DARI semula ia enggan menduduki kursi perdana menteri Jepang. "Terus terang, saya sangat ragu-ragu," tutur Tsutomu Hata, yang dilantik sebagai perdana menteri ke-80, Senin pekan ini. Tapi tak ada pilihan lain buat Hata. Kubu koalisi sudah berapat sampai 27 kali, yang menghabiskan waktu dua pekan penuh untuk mencari pemimpin. Dan akhirnya keputusannya bulat, cuma Tsutomu Hata yang bisa memimpin koalisi dan menjadi perdana menteri. Keengganan Hata ini bisa dipahami bila melihat betapa berat tugas yang mesti diselesaikannya. Salah satunya adalah terus menggelindingkan seiji keikaku alias reformasi politik yang sempat dikhawatirkan bakal terhenti karena mundurnya Morihiro Hosokawa. Hata harus mengisi reformasi ini dengan membuat undang-undang baru tentang pembagian wilayah pemilihan umum. Undang-undang ini penting untuk melaksanakan undang-undang reformasi politik yang sudah disahkan parlemen akhir Januari lalu. Dalam menentukan jumlah kursi dan pembagian wilayah inilah Hosokawa sempat mengalami ganjalan keras dari kubu Partai Liberal Demokrat (LDP). Untungnya, kompromi dapat dicapai. Anggota majelis rendah hasil pemilu model baru nanti akan berjumlah 500, seperti usulan Hosokawa. Dari 500 itu, 300 akan dipilih dengan model satu kursi per satu daerah, dan 200 sisanya dipilih secara proporsional. Adalah tugas berat Hata untuk menjaga agar kompromi ini bisa terus bertahan dan undang-undang tentang pembagian wilayah pemilu bisa disahkan. Jika itu terjadi, reformasi Jepang akan tuntas sudah. Hasilnya adalah perimbangan kekuatan politik yang lebih merata. Celakanya, Hata mesti memikul beban berat ini melalui jalan yang penuh lubang. Lubang yang paling dalam adalah Ichiro Ozawa, Sekjen Partai Shinseito, yang terus membayanginya. Hata sebenarnya bukan "anak bau kencur" di dunia politik. Ia per- nah menjadi menteri keuangan, menteri pertanian, juga menteri luar negeri. Hata adalah perunding utama Jepang dalam menghadapi tekanan Amerika yang semakin kuat dalam soal perang dagang. Sekalipun demikian, orang tetap meragukan kekuatan Hata sebagai pemimpin. Rakyat Jepang khawatir, Hata hanya akan menjadi boneka Ozawa, tokoh di balik layar yang selama ini mengendalikan pemerintah koalisi. Karena perannya yang sangat menentukan itu, Ozawa bahkan mendapat julukan sebagai shogun bayangan. LDP, partai politik terbesar di Jepang yang saat ini terpaksa menjadi oposisi, pagi-pagi sudah mulai memancing di air keruh. Ketuanya, Yohei Kono, mulai menggosok-gosok pembenci Ozawa di kubu koalisi dengan mengatakan, "Pemerintah Hata itu sama saja dengan pemerintahan Shinseito yang didalangi Ozawa." Hata ditudingnya sebagai pemain yang hanya akan menjalankan skenario bikinan Ozawa. Soal Ozawa yang menjadi shogun di balik layar ini memang menjadi duri yang bisa merontokkan persatuan koalisi. Sudah ada contoh yang menunjukkan betapa gawatnya soal ini. Masayoshi Takemura, Ketua Partai Sakigake, menolak mendukung Hata karena tak ingin kabinet dikuasai Ozawa. Takemura, yang menduduki kursi menteri sekretaris negara, memang tak cocok dengan Ozawa. Kelompok kiri di dalam tubuh koalisi, yang dimotori Partai Sosialis Jepang, juga sudah lama jengkel melihat dominasi Ozawa. Keretakan yang terus membayangi tubuh koalisi ini membuat julukan "Benteng Kaca" yang diberikan oleh LDP terasa pas. Melihat banyaknya isu yang mesti dipecahkan, sementara perbedaan pandangan di antara anggota koalisi begitu tajam, bukan mustahil "Benteng Kaca" ini bakal pecah sewaktu-waktu. Untuk sementara pihak koalisi sudah bersepakat meredakan ketegangan di antara mereka sendiri. Soal ancaman nuklir Korea Utara, misalnya, pihak JSP yang selama ini cenderung pro Korea Utara sudah bersedia melunak. Sebelumnya JSP ngotot agar Jepang memasukkan Cina sebagai mitra dialog dalam soal ini. Namun, belakangan JSP bersedia mengganti rumusan Cina dengan "negara Asia lain" dalam rancangan kebijakan yang akan menjadi panutan pemerintah koalisi. Sedangkan dalam soal pajak, giliran anggota koalisi lain yang mesti mengalah. Seperti diketahui, Hosokawa gagal menjalankan reformasi pajak yang dimaksudkan untuk mengatasi resesi ekonomi. Hosokawa berniat menurunkan pajak pendapatan, yang bakal menggairahkan kegiatan ekonomi, dan sebagai gantinya pajak konsumsi dinaikkan tarifnya menjadi tujuh persen. Kebijakan ini mati-matian ditentang oleh JSP. Ini bisa dipahami. Sebagai partai kaum sosialis, JSP jelas menginginkan pajak yang besar untuk orang kaya. Sedangkan pajak konsumsi, yang mengenai semua orang sama rata, dinilai JSP kurang adil. Maka, anggota koalisi lain terpaksa mengalah. Mereka mengizinkan JSP memasukkan rumusan dalam rancangan kebijakan bahwa suatu kesepakatan secara nasional mesti dicapai terlebih dahulu sebelum pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai. Kompromi-kompromi sementara seperti ini tentu saja bukan jaminan bahwa koalisi akan berjalan langgeng. Untungnya, Hata punya satu kelebihan. Sejauh ini, ia dikenal suci-hama dari berbagai skandal. Bahkan ketika menikah dengan istrinya, Yasuko, ia sempat berjanji tak akan terjun ke dunia politik. "Suami saya secara ketat memisahkan uang buat keluarga dan uang buat politik. Keluarga kami sepenuhnya hidup dari gaji yang besarnya kira-kira sama dengan gaji kepala seksi di perusahaan besar," demikian Yasuko melukiskan kehidupan keluarganya kepada Shukan Asahi, majalah berita mingguan terkemuka di Jepang. Bagaimanapun juga, untuk sementara Jepang akan kembali normal setelah mengalami krisis politik selama dua pekan penuh. Hata tentu akan segera menggelindingkan roda pemerintahan. Apakah pemerintahannya juga akan bernyawa pendek seperti halnya milik Hosokawa, wallahualam. Yopie Hidayat (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini