Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUKA panjang menganga di punggung hitam legam itu belum kering benar. Membentang dari bawah pundak kiri hingga pinggang kanan, luka itu mengundang ngilu siapa pun yang memandangnya.
”Kami ditangkap polisi Thailand dan dibuang ke laut,” kata Rahmat, laki-laki 30-an tahun, yang duduk di sebelah Usman Goni, yang punggungnya luka. ”Dia dilecut rotan ketika kami ditahan,” katanya, menunjuk temannya itu.
Sore itu, Rahmat menjadi juru bicara dan saksi atas kekejian yang mereka terima dari polisi Thailand. Ia satu dari 192 pengungsi muslim Rohingya, Burma, yang terdampar di perairan Sabang dan Kuala Idi, Aceh, awal pekan lalu.
Ombak besar menghanyutkan mereka ke Aceh, setelah 21 hari terkatung di tengah laut. ”Ada 22 orang yang meninggal di atas kapal,” kata Rahmat dalam bahasa Melayu patah-patah. Cuma dia yang bisa berkomunikasi dengan petugas imigrasi dan dokter di Aceh.
Mereka ditemukan nelayan di tengah samudra, berdesakan di sebuah kapal kayu dengan panjang 13 meter dan lebar 4 meter. Perahu itu tak bermesin, tanpa makanan dan perlengkapan. Ke-tika ditemukan, sebagian besar dalam keadaan dehidrasi parah dan menderita luka. Sekitar 50 orang di antaranya kemudian dilarikan ke rumah sakit di Aceh.
Sebelum 192 pengungsi Rohingya itu, sebanyak 193 pengungsi Burma lainnya terdampar di Aceh. ”Mereka kelompok minoritas Islam yang tinggal di perbatasan Burma dan Bangladesh,” kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Jumat pekan lalu.
Menurut Rahmat, ia pernah bekerja di Malaysia sebelum akhirnya melarikan diri ke Thailand karena ingin mencari penghidupan yang lebih baik. ”Saya bekerja sebagai nelayan dan pedagang makanan,” katanya. ”Kami tidak melakukan tindak kejahatan apa pun, mengapa mereka menyiksa kami?”
Penemuan ratusan pengungsi Rohingya di perairan Sabang ini menggenapi berita terdamparnya seribuan pengungsi minoritas Burma itu. Awal bulan lalu, ratusan pengungsi juga terdampar di perairan India.
Puluhan di antara mereka mati dimangsa ikan hiu di perairan Andaman yang ganas. Mereka mengaku dihanyutkan ke laut oleh tentara Thailand setelah disiksa oleh polisi di tahanan imigrasi.
Kepada petugas imigrasi India, seorang laki-laki separuh baya mengaku menyaksikan anak laki-lakinya hilang ditelan ganasnya laut Andaman. ”Saya melihat anak saya menggapai-gapai minta tolong, tapi kami tidak bisa melakukan apa-apa karena perahu kami juga diombang-ambingkan ombak,” katanya.
Penyiksaan yang dialami pengungsi Rohingya ini tentu saja mengejutkan negara ASEAN dan dunia. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat internasional juga sudah mengajukan protes atas perlakuan keji pihak keamanan Thailand dalam memperlakukan para pengungsi ini.
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia bahkan sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk menginvestigasi kedatangan para manusia perahu ini. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan tim dari Departemen Luar Negeri akan memprosesnya sesuai dengan standar internasional.
Menurut Faizasyah, pemerintah juga sudah menyampaikan soal terdamparnya pengungsi Burma ini kepada perwakilan pemerintah Burma. Sejumlah aktivis hak asasi lokal meminta pemerintah Indonesia tidak gegabah mengirim kembali para pengungsi ini ke negaranya.
Menurut mereka, pengungsi muslim Rohingya adalah pelarian dari tindakan brutal pemerintah Burma. Salah satu konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pengungsi tahun 1952 menyebutkan, antara lain, pengungsi yang lari dari bahaya di negaranya tidak boleh dipulangkan.
Menteri Hassan Wirajuda mengatakan Indonesia belum memiliki target waktu pemulangan pengungsi. Penyelesaian masalah ini butuh proses dan waktu sehingga tak dapat ditargetkan kapan Indonesia dapat memulangkan para manusia perahu itu,” kata Wirajuda.
Penyiksaan yang dialami para pengungsi Rohingya ini tak pelak menampar muka pemerintah Thailand. Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Thailand meminta maaf atas penyiksaan yang dialami para pengungsi dan berjanji menyelidikinya.
Meski demikian, pemerintah Thailand menyatakan mereka menerapkan prinsip kemanusiaan dalam menangani kasus pendatang ilegal. Dalam beberapa tahun terakhir, Thailand terus kebanjiran pendatang ilegal dari Burma serta sebagian kecil warga Kamboja dan Vietnam.
Sebagian besar di antara mereka bekerja serabutan sebagai nelayan dan pedagang di wilayah pantai tempat mereka berlabuh. Jumlah mereka terus membengkak hingga mencapai puluhan ribu orang.
Ribuan pengungsi Rohingya itu kemudian ditangkap lewat aksi pembersihan pendatang ilegal. Tak seorang pun di antara mereka memiliki data dan dokumen identitas. Dengan alasan bisa mengancam keamanan, sebagian pengungsi itu dideportasi.
Namun, sebagaimana yang dialami para pengungsi Rohingya ini, mereka dikeluarkan dari Thailand dengan cara tidak manusiawi. Digiring ke laut lepas di bawah todongan senjata.
Kabar miris pengungsi Rohingya itu membuat orang kembali menelusuri asal-usul mereka. Muslim Rohingya merupakan penduduk minoritas yang mendiami wilayah Arakan, sebelah barat Burma.
Laporan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Amerika Serikat (HRW) menyebutkan penduduk muslim Rohingya ini mengalami diskriminasi, penyiksaan, dan pembatasan kebebasan karena tidak diizinkan bekerja dan bepergian.
David Mathieson, juru bicara HRW, mengatakan para warga muslim Rohingya ini tidak memiliki kartu identitas serta menjadi bulan-bulanan pemerasan dan aksi kejahatan. ”Ini sudah berlangsung selama 30 tahun,” kata Mathieson.
Lebih menyedihkan, kata Mathieson, orang-orang Rohingya ini tidak bisa menikah tanpa izin pemerintah Burma. Jika ketahuan menikah diam-diam, mereka dihukum. Mereka juga tidak mendapat pengakuan kewarganegaraan dari pemerintah Burma.
Lewat undang-undang kewarganegaraan Burma 1982, hanya ada 135 kelompok etnis yang diakui pemerintah. Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Data HRW menyebutkan jumlah muslim Rohingya sekitar satu juta orang.
Menurut Chris Kaye, Direktur Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa, penduduk muslim Rohingya dilarang memiliki tanah garapan dan tidak punya akses untuk mencari pekerjaan. Tidak aneh jika mereka hidup sangat miskin dan kelaparan.
Arakan Project, lembaga yang meneliti kehidupan warga muslim Rohingya, menyatakan perlakuan diskriminatif membuat mereka bekerja lebih keras dibanding warga lain. Pria Rohingya dipaksa bekerja tanpa bayaran pada militer dan negara selama sepekan penuh. Karena itu, mereka tidak bisa mencari nafkah untuk keluarga.
Perlakuan diskriminatif ini membuat mereka memilih melarikan diri ke negara tetangga. Sebagian masuk Malaysia atau Bangladesh, bahkan ada yang sampai ke Arab Saudi. Terungkapnya derita pengungsi Rohingya ini kian mempertegas gambaran buruk junta militer Burma yang bersikap diskriminatif dan antidemokrasi.
Angela (Jakarta), Adi Warsidi, Imran M.A., Ivo Lestari (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo