Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Dilarung di <font color=#CC0000>Andaman</font>

Ribuan pengungsi etnis Rohingya, Burma, ditangkap polisi Thailand, disiksa, dan dilarung ke laut. Mereka terdampar di Indonesia dan India. Tamparan bagi pemerintah Thailand dan bukti kekejaman pemerintah militer Burma terhadap warga minoritas.

9 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKA panjang menganga di punggung hitam legam itu belum kering benar. Membentang dari bawah pundak kiri hingga pinggang kanan, luka itu meng­undang ngilu siapa pun yang memandangnya.

”Kami ditangkap polisi Thailand dan dibuang ke laut,” kata Rahmat, laki-laki 30-an tahun, yang duduk di sebelah Usman Goni, yang punggungnya luka. ”Dia dilecut rotan ketika kami dita­han,” katanya, menunjuk temannya itu.

Sore itu, Rahmat menjadi juru bicara dan saksi atas kekejian yang mereka terima dari polisi Thailand. Ia satu dari 192 pengungsi muslim Rohingya, Burma, yang terdampar di perairan Sabang dan Kuala Idi, Aceh, awal pekan lalu.

Ombak besar menghanyutkan mereka ke Aceh, setelah 21 hari terkatung di tengah laut. ”Ada 22 orang yang meninggal di atas kapal,” kata Rahmat dalam bahasa Melayu patah-patah. Cuma dia yang bisa berkomunikasi dengan petugas imigrasi dan dokter di Aceh.

Mereka ditemukan nelayan di ­tengah samudra, berdesakan di sebuah ­kapal ka­yu dengan panjang 13 meter dan le­bar 4 meter. Perahu itu tak bermesin, tan­pa makanan dan perlengkapan. Ke­-ti­­ka­ ditemukan, sebagian besar dalam ke­ada­an dehidrasi parah dan ­menderita luka. Sekitar 50 orang di antaranya ke­mu­­dian dilarikan ke rumah sakit di Aceh.

Sebelum 192 pengungsi Rohingya itu, sebanyak 193 pengungsi Burma lainnya terdampar di Aceh. ”Mereka kelompok minoritas Islam yang tinggal di perbatasan Burma dan Bangladesh,” kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Jumat pekan lalu.

Menurut Rahmat, ia pernah bekerja di Malaysia sebelum akhirnya melarikan diri ke Thailand karena ingin mencari penghidupan yang lebih baik. ”Saya bekerja sebagai nelayan dan pedagang makanan,” katanya. ”Kami tidak melakukan tindak kejahatan apa pun, me­ngapa mereka menyiksa kami?”

Penemuan ratusan pengungsi Rohingya di perairan Sabang ini menggenapi berita terdamparnya seribuan pengungsi minoritas Burma itu. Awal bulan lalu, ratusan pengungsi juga terdampar di perairan India.

Puluhan di antara mereka mati di­mang­sa ikan hiu di perairan ­Andaman yang ganas. Mereka mengaku diha­nyut­kan ke laut oleh tentara Thailand se­te­lah disiksa oleh polisi di tahanan imigrasi.

Kepada petugas imigrasi India, seorang laki-laki separuh baya mengaku me­nyaksikan anak laki-lakinya hilang di­telan ganasnya laut Andaman. ”Saya me­lihat anak saya menggapai-gapai min­ta tolong, tapi kami tidak bisa mela­kukan apa-apa karena perahu kami ju­ga diombang-ambingkan ombak,” ­ka­ta­nya.

Penyiksaan yang dialami pengungsi Rohingya ini tentu saja mengejutkan negara ASEAN dan dunia. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat internasional juga sudah mengajukan protes atas perlakuan keji pihak keamanan Thailand dalam memperlakukan para pengungsi ini.

Departemen Luar Negeri Republik Indonesia bahkan sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk menginvestigasi kedatangan para manusia pe­rahu ini. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan tim dari Departemen Luar Negeri akan memprosesnya sesuai dengan standar internasional.

Menurut Faizasyah, pemerintah juga sudah menyampaikan soal terdamparnya pengungsi Burma ini kepada perwakilan pemerintah Burma. Sejumlah aktivis hak asasi lokal meminta pemerintah Indonesia tidak gegabah mengirim kembali para pengungsi ini ke negaranya.

Menurut mereka, pengungsi muslim­ Rohingya adalah pelarian dari tindakan brutal pemerintah Burma. Salah satu konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pengungsi tahun 1952 menyebutkan, antara lain, pengungsi yang lari dari bahaya di negaranya tidak boleh dipulangkan.

Menteri Hassan Wirajuda mengatakan Indonesia belum memiliki target wak­tu pemulangan pengungsi. Penye­le­saian masalah ini butuh proses dan wak­tu sehingga tak dapat ditargetkan kapan Indonesia dapat memulangkan para manusia perahu itu,” kata Wira­juda.

Penyiksaan yang dialami para pe­ngungsi Rohingya ini tak pelak menampar muka pemerintah Thailand. Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Thailand meminta maaf atas penyiksaan yang dialami para pe­ngungsi dan berjanji menyelidikinya.

Meski demikian, pemerintah Thailand menyatakan mereka menerapkan prinsip kemanusiaan dalam menangani kasus pendatang ilegal. Dalam beberapa tahun terakhir, Thailand terus kebanjiran pendatang ilegal dari Burma serta sebagian kecil warga Kamboja dan Vietnam.

Sebagian besar di antara mereka bekerja serabutan sebagai nelayan dan pedagang di wilayah pantai tempat mereka berlabuh. Jumlah mereka terus membengkak hingga mencapai puluh­an ribu orang.

Ribuan pengungsi Rohingya itu kemudian ditangkap lewat aksi pember­sih­an pendatang ilegal. Tak seorang pun di antara mereka memiliki data dan dokumen identitas. Dengan alasan bisa mengancam keamanan, sebagian pengungsi itu dideportasi.

Namun, sebagaimana yang dialami para pengungsi Rohingya ini, mereka dikeluarkan dari Thailand dengan cara tidak manusiawi. Digiring ke laut lepas di bawah todongan senjata.

Kabar miris pengungsi Rohingya itu membuat orang kembali menelusuri asal-usul mereka. Muslim Rohingya merupakan penduduk minoritas yang mendiami wilayah Arakan, sebelah barat Burma.

Laporan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Amerika Serikat (HRW) menyebutkan penduduk muslim Rohingya ini mengalami diskriminasi, penyiksaan, dan pembatasan kebebasan karena tidak diizinkan bekerja dan bepergian.

David Mathieson, juru bicara HRW, mengatakan para warga muslim Rohingya ini tidak memiliki kartu identitas serta menjadi bulan-bulanan pemerasan dan aksi kejahatan. ”Ini sudah berlangsung selama 30 tahun,” kata Mathieson.

Lebih menyedihkan, kata Mathieson,­ orang-orang Rohingya ini tidak bisa menikah tanpa izin pemerintah Burma. Jika ketahuan menikah diam-diam, mereka dihukum. Mereka juga tidak mendapat pengakuan kewarganegaraan dari pemerintah Burma.

Lewat undang-undang kewargane­garaan Burma 1982, hanya ada 135 kelompok etnis yang diakui pemerintah. Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Data HRW menyebutkan jumlah mu­slim Rohingya sekitar satu juta orang.

Menurut Chris Kaye, Direktur Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa, penduduk muslim Rohingya dilarang memiliki tanah garap­an dan tidak punya akses untuk mencari pekerjaan. Tidak aneh jika mereka hidup sangat miskin dan kelaparan.

Arakan Project, lembaga yang mene­liti kehidupan warga muslim Rohingya, menyatakan perlakuan diskriminatif membuat mereka bekerja lebih keras dibanding warga lain. Pria Rohingya dipaksa bekerja tanpa bayaran pada militer dan negara selama sepekan penuh. Karena itu, mereka tidak bisa mencari nafkah untuk keluarga.

Perlakuan diskriminatif ini membuat mereka memilih melarikan diri ke negara tetangga. Sebagian masuk Malaysia atau Bangladesh, bahkan ada yang sampai ke Arab Saudi. Terungkapnya derita pengungsi Rohingya ini kian mempertegas gambaran buruk junta­ militer Burma yang bersikap diskri­minatif dan antidemokrasi.

Angela (Jakarta), Adi Warsidi, Imran M.A., Ivo Lestari (Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus