CUMA ada dua kemungkinan bagi Kota Gorazde: jadi kawasan aman seperti maunya PBB atau jadi ladang pembantaian. Itu semua bergantung pada Serbia. Kalau mereka tunduk pada ultimatum NATO (sampai 24 April ini) dan meninggalkan Gorazde yang direbutnya, mungkin kawasan aman terwujud. Kalau Serbia membandel, NATO akan mengusirnya dengan kekerasan. Artinya, kalau NATO tidak "omong doang", akan pecah perang NATO vs Serbia. Sampai akhir pekan lalu, serdadu Serbia masih saja menghujani kota berpenduduk 65.000 jiwa itu dengan mortir. Dalam kalkulasi Serbia, Gorazde merupakan pintu gerbang di tenggara yang menghubungkan seluruh wilayah Bosnia yang sudah dikuasainya. Setelah digempur selama tiga pekan, Gorazde yang menjadi salah satu kota kantong muslim Bosnia itu hampir dikuasai seluruhnya. Gencatan senjata yang disepakati dengan utusan khusus PBB, Yasushi Akashi -- agar Serbia menarik mundur pasukannya dari wilayah Gorazde seputar 3 km -- Jumat pekan lalu, kenyataannya tak digubris. Sebab, yang ditanggapi oleh Serbia hanya membebaskan sejumlah tentara PBB -- termasuk pengamat dari Indonesia -- yang ditahan sejak pekan lalu (lihat Enam Jam di Gorazde). Sebagai imbalan, Serbia boleh bertahan di sebelah timur Sungai Drina. Dalam baku tembak memperebutkan Kota Gorazde itu, tercatat 436 korban tewas -- termasuk 28 pasien rumah sakit. Serangan ini juga mendesak sekitar 20.000 warga menyeberang ke sebelah barat Sungai Drina yang membelah kota itu. Serbia mengklaim berhasil merontokkan jet tempur Sea Harrier Inggris -- setelah enam pesawat NATO gagal berpatroli di atas Gorazde yang diselimuti kabut tebal -- di samping merampok 18 senjata anti-serangan udara yang ditahan NATO sejak Sarajevo dinyatakan sebagai "Zone Eksklusif" Februari lalu. Ulah Serbia merebut Gorazde bukan hanya membuat kesal lawannya. Sekutunya, Rusia, pun dibuatnya berang. Seorang pejabat senior kementerian luar negeri Rusia bahkan mengungkapkan, Moskow berniat menarik duta besarnya dari Beograd. Rusia bahkan menyebut pemimpin Serbia, Radovan Karadzic, dan komandan Serbia di Bosnia, Jenderal Ratko Mladic, sebagai "orang-orang tak waras". Mengapa Serbia merebut Gorazde? Rupanya, itu kota idamannya sejak dulu. Niat ini pernah dicoba Jenderal Ratko Mladic, April tahun lalu. Rencana tersebut gagal karena komandan pasukan PBB waktu itu, Jenderal Philipe Morillon, lebih cepat menurunkan pasukannya membentengi Gorazde. Dan serbuan pekan lalu dilancarkan karena ketahuan bahwa hanya belasan tentara PBB yang ditugasi di sana. Bagi Serbia, Gorazde merupakan posisi kunci. Sebab, Sungai Drina akan dijadikan salah satu jalur utama lalu lintas pasokan senjata dan personel dari Republik Serbia. Selain itu, bila kota ini dapat direbutnya, dengan mudah Serbia akan meluaskan invasi militernya ke seluruh kawasan Bosnia Selatan. Paling tidak, dalam jangka pendek, targetnya adalah merebut dua atau tiga kota "kawasan aman", seperti Zepa dan Srebrenica. Sementara itu, dari Beograd diberitakan pula bahwa Kepala Staf Angkatan Bersenjata Serbia di Bosnia, Jenderal Manjlo Milovanovic, telah menyiapkan serangan untuk melebarkan koridor di sebelah utara Bosnia -- sampai delapan mil. Artinya, wilayah Bosnia, mulai Brcko sampai Doboj, yang masih dikuasai kelompok muslim Bosnia akan direbutnya pula (lihat peta). "Kami sudah mengonsentrasikan pasukan kami di sana," kata Milovanovic. Dilihat dari perkembangan yang memprihatinkan itu, kecil kemungkinan serangan udara NATO efektif -- paling tidak untuk lima wilayah lainnya (Sarajevo, Tuzla, Srebrenica, Zepa, dan Bihac) -- seperti yang diusulkan Presiden Amerika Bill Clinton. Apalagi, menurut seorang ahli militer, serangan udara NATO akan sulit dilakukan mengingat panduan dari darat kian sulit. Insiden penahanan 53 pengamat militer PBB pekan lalu menunjukkan, Serbia sudah mencurigai pasukan PBB sebagai "pemandu serangan udara" NATO. Apalagi serangan udara NATO, kapan pun, dapat diartikan sebagai sinyal bahwa PBB membolehkan Serbia menghajar 23.000 pasukan PBB di darat yang tak bersenjata berat itu. Menghadapi dilema dan kemelut tak menentu itu, utusan khusus PBB Yasushi Akashi mengusulkan PBB mengakhiri petualangannya di Bosnia. "Pasukan PBB tak lagi mampu melaksanakan kewajibannya," katanya. Seorang pejabat PBB di Zagreb pun menambahkan, "Kini PBB tutup toko atau balik ke medan perang dengan persenjataan berat," ujarnya. Sikap tak tegas ini membuat PBB dikecam. PM Malaysia Mahathir Mohammad, yang baru kehilangan seorang pengamat militernya -- Mayor Ramli Shaari -- yang tewas terkena ranjau, pekan lalu, mendesak Sekjen PBB Boutros Ghali mundur. Ghali dianggap tak becus membendung serbuan Serbia. "Ia tak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan konflik Bosnia," kata Mahathir. Wakil Bosnia di PBB, Mohamed Sacirbey, pun kesal, dan minta pertanggungjawaban NATO dan PBB. Bagaimana langkah PBB untuk menghalau Serbia, memang belum diumumkan. Hanya kebetulan ada usulan taktik serangan udara dari William Safire di koran The New York Times. Langkah pertama, 23.000 pasukan PBB ditarik mundur ke tempat yang aman dari pembalasan Serbia. Setelah itu, baru NATO melancarkan serbuan udara - setidaknya ke 10 dari 30 posisi taktis Serbia. Beograd, ibu kota Republik Serbia, juga perlu diberi pelajaran: instalasi listriknya dilumpuhkan. Sepintas, usul ini masuk akal. Tapi salah-salah bisa menyulut Perang Dunia III. Rusia dan sekutunya tentu akan membantu Serbia. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini