Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK jelas kapan informasi itu masuk Istana. Yang pasti, isinya mengejutkan. Si pengirim memberi tahu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada pemuka TNI Angkatan Darat yang mencoba mempengaruhi bawahannya agar tidak memilih calon presiden berinisial ”S” dalam pemilihan presiden Juli depan. Informasi lain menyebutkan ada petinggi polisi yang kasak-kusuk membentuk tim sukses untuk memenangkan calon presiden tertentu.
”Saya yakin informasi itu tidak benar. Saya yakin, sekali lagi, informasi itu tidak benar. Wartawan jangan lupa catat,” kata Yudhoyono saat berpidato di depan peserta Rapat Pimpinan TNI dan Rapat Koordinasi Kepolisian akhir Januari lalu di Istana Merdeka, Jakarta.
Meski Presiden sudah menepisnya dan mengaku tak percaya, isu ini tetap saja meledak dan publik sibuk menduga-duga siapa yang dimaksud oleh Yudhoyono. Kabar angin pun jadi liar, menyambar figur-figur mantan perwira militer yang kini aktif berpolitik.
Bursa pemilihan RI-1 tahun ini memang diramaikan sederet purnawirawan jenderal. Ada Jenderal (Purn) Wiranto yang diusung Partai Hati Nurani Rakyat, Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto yang didukung Partai Gerakan Indonesia Raya, Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso yang dicalonkan Partai Indonesia Sejahtera, dan Letnan Jenderal (Purn) Muhammad Yasin yang diusulkan Partai Karya Perjuangan. Bahkan pesaing terdekat Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, juga didukung sederet pensiunan jenderal.
Semua kandidat itu mantan perwira berpengaruh di masanya. Wiranto adalah mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (1998-1999). Prabowo dikenal sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat pada 1995-1998 dan sempat juga menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Sedangkan Sutiyoso dan Yasin, meski karier militernya tak mencapai jajaran teras, juga punya barisan pendukung setia masing-masing.
Banyak yang menduga lontaran kabar miring soal penggalangan dukungan politik di kalangan militer ini tak lepas dari panasnya pertarungan Yudhoyono versus kolega-koleganya itu. Semacam pemanasan menjelang hari pencontrengan empat bulan lagi.
KABAR burung terbang tak tentu arah. Ada rumor yang menyatakan ada calon presiden purnawirawan yang memanfaatkan loyalitas mantan bawahannya untuk menggalang lobi-lobi politik. Ada juga kabar soal pensiunan jenderal yang getol bergerilya ke tangsi-tangsi militer menggalang suara keluarga prajurit. Namun semua informasi itu sulit dilacak kebenarannya dan bantahan juga datang dari mana-mana.
M. Yasin, yang disebut-sebut punya jaringan pendukung kuat di kalangan baju loreng, mengunci mulut saat ditemui pekan lalu. Pada pemilihan presiden 2004, Yasin termasuk tokoh utama dalam lingkaran inti tim kampanye Yudhoyono. Dialah yang disebut-sebut berada di balik kemenangan besar Yudhoyono di barak-barak militer. ”Dia berperan dalam penggalangan jaringan teritorial untuk mengumpulkan massa pemilih SBY ketika itu,” kata pengamat militer Universitas Indonesia, Andi Widjajanto.
Pada pemilihan tahun ini, Yasin meninggalkan Yudhoyono. Jackson Andre Kumaat, Sekretaris Jenderal Partai Karya Perjuangan, mengaku partainya memang banyak menampung purnawirawan jenderal yang merasa dikecewakan Demokrat, partai yang didirikan Yudhoyono. Namun dia menegaskan partainya tidak berencana memanfaatkan jaringan militer untuk memenangi pemilihan umum.
Meski begitu, Jackson juga mengakui partainya pernah mengadakan pertemuan informal dengan kalangan militer untuk memperkenalkan diri. ”Netralitas TNI itu mutlak, tapi keluarganya kan boleh memilih,” ujarnya.
Bantahan serupa datang dari Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Partai Gerakan Indonesia Raya. ”Setahu saya, hubungan Pak Prabowo dengan kalangan militer aktif tidak terlalu dekat lagi,” katanya. Muzani menjamin partainya tidak mengandalkan mantan kolega Prabowo di militer untuk memenangi pemilihan umum. ”Lihat saja, dari 400-an calon legislator kami, hanya enam orang yang purnawirawan,” katanya.
JURU bicara Presiden, Andi Mallarangeng, membenarkan, informasi soal petinggi militer yang menggalang gerakan ”Asal Bukan Calon Presiden S” alias ABS memang sempat masuk Istana. Tapi dia tidak bisa memastikan kapan isu ini disampaikan kepada Presiden, oleh siapa, dan lewat jalur mana.
”Ada tiga juta pesan pendek yang sampai saat ini masuk ke SMS 9949 Presiden plus ribuan surat yang masuk ke PO Box 9949,” katanya kepada Tempo pekan lalu. Andi menjelaskan, saat ini, siapa pun bisa memberikan informasi kepada RI-1. ”Bisa dititipkan lewat orang yang menghadap Presiden, bisa lewat surat, faksimile, pesan pendek, surat elektronik, macam-macam,” katanya. ”Tentu saja tidak semua informasi itu bisa dipercaya.”
Setelah dilakukan verifikasi dan analisis, barulah semua informasi itu bisa digolongkan menjadi laporan yang akurat atau tidak. Staf Istana, katanya lagi, punya mekanisme untuk memeriksa kesahihan setiap kabar yang masuk. ”Nah, informasi soal ABS ini tergolong informasi yang tidak diyakini kebenarannya,” kata Andi, kini salah satu Ketua Partai Demokrat.
Jika dinilai tak bisa dipercaya, dus tak layak ditanggapi serius, mengapa isu itu tetap dilemparkan Presiden ke publik? ”Itu semacam reminder saja,” kata Andi. Inti dari pidato Presiden saat memberikan pengarahan di depan peserta Rapat Pimpinan TNI dan Rapat Koordinasi Kepolisian itu, kata Andi, justru bermaksud mengingatkan jajaran pemimpin militer dan polisi agar tetap netral.
”Masak, Presiden tidak boleh mengingatkan?” kata Andi lagi. ”Yang salah adalah jika Presiden mengatakan: oke, para jenderal, laksamana, marsekal sekalian, Anda sudah tahu ya siapa yang seharusnya dipilih, sudah tahu, ya?” ujarnya, terbahak.
Anggota staf khusus Presiden, Heru Lelono, menegaskan, Presiden percaya sepenuhnya pada kemampuan TNI/Kepolisian menjaga netralitasnya. Dia juga memastikan tak pernah ada rapat di lingkaran dalam RI-1 membahas isu adanya petinggi militer yang tak netral dalam persiapan pemilihan umum. ”Kalau Istana menilai isu itu akurat, tentu akan ada rapat-rapat khusus membahasnya,” kata Heru. ”Buktinya ini tidak ada apa-apa.”
Meski disebut ”tidak ada apa-apa”, lontaran Presiden membuat pimpinan TNI Angkatan Darat sibuk melakukan antisipasi. Selasa pekan lalu, empat hari setelah pidato Yudhoyono itu, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo langsung mengumpulkan 200-an purnawirawan di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Tampak antara lain mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu, mantan Kepala Staf Umum TNI Letnan Jenderal (Purn) Suaidi Marasabessy, dan mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letjen (Purn) Kiki Syahnakri. Satu-satunya calon presiden yang muncul adalah Sutiyoso.
”Kita sampaikan bahwa komitmen TNI jelas, yakni netral dan tidak berpolitik dalam Pemilu 2009,” kata Agustadi seusai acara. ”Saya mohon kepada para senior agar tidak mengajak anak-anak berpolitik. Sebab, mereka masih terikat dengan tugas sebagai prajurit negara,” katanya.
Menyambung Agustadi, Ketua Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat Letjen (Purn) Soerjadi hanya berujar, ”Kami mohon agar kawan-kawan membantu almamater, menjaga netralitas prajurit dalam pemilihan nanti.”
Wahyu Dhyatmika, Iqbal Muhtarom, Kurniasih Budi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo