PEMERINTAH Prancis tampaknya sedang terancam aib. Hingga awal pekan ini, kasus Rainbow Warrior, kapal milik kelompok pencinta lingkungan alam Greenpeace, yang meledak dan tenggelam di pelabuhan Auckland, Selandia Baru, 10 Juli lalu, berkembang ke arah yang merisaukan. Selasa pekan lalu, misalnya, perdana menteri Selandia Baru David Lange memanggil pulang duta besarnya dari Paris. Langkah itu diambil sehari setelah Bernard Tricot, Gaullis kawakan yang ditunjuk Presiden Francois Mitterrand memimpin tim pengusutan, menyampaikan laporan resmi. Inti laporan 29 halaman yang disampaikan Tricot adalah Direktorat Umum Keamanan Luar Negeri Prancis (DGSE) tidak terlibat dalam makar itu. Kedua tertuduh yang ditangkap petugas keamanan Selandia Baru dua hari setelah peristiwa, Sophie Claire Turenge dan Alain Turenge, diakui sebagai agen DGSE. Tetapi, "Mereka tidak mempunyai sangkut paut dengan peledakan apa pun," kata Tricot. Kesimpulan inilah yang menggusarkan Lange. "Hasil penyelidikan itu kontradiktif dan tidak konsekuen," katanya. Dengan nada agak berang, ia menuntut laporan itu dicabut, dan pemerintah Prancis meminta maaf kepada Selandia Baru. Kasus Rainbow Warrior, yang menewaskan fotografer Belanda kelahiran Portugal, Fernando Pereira, akhirnya memang berliku-liku. Kedua tertuduh yang ditangkap pemerintah Selandia Baru itu kemudian ternyata adalah Dominique Prieur, 36, dan Alain Mafart, 35. Domonique, dalam laporan Tricot, diidentifikasikan sebagai kapten angkatan darat Prancis. Sedangkan Alain disebutkan sebagai komandan sebuah pusat latihan manusia katak di Aspretto, Corsica. Selain mereka, masih ada empat tertuduh lain. Seorang di antaranya disebut sebagai Frederique Bonlieu, agen DGSE yang menyelundup ke tubuh Greenpeace, Mei lalu. Pada 24 Mei, agen yang sesungguhnya bernama Christine Cabon, 33, yang berpangkat letnan pada pasukan khusus angkatan darat ini, berangkat dari Selandia Baru, kemudian tampak sebentar di Israel. Sementara itu, empat orang lain yang datang secara terpisah muncul di Noumea, New Caledonia, akhir Mei. Mereka mencarter sebuah yacht, Ouvea. Tiga dari keempat orang itu, Roland Velche, Jean-Michel Berthelo, dan Eric Audrenc, belakangan dikenali sebagai anggota angkatan bersenjata. Mereka, setelah mendengar imbauan internasional yang disiarkan pemerintah Selandia Baru, menyerahkan diri kepada kepolisian Paris, sejam sebelum Tricot menyampaikan laporan pengusutan. Ternyata, ketiga orang tersebut kemudian dibebaskan begitu saja. Padahal, menurut sebuah versi, merekalah yang, dengan menumpang Ouvea, tiba di Selandia Baru mendahului pasangan Dominique-Alain. Pasangan ini sendiri, yang menggunakan paspor palsu Swiss dan mengaku sedang berbulan madu, pada 7 Juli kelihatan berbincang dengan awak Ouvea di tangkahan Whangarei. Hari itu juga, dengan mobil Toyota carteran, Dominique dan Alain berangkat ke Auckland. Sebelum Rainbow Warrior meledak, Ouvea angkat jangkar, kemudian muncul di Pulau Norfolk, Australia, 13 Juli. Mereka sempat dicegat dan diperiksa petugas keamanan Selandia Baru tetapi kemudian dilepaskan. Adapun orang keempat, Dr. Xavier Maniguet, mengaku tidak tahu-menahu tentang peledakan Rainbow Warrior, dan dari Norflok langsung terbang ke Paris. Tim Pengusut Selandia Baru, yang dipimpin Inspektur Detektif Allan Galbraith, beruntung mengumpulkan sejumlah barang bukti. Di antaranya perahu karet, motor tempel buatan Jepang, dan tabung-tabung oksigen "made in France". Alat-alat ini, berikut bom yang digunakan meledakkan Rainbow Warrior, konon diangkut Ouvea. Tricot tidak membantah pengiriman misi DGSE ke Auckland. Tetapi, katanya, "Mereka hanya ditugasi mengumpulkan informasi." Perintah tugas itu diberikan 14 Juni. Rainbow Warrior tiba di Auckland pada 7 Juli, dengan rencana pelayaran protes ke Atol Moruroa di tenggara Tahiti, tempat Prancis diduga telah melakukan seratus kali uji coba senjata nuklir. Kini, hampir setiap hari pers Prancis berbicara tentang "Skandal Rainbow Warrior", yang mulai disindir sebagai "Watergate Prancis". Tudingan makin diarahkan kepada DGSE, lembaga yang berakar dari gerakan perlawanan Gaullis pada Perang Dunia II. Di samping kecaman bertubi-tubi dari Selandia Baru, pemerintah Prancis harus pula melayani Swiss, yang memprotes penggunaan paspor palsu negara netral itu dalam operasi Dominique dan Alain. Dalam program berita dan wawancara TV Prancis, muncul pula David McTaggart, ketua Greenpeace, yang memimpin sejuta anggota kelompok pencinta lingkungan itu. McTaggart baru saja meluncurkan dari Amsterdam kapal baru pengganti Rainbow Warrior, yang diberi nama Greenpeace. Anehnya, Bernard Tricot sendiri tidak kuat menampung kecaman ini. "Bila memang ada bukti-bukti baru dari Auckland boleh jadi kesimpulan saya selama ini keliru," katanya. "Semua ini merupakan bagian dari masalah yang tidak saya pahami." Soalnya kini, siapa yang memerintahkan sabotase itu. Tim Tricot sudah memeriksa, antara lain, Perdana Menteri Laurent Fabius Menteri Pertahanan Charles Hernu, Menteri Dalam Negeri Pierre Joxe, dan kepala DGSE Pierre Lacoste. Haruskah mereka mundur bila keterlibatan Prancis terbukti? "Memimpikan kemungkinan mundur pun saya belum pernah," jawab Hernu, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini