Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terdampar di Lontar Raya

Mempekerjakan anak di bawah umur, pabrik makanan olahan di Jakarta digerebek polisi. Jam kerja kelewat panjang, upah pun jauh di bawah batas minimal.

7 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUKAN bertalu-talu pada pintu pagar besi itu mengagetkan seisi rumah di Jalan Lontar Raya, Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat. Dari balik pintu, lewat lubang kecil yang bisa ditutup-buka, seorang anak mengintip. "Siapa? Ada perlu apa?" tanya dia. "Kami dari kepolisian," jawab Kepala Kepolisian Sektor Tanjung Duren Komisaris Firman Andreanto.

Firman bersama sembilan bawahannya mendatangi rumah pembuat makanan olahan berbahan daging ikan itu pada Jumat pagi dua pekan lalu. Mereka tak hanya ingin mengecek kebenaran laporan soal bau tak sedap yang selalu menguar dari rumah itu. Di luar urusan bau, polisi menerima laporan yang lebih genting: ada dugaan penyekapan pekerja di bawah umur.

Tanpa perlawanan, pintu pagar dari pelat besi setinggi tiga meteran itu dibuka. Tapi pemilik rumah, Tio Tju Meng alias Ameng, 62 tahun, tak ada di tempat. Di rumah dua lantai itu hanya ada Susanto, 52 tahun, keponakan Ameng yang hari itu mengawasi pekerjanya.

"Soal bau, belum sampai rumah saja sudah tercium," ujar Firman, Rabu pekan lalu. Tapi, soal dugaan penyekapan, polisi tak segera menemukan tanda-tandanya.

Polisi lalu meminta seisi rumah keluar dan berkumpul di halaman. Dari dalam, wajah-wajah belia satu per satu muncul. Semuanya ada 20 orang, sebanyak 12 di antaranya laki-laki. Sewaktu ditanya usia, semua kompak mengaku di atas 17 tahun. Tapi paras muka mereka yang masih polos segera mengundang curiga. Firman pun memutuskan membawa mereka ke kantor Polsek Tanjung Duren.

1 1 1

DELAPAN tahun lalu, Ameng dan istrinya, Ros, kulonuwun untuk membuka usaha kepada tetangganya di Lontar Raya. Kepada Wakil Ketua Rukun Tetangga M. Ratno, Ameng mengaku akan membuka penggilingan bakso. Warga di permukiman padat itu pun tak berkeberatan membubuhkan tanda tangan persetujuan. "Mulanya kami berpikir buat apa menghalangi orang usaha," kata Adrian, yang tinggal di samping kiri rumah Ameng.

Baru beberapa bulan usaha Ameng berjalan, tetangga mulai mengeluhkan bau amis yang tak terkira. Aroma anyir tercium di udara dari pagi sampai malam—kadang sampai dinihari. Belakangan tetangga tahu bahwa bahan baku yang diolah di rumah itu daging ikan. Selain untuk bakso, ikan digiling dan dikukus buat bahan nugget, yakiniku, dan kaki naga. Dipasarkan ke kawasan Lampung dan sekitarnya, makanan olahan Ameng dikemas dengan plastik berlogo PT Laba Sari.

Mewakili warga, pengurus rukun tetangga berkali-kali memberi tahu Ameng soal bau itu. Ameng pun memasang penyaring udara di atap rumahnya. Tapi, karena industri rumahan itu terus mengolah ikan dalam jumlah banyak, bau di udara tak kunjung hilang.

Diam-diam rupanya ada warga yang melapor ke kantor kepolisian terdekat. Tapi polisi tak langsung mengusut urusan aroma tak sedap itu. Polisi baru tergerak turun ke lapangan dua pekan lalu, ketika menerima laporan dugaan penyekapan pekerja anak.

Sewaktu menyisir rumah Ameng, polisi menemukan banyak belatung di pinggiran salah satu dari tiga mesin pembeku tempat menyimpan ikan. Di lantai satu rumah itu, lalat mengerubungi mesin penggiling dan aneka perlengkapan dapur yang biasa dipakai produksi. Dari situ, polisi curiga ikan bahan baku makanan olahan itu berkualitas buruk atau sudah kedaluwarsa.

Diperiksa di kantor Polsek Tanjung Duren, enam dari 20 buruh di rumah Ameng mengaku berusia di bawah 17 tahun. Yang paling muda, Ijah, baru berumur 14 tahun. Bocah perempuan asal Parung, Bogor, Jawa Barat, itu baru beberapa pekan bekerja di rumah Ameng. Adapun lima anak lainnya sudah bekerja beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun.

Polisi Tanjung Duren lalu melimpahkan kasus itu ke Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat. Di Polres, kasus ini ditangani Unit Pelayanan Perempuan dan Anak.

Sehari semalam memeriksa Ameng, Susanto, dan 20 pekerjanya, polisi tak menemukan indikasi penyekapan. "Tak ada bukti yang mengarah ke situ," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Hengki Haryadi.

Meski pintu pagar rumah Ameng sering digembok, tetangga dekat pun sangsi akan kebenaran laporan penyekapan itu. Adrian, misalnya, menyebutkan pekerja Ameng biasa ngobrol di depan rumah dia, terutama pada jam istirahat siang. Saban Jumat malam, mereka juga boleh pergi ke pasar malam tak jauh dari rumah majikannya. Di akhir pekan, ketika mendapat jatah libur, mereka bahkan boleh ke luar rumah hingga larut malam.

Semalam menginap di kantor polisi, Sabtu sore dua pekan lalu, Ameng, Susanto, dan 20 pegawainya diperbolehkan pulang ke Lontar. Tapi itu tak berarti sang majikan sudah lepas dari ancaman hukuman. "Penyelidikan masih berjalan," ujar Hengki. Polisi menduga Ameng melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan. Soalnya, dia mempekerjakan anak di bawah umur lebih dari tiga jam sehari, seperti yang disyaratkan undang-undang. Ameng pun hanya menggaji pekerjanya Rp 450-900 ribu per bulan—jauh di bawah upah minimum Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 2,2 juta.

Ijah, misalnya. Sebagai pekerja termuda, dia hanya dibayar Rp 450 ribu per bulan. Padahal Ijah bekerja rata-rata 12 jam per hari. Seperti pekerja lain, ia baru dihitung lembur bila bekerja di atas pukul 20.00. Imbalannya, dia hanya mendapat uang jajan Rp 25 ribu dan uang lembur Rp 10 ribu per pekan. Anehnya, Ijah tak mengeluhkan kecilnya gaji yang dia terima. "Yang penting dapat uang untuk Lebaran," katanya.

Kepada Tempo, Susanto alias Alip membantah jika disebut memaksa anak-anak di bawah umur bekerja di pabrik makanan olahan milik Ameng. "Mereka datang diantar orang tuanya. Daripada nganggur, ya, kami pekerjakan," ucap Alip. "Kalau tak betah dan mau pulang, tak pernah kami tahan-tahan."

Sejauh ini polisi belum menetapkan Ameng sebagai tersangka. Soalnya, polisi masih mencari bukti identitas kependudukan yang menunjukkan usia anak-anak itu. "Kalau perlu, tim kami akan mencari ke daerah asal mereka," kata Hengki. Sebagian pekerja di rumah Ameng berasal dari Jawa Barat, Banten, dan Lampung.

Untuk menguji kelaikan makanan olahan Ameng, polisi meminta bantuan Balai Pengawas Obat dan Makanan DKI Jakarta. Jika bahan ikan yang diolah terbukti busuk, Ameng bisa saja dijerat pasal perlindungan konsumen. Masalahnya, ketika tim Balai POM mendatangi rumah Ameng, Senin pekan lalu, ikan beku untuk diolah sudah lenyap dari mesin pendingin. Yang ditemukan hanya bahan setengah jadi, seperti daging ikan yang sudah dikukus dan digiling. "Sekarang masih diperiksa di laboratorium," ujar Roy Sparringa, Deputi Pengawas Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Meski proses hukum belum jelas ujungnya, Ameng langsung menutup usaha makanan olahan itu. Dia pun meminta pegawainya mencari pekerjaan lain atau pulang kampung. "Karena masih dianggap anak-anak, saya harus segera pulang," kata Juli, yang mengaku berusia 20 tahun, Selasa pekan lalu. Menenteng kardus putih, remaja asal Pandeglang, Banten, itu berpamitan kepada beberapa temannya yang juga menunggu giliran pulang.

Aryani Kristanti, Dimas Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus