SUNUWARDOYO, 43 tahun, guru SD Karangtalun, Cilacap, siang 12
Maret lalu baru pulang dari melapor dan memberikan data-data
tambahan pada Opstib Pusat di Jalan Diponegoro Jakarta. kembali
ke tempat penginapannya, Sunu membaca berita koran: "DPR membuka
pintu untuk segala keluhan rakyat. "
Kontan ini membuat Sunu dan teman-temannya girang dan bergairah.
Mereka merasa mendapat tempat mengadu lebih banyak. Segera
esoknya mereka datang ke DPR-RI di Senayan. Naik bis kota. Tapi
kali itu mereka gagal. Humas DPR menjelaskan pada Sunu cs bahwa
DPR sedang reses. Baru 20 Maret lalu mereka berhasil bertemu
dengan Fraksi Karya Pembangunan (FKP) dan Fraksi PDI.
Apa yang diadukan mereka? Sunuwardoyo bersama Soeparman, 67 tahun,
pensiunan guru SD Karangtalun, dan Suryadi (44 tahun) melaporkan
tentan~g manipulasi ganti rugi tanah rakyat untuk pembangunan
pabrik semen Nusantara, Cilacap. Pada 12 Pebruari 1975, 187 warga
desa Karangtalun dikumpulkan di balai desa untuk menghadap
Panitia Pembebasan Tanah untuk pembangunan pabrik semen Nusantara
yang diketuai Bupati Cilacap RYK Mukmin. Rakyat meminta harga
Rp 2.000 per mÿFD sedang Panitia menawar Rp 500.
Sampai sore tawar menawar tak kunjung rampung Rakyat minta
perundingan diundur sampai esok harinya, tapi panitia keberatan
dan menyatakan "po~koknya harus selesai hari ini," cerita se~orang
penduduk. Pertemuan berakhir jam setengah tujuh malam tanpa
hidangan apa pun kecuali segelas teh. Penduduk terpaksa
menyetujui harga yang ditetapkan Panitia. "Pokoknya Panitia tidak
memaksa, tapi harus boleh dengan harga yang telah ditetapkan,"
ujar seorang penduduk menirukan ucapan Panitia.
Keputusan Panitia tidak boleh ditolak. Harga tanah kelas I per
ubin (14 mÿFD) Rp 12.000. Kelas II dan III masing-masing Rp 8.500
dan Rp 5.000. Rakyat menerima dengan mendongkol. "Yah, mau
bagaimana lagi. Kami kan rakyat kecil yang tidak bisa apa-apa,"
cerita mereka pada TEMPO. Belakangan mereka tahu PT Semen
Nusantara ternyata membeli tanah itu dari Panitia sebesar
Rp 1.950 per mÿFD tanpa mengadakan klasifikasi tanah.
Kedongkolan itu mengendap sampai lahirnya Opstib di pertengah~n
1977 Sunuwardoyo yang mengaku an~gota Golkar bersama beberapa
temannya segera menulis laporan yang dikirm ke Kotak pos 999
pada 10 Nopember 1977. Pebruari lalu, Opstipda memeriksa Sunu cs
secara rahasia. Menyusul kemudian pada Mei 1978 beberapa or~an~g
yang tanahnya tergusur paksa itu dipanggil juga oleh Opstibda.
Semua ini menggembirakan Sunu cs.
TAPI penyelesaian yang mereka tunggu tak kunjung tiba. Dengan
memberanikan diri pada 19 September 1978 mereka menanyakan
penyelesaian laporan mereka lewat surat ke Opstibda dengan
tembusan ke Pangkopkamtib Sudomo dan Menteri PAN J.B. Sumarlin.
Tali balasan yang ditunggu tak juga datang.
Akhir Desember lalu Sunu dan seorang temannya datang ke Jakarta,
menemui Opstib Pusat. Letkol Polisi Soejatno yang menerima
mereka, kata Sunu, mengatakan: "Lho, Pusat belum menerima
laporan tentang itu." Kedatangan Sunu kemudian dianggapnya
laporan yang pertama kali. Maret lalu Sunu kembali ke Jakarta,
membawa data-data tambahan, sampai terbaca koran yang membawa
mereka melapor ke DPR.
Mengapa mereka tidak melapor ke DPID Cilacap saja? "Bukan saya
tidak percaya pada DPRD, tapi saya mengharapkm penyelesaian
yang tuntas dan tidak berlarut-larut," jawab Sunu. Mereka pergi
ke Jakarta dengan biaya sendiri. "Walau kami membawa mandat dari
warga desa, kami tidak berani minta iuran karena toh belum
tentu hasilnya," kata Sunu cs pada TEMPO pekan lalu.
Bagaimana sikap DPRD Cilacap? "Masalah ini kami percayakan pada
Opstib maka kami tidak berani turun tangan," kata Ketua DPRD
Cilacap Soedarso. Daerah Karangtalun termasuk jalur industri
yang sudah ditetapkan pemerintah dan sudah diclaim oleh gubernur
sebagai Kepala Daswati I. Panitia Pembebasan Tanah Tingkat II
bekerja di bawah Panitia Tingkat I. Apakah pembebasan tanah
Karangtalun wajar? "DPRD tidak pernah diajak rundingan dalam
menentukan harga tanah itu," jawab Soedarso.
Ia tidak merasa dilangkahi karena Sunu cs langsung melapor ke
pusat. Tapi ia masih curiga. "Saya menduga kalau ada unsur
politiknya. Walau saya nggak pasti politik yang mana, yang
jelas politik ekonomi," katanya. Soedarso juga menduga: "Dalam
situasi menjelang berakhirnya masa jabatan bupati, janganjangan
mereka memanfaatkan untuk menjelek-jelekkan bupati." Bupati
Cilacap RYK Mukmin akhir April depan akan berakhir masa
jabatannya.
Sunuwardoyo cs tampaknya mewakili gambaran dari suatu proses
sosial yang sedang berlangsung di Indonesia. Rakyat biasa makin
banyak datang ke DPR-RI di Senayan untuk mengadu atau
menyampaikan keluhan. Mereka seakan menemukan di lembaga yang
menempati gedung megah di Senayan itu suatu tumpuan harapan.
Bahwa keluhan mereka, ketidak adilan yang mereka rasakan,
didengar, disalurkan dan akan diselesaikan.
Gejala apa ini? Apa yang mendorong rakyat sederhana dari udik
--banyak di antaranya yang belum pernah menginjak Jakarta --
datang mengadu ke DPR? Sebuah delegasi dari Bengkulu datang
nenemui Amin Iskandar dari Fraksi Persatuan Pembangunan,
mengadukan kasus mereka karena mereka pernah mendengar nama Amin
Iskandar di daerah asal mereka. Warga desa Patimuan Cilacap,
yang sebagai petani penggarap bersengketa dengan perkebunan
datang ke fraksi PDI karena mereka merasa warga PDI. Sedang Sunu
cs dan banyak lagi datang ke FKP karena mereka mengaku warga
Golkar. Mengapa mereka tidak mengadu ke DPRD setempat? Atau
mencari penyelesaian pada pihak yang berwajib setempat?
Daryatmo menyebut beberapa alasan mengapa rakyat mengadu
langsung ke DPR. Mungkin keluhan rakyat "dipetieskan" atau tidak
diperhatikan di tingkat daerah. Faktor lain yang mendorong
rakyat berdatangan ke DPR adalah situasi dan kondisi yang
memungkinkan untuk berbuat demikian. Ketua DPR ini sependapat
dengan Presiden bahwa tiap orang harus berani memberikan kritik
dan kritik yang baik itu harus diterima dengan senang.
Bagaimana cara penyelesaian kasus yang diadukan rakyat? "Secara
koordinatif FKP dan DPP Golkar selalu bersama-sama menangani
masalah," kata Ketua FKP Sugiharto. Menurut Ketua Tim Tanah FKP
Oka Mahendra, bila masalahnya bersifat nasional, FKP akan
membawanya ke komisi dan pejabat pemerintah yang bersangkutan.
"Kalau masalahnya mendesak, kita panggil pemerintah untuk apat
kerja." Juga laporan peninjauan anggota FKP dipakai melengkapi
laporan sekaligus memberi bukti benar tidaknya laporan itu.
Bahwa FKP berusaha berdiri di tempat terdepan untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang masuk ke DPR bisa dimengerti.
Karena umumnya pengaduan rakyat itu melibatkan pejabat yang
secara formil bercap Golkar. "Usaha membersihkan oknum bercap
Golkar yang kurang ajar memang perlu ditingkatkan. Banyak yang
bercap Golkar tapi itu hanya capnya saja. Tindakamlya tidak
sesuai dengan garis Golkar," kata anggota FKP Suharto
Kusumohartono.
Munculnya rakya yang menjejakkan kaki mereka di gedung DPR
Senayan tampaknya memberi angin segar pada lembaga perwakilan
ini. Seakan memberi rangsangan semangat pada para wakil rakyat
untuk bisa benar-benar berfungsi sebagai "wakil rakyat." Bukan
pemandangan asing lagi kini bagi karyawan dan anggota DPR
melihat orang-orang dengan tampang udik bersahaja, datang dengan
wajah capai, baju kotor bau keringat dengan sandal plastik
menenteng map lusuh berisi bukti-bukti pengaduan. Mereka umumnya
tertegun dan bingung kalau masuk lift menuju ke ruangan fraksi.
PEKAN lalu misalnya, datang Ki Winoto Sagimin (57 tahun) petani
Kebon Dalem, Kecamatan Bangun Rejo, Banyuwangi bersama Syamiun
(52 tahun) bekas lurahnya. "Jadi ruangan ini kepunyaan Golkar,
pak," tanya Syamiun ketika diterima di ruang FKP. Mereka
mengadukan keputusan Mahkamah Agung untuk kemenangan pihak
mereka yang belum juga bisa dilaksanakan sekalipun mereka sudah
melapor ke Ditjen Agraria dan Opstib.
Lain dengan Ny. Anny. Ia bersama 14 rekannya dari Yayasan
Kesejehtaraan Veteran Jakarta mengadukan ganti rugi tanahnya
yang digusur BPO Pluit pada 1974 yang sampai sekarang belum
diterimanya. Berapi-api, sambil menangis, ia selalu menyebut
"Pak Daryatmo" pada Wakil Ketua DPR Isnaeni yang menerimanya.
"Maaf, saya memang belum mengenal wajah Pak Isnaeni. Saya hanya
tahu Ketua DPR itu Pak Daryatmo," katanya. Kamad Karnadi,
rekannya senasib mengaku terpaksa mengadu ke DPR setelah 153
surat yang dikirimnya di samping menemui beberapa pejabat belum
juga menyelesaikan kasus mereka.
Mengapa rakyat lebih suka mengadu ke DPR daripada ke DPRD?
"Karena komposisi anggota DPRD yang terlalu banyak pegawai
negeri," kata anggota DPRD Tingkat I Sumatera Barat dari FKP
A.A. Navis pada TEMPO "Pegawai negeri di republik ini kan
mentalnya anak buah. Sebagai anak buah ia tidak bisa berbuat
banyak rerutama jika pengaduan rakyat menyangkut ulah 'bapak
buah'," kata Navis. Pers daerah dianggapnya juga kurang memberi
tempat bagi kegiatan DPRD ketika membahas atau menyidangkan
acara yang menyangkut keluhan rakyat.
Ramli, anggota DPRD Tingkat II Sumatera Barat Utara malahan
tegas-tegas mengakui bahwa dewan yang diwakilinya memang
impoten. Maksudnya tidak berani menindak atau membongkar
penyelewengan pejabat karena takut kehilangan abatan.
Agaknya banyak anggota DPRD yang merasa tidak bebas berbicara.
Buktinya waktu ketua DPP Golkar Amir Murtono tiga pekan lalu
mengunjungi Sumatera Barat, dalam suatu pertemuan ada anggota
DPRD yang "mohon agar anggota DPRD diberi kebebasan sedikit
untuk bicara hingga rakyat tidak cuma mengadu langsung ke DPR
Pusat." Kontan Amir Murtono menukas: "Siapa yang melarang
saudara?"
Larangan semacam itu, tegasnya, tidak pernah ada. Itu diakui
para anggota DPRD. "Tapi bila perangai pejabat kita sebut,
bisa-bisa jadi kita dituduh runcing tanduk, "kilah seorang
anggota DPRD Tingkat II 50 Kota. Artinya: bisa mengancam
kedudukan anggota DPRD itu.
Ada DPRD yang merasa tidak dilangkahi rakyat karena langsung
mengadu ke DPR Pusat, tapi ada juga yang gusar karena itu.
Brigjen Adjat Sudradjat, Ketua DPRD Jawa Barat berpendapat bahwa
rakyat yang melaporkan kasusnya ke DPR Pusat sebagai bermental
penjilat. "Padahal kasus yang diselesaikan ke DPRD Tingkat I
maupun II senantiasa diselesaikan dengan baik," katanya.
Ia menunjuk kasus Lurah Angsana. Walaupun dilaporkan ke DPR
Pusat akhirnya toh kembali ke daerah juga. Kenapa DPR melayani
mereka? "Saya tidak tahu. Yang jelas saya bukan politikus, cuma
orang yang ingin melihat pembangunan lancar dan sukses," kata
sang Brigjen. DPRD Jawa Barat katanya lebih suka menyelesaikan
kasus secara diam-diam. "Yang penting kan penyelesaiannya, bukan
sohornya," katanya. Ia tak menyebutkan bahwa "penyelesaian" itu,
jika memang ada, perlu diketahui rakyat. Tanpa itu rakyat cuma
tahu DPRD terlalu "tenang" alias membisu.
DPRD ini memang kelihatan tidak sibuk. Selama setahun ini, DPRD
ini mengadakan 14 kali Sidang Paripurna, 30 kali rapat Panitia
Musyawarah, 85 kali Rapat Komisi dan 20 kali rapat Panitia
Khusus. Hasilnya: 9 keputusan, 4 Peraturan Daerah dan 93 Risalah
alias laporan. Satu di antara Peraturan Daerah itu merupakan
inisiatif dari dewan, yang lainnya "dropping dari Pemda."
Apa fasilitas yang diterima anggota? "Kotor, Rp 93.000 per
bulan," kata Hijaz. Tidak termasuk uang saku Rp 1.500 sekali
sidang. Bisa juga diperoleh kredit untuk membeli skuter Vespa.
Kini bebeù rapa anggota dikabarkan berusaha menapat kredit untuk
membeli tanah.
Dari Sulawesi Selatan ada pendapat lain tentang kurang
berfungsinya DPRD. "Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan di
Daerah memang DPRD merupakan bagian dari Pemerintah Daerah,"
kata H.R. Salampessy dari Fraksi ABRI DPRD Sulawesi Selatan.
"Jadi katakanlah 30% saya ini wakil rakyat, 70% sebagai
pemerintah," seorang anggota lain mengakui. Kalau ada masalah,
biasanya ditampung DPRD lalu diteruskan ke eksekutif untuk
diatasi. "Sesudah itu kita tidak tahu kabar beritanya lagi, "
komentar beberapa anggota.
Ada hambatan lain. Banyak Ketua DPRD Tingkat II yang anggota
ABRI dan pangkatnya jauh lebih rendah dari Bupati yang juga
ABRI. "Hingga pernah kejadian, seorang Ketua DPRD, Tingkat II
disuruh beli rokok oleh Bupati," kata seorang anggota yang
menolak disebut namanya. DPRD Sul-Sel juga mempunyai hambatan
psikologis. Letak gedungnya yang di luar kota agaknya menjauhkan
minat rakyat untuk mengadu ke sana.
BELUM pernah bersidangnya DPRD untuk khusus membahas pengaduan
rakyat tidak berarti tidak adanya rakyat yang mengadu.
"Pengaduan itu umumnya kita selesaikan di luar DPRD sebab di
daerah kecil begini hubungan pribadi antara anggota DPRD dan
pejabat kabupaten biasanya erat," cerita Emil Sarosa, wakil
ketua DPRD yang juga Ketua Golkar Lumajang, Jawa Timur. Emil
mengakui, penyelesaian pengaduan rakyat di luar forum DPRD lebih
cepat. "Kalau lewat sidang DPRD bisa jadi 3 bulan baru selesai
satu masalah." katanya.
Cara penyelesaian yang sama ditempuh juga oleh DPRD Tingkat I
Jawa Timur. "Ada 3 cara penyelesaian di sini," kata Blegoh
Sumarto, Ketua DPRD Ja-Tim. "Saya sampaikan langsung kepada
Gubernurj diselesaikan lewat Badan Pertimbangan Daerah dan
diselesaikan secara sidang. Tapi belum ada yang sampai
diplenokan." Sekitar 70 pengaduan rakyat, hampir semuanya lewat
surat, sekarang ditangani DPRD Tingkat I ini.
Betulkah pengaduan ke DPR-RI akan lebih berhasil dibanding jika
mengadu ke DPRD? Tampaknya ada juga hasilnya. Pengaduan sekitar
10 ribu penduduk Boyolali beberapa bulan lalu ke DPR tentang
digelapkannya uang pembayaran sertipikat tanah mereka oleh
beberapa Lurah cukup membikin geger Boyolali. "Kita berkeringat
jadinya. Sekarang ini masalah ini sedang diselesaikan. Hasilnya
akan cukup baik, bijaksana dan adil," kata Sudjadi, Humas Pemda
Boyolali pada TEMPO.
Penyelesaian yang diusulkan Gubernur Jawa Tengah Supardjo
berpokok pada: rakyat tidak boleh dirugikan. Tak urung DPRD
Boyolali tersengat oleh erosi kepercayaan rakyat Boyolali pada
wakilnya di tingkat II. "Jika terus-terusan begini, tentu saja
DPRD bisa kehilangan muka," kata Sugeng Mulyo, Ketua DPRD
Boyolali.
Ketua DPRD DKI Jaya, Darmo Bandoro tidak setuju dengan istilah
erosi kepercayaan pada DPRD. "Jangan bilang krisis kepercayaan
pada DPRD, itu terlalu ekstrim," katanya. Walau menganggap
pengaduan rakyat ke DPR suatu hal yang positif, sebaiknya
pengaduan melalui DPRD dulu. Perjuangan DPRD banyak juga yang
berhasil. Darmo Bandoro menunjuk penyelesaian pemindahan Tempat
Pemakaman Umum Blok P, Kebayoran yang dianggapnya berhasil
sekali. "Saya sampai kewalahan menerima ucapan terimakasih,"
katanya.
Sementara DPR sibuk dengan wajah barunya sebagai tempat
pengaduan rakyat, ada juga DPRD yang menyibukkan diri dengan
soal lain. Misalnya di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Banyak
rakyat yang menyesalkan para wakilnya yang tampaknya lebih sibuk
mengurus jatah kredit bis mini Colt. Setelah kredit keluar, para
wakil rakyat ini ganti sibuk mempersoalkan lin mana yang harus
dilewati mobil milik mereka.
"Mereka terlalu sibuk mengurus fasilitds, hingga lupa mengurus
rakyat," keluh seorang penduduk. Maksudnya, ketika timbul
ribut-ribut soal ganti rugi tanah di Kuala Tanjung untuk Proyek
Asahan, para wakil rakyat ini "lupa" membawa persoalan itu
secara serius ke sidang DPRD. Akibatnya rakyat langsung mengadu
ke pusat, di antaranya ke Opstib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini