SEJAK menandatangani perjanjian di Washington, Presiden Anwar
Sadat menjumpai permusuhan yang menjadi-jadi dari sesama bangsa
Arab.
Mesir tampaknya mendapat "hukuman" dari perjanjian damainya
dengan Israel itu.
Negara-negara Arab mendemonstrasikan sakit hati mereka dalam
konperensi Baghdad pekan lalu. Biasanya dalam pertemuan semacam
itu Mesir tetap hadir. Sekali ini ia tidak. Memang kehadiran
Mesir tidak diharapkan setelah giat membekukan keanggotaannya
dalam Liga Arab. Bahkan markas besar Liga Arab yang tadinya di
Kairo sudah hendak dipindahkan ke Tunis.
Tapi paling menyolok absen adalah Oman, Sudan, Somalia dan
Jibouti. Keempatnya bersimpati pada langkah Sadat. Namun tidak
seluruhnya mereka - 16 Menlu Arab dan wakil Palestina yang hadir
di Baghdad itu mempunyai derajat kebencian yang sama terhadap
Sadat. Yasser Arafat dari Palestina, tentu saja, bersuara paling
keras. Libya dan Suriah juga demikian. Tapi Arab Saudi
berpandangan lain.
Saudi yang telah menanam banyak uang di Mesir tidak dengan mudah
dipaksa melakukan boikot ekonomi total terhadap Kairo. Saudi
tidak pula melihat keuntungan dari tindakan mengisolir Mesir
yang mengarah pada menjatuhkan Sadat. Keadaan demikian
dikuatirkannya cuma akan membuka kesempatan bagi pemimpin Mesir
yang lebih radikal, hal yang amat membahayakan bagi Saudi yang
sejak lama menjadi sasaran dari negara-negara Arab radikal.
Desakan para peserta pertemuan supaya juga melakukan tindakan
terhadap Amerika tidak menyenangkan Saudi.
Wakil negara-negara Teluk Parsi mendukung Saudi. Timbul
ketegangan. Saadun Hamami, Menlu Irak, menskors sidang. Para
menlu melakukan kontak dengan pemerintahnya. Ketika sidang
dibuka kembali, dicapai kesepakatan maksimal. Mereka sepakat
memutuskan hubungan diplomatik dengan dan memecat Mesir dari
Liga Arab. Dalam urusan ekonomi, pada prinsipnya mereka setuju
"menghukum" Mesir, tapi pelaksanaannya amat tergantung pada
kebijaksanaan negara masing-masing. Kelompok Palestina, Libya
dan Suriah tidak puas. Mereka bertekad mengambil langkah-langkah
tersendiri.
Ketika sidang di Baghdad masih berlangsung, Sadat tiba kembali
di Kairo akhir pekan silam. Ia disambut sebagai pahlawan
perdamaian. Dalam perjalanan pulang dari Washington, ia singgah
di Bonn. Kanselir Schmidt menjanjikan bantuan ekonomi pada
Mesir. Dalam pidatonya hari itu Sadat menyebut usaha di Baghdad
itu sebagai "tidak masuk akal." Katanya, "Bagaimana mereka bisa
mengisolir Mesir yang mempunyai penduduk terbesar di dunia
Arab?" Di hari yang penuh kegembiraan itu, Sadat juga berjanji
untuk melakukan liberalisasi politik di Mesir. Hak-hak Asasi
Manusia Mesir akan dijaminnya, tapi tiga kelompok -- kaum kiri,
koruptor politik zaman kerajaan dan politikus yang menggunakan
agama -- akan tetap disingkirkannya.
Segera setelah pertemuan Baghdad berakhir hari Minggu lalu, para
duta besar negara-negara Arab -- dipelopori oleh dubes Arab
Saudi -- meninggalkan Kairo. Edisi petang Al Akhram, koran
terkemuka Mesir, hari itu menulis: "Apakah tengah memutuskan
hubungan dengan Mesir mereka bisa membebaskan Palestina?"
Harian itu beberapa hari sebelumnya memberitakan pemusatan
pasukan Libya di perbatasannya dengan Mesir. Libya akan
menyerang? "Setelah mendapat pelajaran di tahun 1977, Gaddafi
akan berfikir berkali-kali sebelum menyerang Mesir," kata Sadat
ketika masih dalam perjalanan dari Washington. Meski di tahun
1977 tentara Mesir memukul mundur pasukan Lybia di perbatasan,
kini Kairo tidak lantas memandang enteng Lybia yang "mendapat
bantuan Kuba, Jerman Timur dan Uni Soviet." Dan tentara Mesir
pun disiapsiagakan di sekitar perbatasannya dengan Libya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini