BISA dipastikan Nelson Mandela akan menjadi presiden Afrika Selatan. Yang belum terlalu pasti, seberapa banyak ia akan menang. Apakah mayoritas mutlak, 70% suara atau lebih, atau sedikit di bawah itu. Yang gelap dan penuh ketidakpastian, bagaimana ia akan menyusun kabinet dan aparat pemerintahan yang baru nanti. Ada banyak masalah di sini yang jangan-jangan bisa menjerumuskan Mandela dan Afrika Selatan kembali ke kekacauan, kerusuhan, dan kegelapan. Masalah yang paling pelik adalah soal perut. Hak politik orang hitam memang sudah pulih. Tapi apalah artinya merdeka jika perut keroncongan. Gambaran kemiskinan orang hitam ini sungguh nyata. Tak kurang dari 66% angkatan kerja kulit hitam cuma luntang-lantung, menganggur. Tujuh juta keluarga tak punya rumah, sementara pemerintah baru nanti cuma sanggup membangun sekitar dua juta rumah dalam waktu lima tahun. Lima puluh ribu ruang kelas baru harus dibangun. Mandela menjanjikan pendidikan gratis bagi sekitar dua juta anak kulit hitam -- paling tidak hingga tamat SD. Apa boleh buat, untuk memenuhi segala tuntutan itu harus ada pertumbuhan ekonomi yang mantap. Supaya investasi ditanam, bisnis lancar, dan ekonomi berkembang, mesti ada pemerintah yang stabil dan kuat. Sekarang itu tergantung Mandela, bisakah ia membangun pemerintah yang disegani dan berwibawa di Afrika Selatan. Yang jelas, orang kulit hitam belum sepenuhnya siap memerintah negeri itu. Baru sekitar tiga tahun lalu dimulai program pelatihan untuk calon-calon birokrat kulit hitam. Selama ini sistem apartheid menghalangi mereka untuk jadi pintar. Lembaga-lembaga pendidikan seperti Institute of South African Relation mendapat sumbangan sekitar Rp 3 miliar untuk proses pendidikan ini. Jadi, orang kulit putih masih harus diberi kepercayaan menjalankan roda pemerintahan. Untung, partai pimpinan Presiden De Klerk, Partai Nasional, cukup kuat dan diperhitungkan akan meraih 20%. Maka, Mandela masih punya alasan kuat untuk mempertahankan mereka dalam pemerintahan. Presiden De Klerk sendiri tampaknya akan menjadi wakil presiden dalam rezim baru nanti. Gubernur Bank Sentral, Chris Stals, dan Menteri Keuangan, Derek Keys, naga-naganya akan dipertahankan, paling tidak untuk tiga tahun sebagai masa peralihan. Eugene Nyati, Ketua Centre for African Studies di Johannesburg, menganalisa, "Adanya De Klerk dan beberapa menterinya akan menjamin kerja sama antara rezim lama dan yang baru." Selain kerja sama yang lancar, sebuah rezim yang pro bisnis, berorientasi pasar, dan menjalankan ekonomi kapitalis akan memperkuat keyakinan pemilik modal bahwa bisnis akan lancar dan menguntungkan. Kondisi ini mesti terpenuhi bila Mandela ingin memenuhi janjinya: kehidupan orang hitam akan lebih baik ketimbang pada zaman apartheid dulu. Celakanya, bagi sementara orang hitam, kapitalisme identik dengan apartheid, yang mesti diganyang. Dan Mandela tak bisa begitu saja mengabaikan pandangan ini. Mereka yang bersuara demikian adalah sekutu-sekutu politik yang sangat membantu pada zaman perjuangan. Kata Nyati, "Mandela punya banyak utang politik yang bakal membingungkannya." Partai Komunis Afrika Selatan, misalnya, adalah pendukung setia perjuangan Mandela. Namun, membawa orang komunis ke dalam pemerintah pasti akan membuat nervous dunia bisnis. Kali ini Mandela toh tak bisa memilih. Bekas sekutu lain yang juga mesti masuk adalah Sam Shilowa, Ketua Congress of South African Trade Union (Cosatu). Selain berjasa pada perjuangan menumpas apartheid, Cosatu sangat berpengaruh di kalangan buruh. Dulu, aksi protes dan mogok cukup ampuh untuk melawan rezim lama. Sekarang pun tampaknya kekuatan itu tak berkurang, jika tak bisa dibilang makin kuat. Mandela, sekali lagi apa boleh buat, mesti merangkul kekuatan ini. Shilowa disebut-sebut sebagai calon kuat untuk menduduki kursi menteri perburuhan. Masih ada lagi kekuatan besar yang mesti diakomodasi, Mangosuthu Buthelezi, Ketua Partai Kebebasan Inkatha dan bekas seteru yang hampir memporak-porandakan pemilu. Seperti diketahui, Partai Inkatha didukung suku Zulu -- sekalipun tak semuanya -- yang merupakan kelompok etnis terbesar di Afrika Selatan, 22% dari seluruh penduduk. Mandela yang dari suku Xhosa, 17% dari total, harus pula menempatkan Buthelezi di kursi empuk bila tak ingin dituduh anti persatuan dan diskriminatif. Kemungkinan besar, Mangosuthu Buthelezi akan menjadi wakil presiden bersama De Klerk. Pemerintahan yang gado-gado begini sungguh jauh dari ideal untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan memakmurkan rakyat kulit hitam. Terlebih lagi banyak rakyat hitam yang punya harapan berlebihan. Seperti kata Walter Sisulu, wakil Mandela di partai ANC, "Problem utama Afrika Selatan adalah harapan rakyat yang tak realistis." (Lihat: Janji Harapan Berlebihan). Waktu juga tak berpihak pada Mandela. Ia mesti bergegas sebelum rakyatnya kecewa dan marah. Menjadi merdeka itu memang tak senikmat dan semudah yang dibayangkan. Pesta kemerdekaan sudah usai. Berikutnya adalah kerja keras dan kerja keras. Apa bisa?Yopie Hidayat (Jakarta) dan Yuli Ismartono (Johannesburg)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini