa sekolah bahkan kewajiban dengan perintah dan undang-undang. Anak-anak boleh merasa, seperti Tagore, prosedur itu "siksaan". Tapi kita punya pepatah "berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian...." Gatutkaca juga harus diproses di dalam Kawah Candradimuka yang mendidih, sebelum jadi kesatria. Namun, yang jadi soal bukanlah perlu atau tidaknya bersakit-sakit dahulu. Yang jadi soal ialah bagaimana kita menghubungkan latihan hari ini untuk menghadapi hari nanti. Dengan kata lain, jika sekolah memang dibutuhkan untuk menyiapkan anak-anak bagi hdup mereka kelak, pokok perkaranya terletak pada apa itu kelak. "Kelak" adalah suatu masa ketika seorang anak, yang jadi dewasa, tak perlu harus menghafal rumus. Ia toh dapat dengan mudah melihatnya pada buku petunjuk. Tak perlu menghitung dengan mencongak. Ia bisa memperoleh hasilnya dengan kalkulator. Dengan kata lain, dalam hidup sehari-hari seorang dewasa, tak ada pengertian buruk tentang nyontek untuk mendapatkan informasi. Itu nyontek adalah halal, bahkan dipujikan. Tolol sekali jika Anda tak memanfaatkan komputer, memubazirkan kamus, dan tak tahu apa manfaatnya ensiklopedi. Bodoh jika kita - dalam memperkaya diri dengan inpt - tak hendak bertanya kepada orang lain yang lebih tahu. Karena itu, sungguh menakjubkan sebenarnya, bagaimana repotnya sekolah-sekolah kita melarang nyontek. Seakan menghafal data, menutup diri dari teknologi informasi dan menempuh jalan yang tak efisien dalam memperoleh pengetahuan itu semua termasuk "syarat" Kawah Candradimuka. Atau, semua itu barangkali perlu untuk meneguhkan status guru, dan sekolah, sebagai satu-satunya sumber. Tapi bila demikian halnya, proses nyontek yang dilarang itu justru dipraktekkan terang-terangan: hanya kali ini sang murid nyontek dari sang pengajar - bukan dari sumber informasi yang luas terbentang di kehidupan. Tampak sekilas, agaknya, betapa jauh akhirnya latihan di sekolah itu berjarak dari kenyataan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, yang tak bisa disontek bukanlah informasi, yang kini disebarkan ke tiap penjuru dengan kecepatan yang mengagetkan. Yang tak bisa disontek adalah bagaimana mengolah informasi itu, menjadi pengetahuan dan kearifan. Karena pengetahuan, dan terutama kearifan, pada tiap-tiap orang akhirnya berbeda. Dan itulah "kelak" yang akan ditemui setiap anak. Itulah lanskap yang nyata, yang menyebabkan Kawah Candradimuka kita memang seperti kehilangan makna. Mungkin itu sebabnya sekolah berada dalam kritik, generasi yang dimuntahkannya selalu terasa kurang bermutu dan remaja itu sendiri membelot. Tagore memang tak sepenuhnya benar. Sekolah bukan "siksaan" dan guru serta para orangtua bukan tiran. Anak-anak dengan senang hati toh umumnya tetap berangkat ke sana. Tapi kita, dan mereka, tahu: bukan mata pelajaran serta ruang kelas itu yang membikin mereka betah. Melainkan teman dan pertemuan. Sebab itulah memang tempat tiap anak bersentuhan dengan kehidupan, tempat saling nyontek, dan tempat segala latihan yang tak ada di depan papan tulis: tempat untuk menjadi riil. "Kita tahu," kata Tagore pula, "anak-anak adalah mereka yang mencintai debu." Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini