MATA Tjut Asnani berkaca-kaca menahan haru. Hatinya melonjak girang setelah mendengar kabar suaminya, Mayor Toto Sugardo -- yang sedang bertugas menjadi pengamat militer PBB di Bosnia -- dibebaskan. Mereka baru saja ditahan 6 hari oleh tentara Serbia (BSA-Bosnian Serb Army). "Alhamdulillah, saya langsung sujud syukur mendengar berita gembira itu," kata Asnani. Selain Toto, lima pengamat militer Indonesia yang juga ditahan Serbia, yaitu Mayor Didi Sumardi, Mayor Mudjaidi, Mayor Laut Dwi Ujianto, Mayor Bambang Irawan, dan Mayor Suliawan, juga ikut dibebaskan sejak Selasa tengah malam pekan lalu. Berita pembebasan pengamat militer Indonesia itu disampaikan oleh Kepala Staf Umum ABRI, Letnan Jenderal H.B.L. Mantiri, dalam konferensi pers di Markas Besar ABRI di Cilangkap, Rabu pekan lalu. "Mulai hari ini mereka sudah mendapat kebebasan bergerak untuk menjalankan tugasnya seperti semula," kata Mantiri. Penahanan pengamat militer Indonesia itu terjadi 14 April ini. Ketika itu tentara Serbia melakukan aksi balas dendam setelah pesawat NATO, atas permintaan PBB, mengebom posisi mereka di Gorazde. "Pihak Serbia memang pernah mengancam. Jika PBB menyerang mereka, satu korban tentara Serbia akan dibalas dengan satu tentara PBB," kata Edi. Dalam aksi balas dendam itu, sekitar 200 pasukan penjaga perdamaian dan 53 pengamat militer PBB tertangkap. Aksi penangkapan itu membuktikan, tugas pengamat militer di Bosnia tidaklah enteng. Menurut Edi, setiap hari tugas pengamat militer adalah melakukan patroli di semua sektor. Selama patroli mereka melakukan pemantauan pelanggaran gencatan senjata, memeriksa garis konfrontasi serta menemui ketiga pihak yang bersengketa di Bosnia. Selain itu, mereka juga bertugas memeriksa senjata berat Serbia maupun Bosnia, yang diserahkan ke tangan PBB. Yang membuat tugas pengamat militer menjadi lebih berat, kehadiran pasukan perdamaian PBB, yang bersenjata, tidak disukai pihak Serbia. Sering pasukan perdamaian ini ditembaki penembak gelap. Apesnya, pengamat militer pun sering jadi sasaran tembakan. "Dari jauh, pengamat militer memang sulit dibedakan dari pasukan penjaga perdamaian. Karena kami menggunakan seragam yang sama," kata Edi. Padahal para pengamat militer itu tak dibolehkan membawa senjata. Perlengkapan mereka cuma alat komunikasi. Praktis mereka tak mampu membela diri jika diserang. Sering patroli pengamat militer itu juga terjebak di tengah front pertempuran. "Yang ramai diberitakan cuma Gorazde. Padahal pertempuran terjadi di mana-mana. Front di sini tidak jelas," kata Edi. Tak mengherankan jika pengamat militer pun banyak yang jadi korban selama bertugas di Bosnia. Situasi yang rawan itu membuat aksi penangkapan oleh Serbia itu sempat mencemaskan banyak pihak. Upaya tingkat tinggi untuk membebaskan personel PBB itu pun segera dilakukan. Ketua Perwakilan Sipil PBB di Bosnia, Yasushi Akasi, segera berunding dengan pemimpin Serbia, Radovan Karadzic, di Pale yang menjadi markas besar pihak Serbia. Untunglah, Senin pekan lalu tercapai kesepakatan antara PBB dan pihak Serbia. Seluruh pasukan PBB yang ditahan pun segera dibebaskan. "Tentara Serbia itu pintar. Mereka bermain-main api. Kalau keadaan sudah sangat tegang, mereka akan kendorkan lagi," kata Wakil Asisten Operasi Brigjen Cholid Gozali. BHS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini