Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Revolusi Hari Ke-22

Militer akhirnya turun tangan dan melengserkan Presiden Mohammad Mursi yang baru satu tahun menjabat. Pemimpin yang terpilih secara demokratis itu dinilai gagal memperbaiki keadaan ekonomi, berseteru dengan banyak kelompok, dan mengakibatkan perpecahan.

7 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata Osama Gado tak lepas memandang layar lebar yang terpasang di sudut Lapangan Tahrir, Kairo, Mesir. Pemuda 29 tahun itu tengah menyaksikan Kepala Angkatan Bersenjata Mesir dan Menteri Pertahanan Jenderal Abdel Fattah al-Sisi mengumumkan pengambilalihan kekuasaan dari tangan Presiden Muhammad Mursi, Rabu sore pekan lalu waktu Mesir.

Begitu pengumuman selesai, Gado langsung melonjak kegirangan. Ia menghambur ke atas tank yang berjaga di sekitar Tahrir dan memeluk seorang tentara yang tengah berdiri di atasnya. Tentara yang menggunakan seragam loreng lengkap dengan senapan laras panjang itu hanya tersenyum. "Rakyat dan tentara bergandengan tangan. Ini adalah kemenangan rakyat Mesir," kata Gado sembari melambai-lambaikan ikat kepala merah dengan tulisan putih "Irhal, Mursi (Pergi, Mursi)". Sepanjang malam, Tahrir bak pasar malam. Klakson tak henti-henti berbunyi. Teriakan gembira, nyanyian, dan ledakan kembang api mewarnai suasana.

Krisis kepemimpinan di Mesir dalam sepekan ini akhirnya berujung pada pemakzulan Mursi lewat tangan militer. Militer turun tangan setelah ultimatum 48 jam untuk menyelesaikan masalah dengan demonstran tak dipenuhi Mursi. Dua hari sebelumnya, Al-Sisi memberikan tenggat bagi Mursi untuk memenuhi tuntutan pendemo atau tentara ikut campur. "Angkatan bersenjata tidak bisa hanya menutup mata dan telinga terhadap pergerakan yang telah memanggil rakyat Mesir. Mereka berperan sangat patriotik dan tidak berpolitik," kata Al-Sisi dalam pidatonya.

Desakan mundur yang disuarakan dalam sepekan terakhir mau tak mau membuat militer ikut serta. Aksi berlangsung di Kairo, Nasr (kota pesisir Alexandria), serta kota di delta Sungai Nil, seperti Mansura, Menuf, Tanta, dan Mahalla. Juga di kota-kota Terusan Suez dan di Port Said, serta di kampung halaman Mursi, Zagazig. Situs Al-Ahram menyebutkan protes massal kali ini setidaknya melibatkan 17 juta orang. Aksi yang dimotori kelompok yang menyebut diri Tamarod atau pemberontak ini mengaku mengumpulkan 22 juta tanda tangan warga Mesir yang setuju Mursi mundur tiga tahun lebih cepat dari masa jabatannya.

Selain karena desakan rakyat, analis Mesir dari International Crisis Group, Yasser E-Shimy, mengatakan keberhasilan aksi kali ini karena keterlibatan banyak kelompok. Militer merangkul kalangan lain, seperti Mohamed Abdel-Aziz, pemimpin Tamarod yang menggagas aksi; Salafist Nour Party yang ultra-konservatif; plus Mohamed ElBaradei, yang mewakili dua koalisi oposisi Front 30 Juni dan Front Penyelamatan Nasional (NSF). Mereka juga mendapat dukungan dari Imam Besar Al-Azhar Ahmed el-Tayyeb dan Paus Gereja Ortodoks Koptik Tawadros II.

Al-Sisi, jenderal berusia 59 tahun, kemudian mengumumkan berlakunya roadmap untuk Mesir. Isinya antara lain pelengseran Mursi dan pembekuan undang-undang, serta menunjuk Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir Andli Mansur sebagai pemimpin interim. Selain itu, disebutkan akan dibentuk pemerintahan yang terdiri atas teknokrat, panel yang akan merevisi undang-undang, dan persiapan pemilihan presiden.

Pendukung Mursi menyebut aksi ini sebagai kudeta. "Demi Mesir dan sejarah, apa yang terjadi sepantasnya disebut kudeta militer," kata Essam al-Haddad, penasihat keamanan Mursi, dalam akun Facebook-nya. Lewat situs resminya, Al-Ikhwan al-Muslimun, yang menjadi pendukung utama Mursi, menyebut langkah ini sebagai konspirasi terhadap legitimasi, kudeta militer yang menyia-nyiakan keinginan rakyat dan mengembalikan Mesir ke era kezaliman.

n n n

Empat hari awal Juli, Lapangan Tahrir seperti mengulang peristiwa dua setengah tahun lalu, meski dengan durasi lebih pendek. Pada 2011, ratusan ribu rakyat Mesir berkumpul di lapangan yang berarti "pembebasan" tersebut. Selama 18 hari mereka berdemonstrasi menuntut mundur Husni Mubarak, presiden yang memimpin negara itu selama tiga dekade, 1981-2011. Mubarak yang otoriter itu lengser. Kejadian yang sama terulang. Sejak 29 Juni lalu, rakyat Mesir kembali turun ke jalan. Kali ini para pendemo tak butuh waktu lama, hanya empat hari, sampai Rabu pekan lalu, untuk kembali menjatuhkan presiden. "Revolusi hari ke-22," bunyi sebuah tulisan berkelir hitam di dinding dekat Lapangan Tahrir. Jumlah ini merupakan penambahan hari demonstrasi dalam menumbangkan Mubarak dan Mursi.

Kondisi saat terjadinya kedua revolusi itu dapat dikatakan mirip. Rakyat tak lagi percaya kepada presiden dan meminta mundur. Bedanya, menurut Fawaz Gerges, profesor politik Timur Tengah dan hubungan internasional di London School of Economics and Political Science, kali ini yang diturunkan adalah presiden pertama yang terpilih dalam pemilu demokratis pada Juni tahun lalu. "Presiden yang mendapat dukungan 51,7 persen suara rakyat Mesir," katanya.

Ada beberapa alasan yang membuat rakyat menginginkan Mursi mundur. Kondisi perekonomian Mesir terus memburuk. Investasi asing tidak kunjung datang, sementara sektor pariwisata yang merupakan salah satu tulang punggung perekonomian tak juga pulih. Harga bahan makanan, bahan bakar, dan komoditas lain terus meroket. Listrik sering mati karena ketiadaan bahan bakar. Nilai tukar uang pound Mesir terhadap dolar Amerika Serikat turun hingga 10 persen sejak akhir tahun lalu.

Upaya kabinet Mursi mencari pinjaman lunak US$ 4,8 miliar dari Dana Moneter Internasional belum berbuah hingga kini. "Mereka meminjam uang dari mana-mana," ujar Said Ahmed, pendemo yang menyebut angka US$ 11 miliar yang dipinjam Mesir dari Qatar, Arab Saudi, dan Turki. "Siapa yang akan membayar itu? Anak-anak kami," katanya berang.

Kesalahan fatal Mursi adalah menerbitkan dekrit presiden pada 22 November 2012. Mursi memecat jaksa agung, membuat semua keputusan presiden kebal dari gugatan hukum, dan menegaskan keabsahan parlemen Mesir, yang sebelumnya sempat digugat beberapa pihak. Sebulan setelah dekrit itu diterbitkan, pemerintahan Mursi menggelar referendum untuk mengesahkan konstitusi baru. Konstitusi ini dinilai hanya mencerminkan kepentingan kelompok Mursi dan makin intoleran terhadap elemen politik.

Dalam setahun ini, Mursi semakin dekat dengan kelompok yang mengajukannya sebagai presiden, Al-Ikhwan al-Muslimun. Gerakan Islam yang didirikan Hassan al-Banna pada 1928 ini tidak disukai kelompok sekuler dan minoritas karena sikapnya yang keras dan tak kenal kompromi. Mursi malah memberikan sejumlah kursi penting kepada para kader Al-Ikhwan. Sebanyak 13 dari 27 gubernur baru semuanya dari Al-Ikhwan. Menteri-menteri Mursi juga mengganti bawahannya dengan para loyalis. Kementerian Pendidikan telah memasukkan kader Al-Ikhwan hingga ke tingkat kepala sekolah. Kementerian Kebudayaan mengganti pemimpin Cairo Opera House, Cairo Ballet Company, dan Egyptian Book Authority—penerbit terbesar di Mesir—dengan orang-orang Al-Ikhwan al-Muslimun.

Popularitas Mursi terperosok kian dalam. Dalam jajak pendapat Zogby, April hingga Mei lalu, dukungan terhadap Mursi melorot tajam dari 57 persen hingga tinggal hanya 28 persen. Pemimpin oposisi Mesir, Mohamed ElBaradei, menyebut Mursi gagal memimpin Mesir ke jalan demokrasi yang benar setelah Mubarak dijatuhkan. "Negeri ini ambruk karena pemerintahnya gagal. Benar-benar gagal," kata pendiri Partai Dostour itu. "Kami berikan suara kami kepada dia (Mursi) untuk memimpin, tapi dia tak tahu cara memimpin. Negeri ini sudah rusak."

Perpecahan pun terjadi hingga ke tingkat keluarga, seperti yang terjadi delta Sungai Nil. Saad Douma, yang tinggal di Beherira, sangat loyal kepada Mursi. Guru 58 tahun itu anggota Al-Ikhwan al-Muslimun selama 35 tahun. Namun putranya, Ahmed Douma, 23 tahun, yang tinggal di Kairo, adalah aktivis oposisi penentang Mursi. Saat ini ia ditahan karena menghina Mursi dalam sebuah program talk show. "Kami berbeda dalam soal ideologi politik. Dia terlalu blakblakan. Ucapannya banyak yang di luar batas tradisi," ujar Saad Douma, seperti dilansir BBC. Namun ia mengaku terus memikirkan anaknya. "Meninggalkan dia di balik jeruji besi tanpa kebebasan ini menyakitkan saya," katanya.

Kebebasan yang semakin sempit itulah yang dikhawatirkan Khaled Fahmy, Ketua Jurusan Sejarah American University di Kairo. Fahmy yang sekuler itu adalah aktivis yang ikut dalam rangkaian demonstrasi menurunkan Mubarak. Sebagai ahli sejarah yang berfokus pada kajian militer dan kepolisian Mesir selama 25 tahun, sejak awal tuntutannya adalah reformasi di bidang militer dan kepolisian. Menurut dia, Mursi tak melakukan apa pun dalam bidang ini. Tak ada pelaku penyiksaan selama demonstrasi Arab Spring yang diadili. Impunitas di Kementerian Dalam Negeri tak digugat Mursi sama sekali.

Fahmy memberi contoh peristiwa yang menimpa saudara sepupu sopirnya pada April lalu. Wael Hamdhi Rushi terbunuh di kantor polisi Heliopolis. Hamdhi bertengkar dengan seorang pemilik toko yang kemudian memanggil polisi. Aparat menahan Hamdhi dan saudaranya. Di tahanan polisi, dia memprotes perlakuan polisi terhadap adiknya yang baru berusia 14 tahun dan menderita epilepsi itu. Polisi malah membenturkan kepala Hamdhi ke dinding hingga tewas, dan menggantung tubuhnya dengan tali di dalam sel. Kemudian polisi memanggil sang ibu, memaksa menyaksikan tubuh anaknya yang baru berusia 19 tahun itu.

Mursi mengaku memang terdapat kesalahan dalam 12 bulan pemerintahannya. Dalam pidatonya yang disiarkan pada 1 Juli malam, ia mengeluh tak diberi kesempatan. "Bagaimana Anda bisa menjadi pemimpin yang baik di tengah atmosfer beracun?" katanya. Hanya dalam satu tahun dan tiga hari pemerintahannya, ada lebih dari 4.900 demonstrasi. "Jika seseorang terpilih secara konstitusional, kemudian muncul orang atau kelompok oposisi, dalam sepekan atau sebulan kemudian mereka akan memintanya mundur," ujar Mursi, yang kini menjalani tahanan rumah. Atau, dengan alasan terlalu banyak instabilitas, militer dan polisi memutuskan kembali berkuasa. Hal itulah yang ditakutkan banyak orang setelah revolusi hari ke-22.

Raju Febrian (BBC, CNN, AHRAM, Al-jazeera, Al-arabiya, Foreign Policy)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus