Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Eksekutif Bidang Penelitian Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Shafiah F. Muhibat menilai prinsip bebas aktif di era Presiden RI Prabowo Subianto kerap dijadikan sekadar alasan untuk berbagai kebijakan luar negeri Prabowo. Contohnya, keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS yang dikritik selalu ditangkis dengan menggunakan prinsip bebas aktif sebagai tameng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shafiah memaparkan prinsip bebas aktif itu sebenarnya bersifat fleksibel sehingga dapat dijadikan sebagai sebuah doktrin politik luar negeri yang baik dan cocok untuk Indonesia. Namun, Shafiah menilai prinsip yang fleksibel itu kini justru dijadikan justifikasi atas kebijakan luar negeri apa saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau anak zaman sekarang bilangnya cocoklogi, apa aja cocoknya, alasannya adalah bebas aktif,” kata Shafiah kepada Tempo saat menghadiri focus group discussion (FGD) secara virtual pada Rabu, 15 Januari 2025.
Selanjutnya, Shafiah menilai pemerintah mesti memiliki grand strategy yang bisa dijadikan dasar untuk membentuk kebijakan luar negeri. Langkah ini penting agar Prabowo tak lagi banyak membuat kejutan yang kemudian harus dibereskan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu).
“Kemlu kurang dari 100 hari sudah beberapa kali harus bikin klarifikasi. Kayaknya kerjanya bikin klarifikasi saja. Pokoknya ada apa, dibuat klarifikasi,” ucapnya.
Berkenaan dengan itu, Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menegaskan arah kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan tetap mengedepankan prinsip bebas aktif.
“Indonesia tidak memiliki posisi netral, posisi kita adalah bebas dan aktif,” ujar Havas kepada Tempo di kantor Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada Jumat, 17 Januari 2025.
Tak seperti prinsip bebas aktif, Arif menuturkan, prinsip netral memiliki arti yang berbeda. Dalam tinjauan hubungan internasional, prinsip netral merujuk pada sikap tidak berpihak, terutama dalam konteks perang.
Sebaliknya, mantan Duta Besar Indonesia untuk Jerman itu menerangkan bahwa prinsip bebas merujuk pada sikap independen atau tidak bergantung pada pihak mana pun. Prinsip ini, membuat Indonesia memiliki kebebasan untuk mencari negara mitra dan menentukan kebijakan luar negeri tanpa harus ikut dalam keputusan suatu aliansi.
Arah kebijakan luar negeri Indonesia secara detail dibahas dalam Majalah Tempo edisi khusus 100 hari kerja Presiden Prabowo yang terbit pekan ini. Dalam laporan “Politik Luar Negeri di Bawah Komandan Prabowo”, Tempo mengungkap adanya dominasi Presiden Prabowo Subianto atas kebijakan dan diplomasi politik luar negeri. Sebagai presiden, Prabowo memiliki kecenderungan untuk enggan didikte dalam pengambilan keputusan untuk urusan luar negeri. Keputusan yang Prabowo ambil tanpa kajian matang tak jarang membuat kegaduhan di dalam negeri dan dunia internasional.
Pilihan editor: Iran Luncurkan Rudal Balistik Baru, Mampu Jangkau Israel
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini