Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rombongan polisi itu menerobos ke dalam toko kelontong di Jalan Kesunean, Cirebon. Pemilik dan penunggu toko terkesiap karena kedatangan tamu yang tak mereka duga. Mereka pun tak sempat menyembunyikan barang yang dicari-cari polisi. Sewaktu keluar dari toko itu, polisi memboyong tujuh kardus penuh aneka minuman berkadar alkohol rata-rata di atas 20 persen.
Dari Kesunean, tim Kepolisian Resor Kota Cirebon bergerak menuju Jalan Ahmad Yani, sekitar Terminal Harjamukti. Di salah satu warung, polisi menemukan dua jeriken besar berisi tuak. Tanpa perlawanan pemilik warung, puluhan liter tuak itu pun diangkut polisi. Hingga operasi berakhir sore hari, polisi menyita ratusan botol minuman keras dan ratusan liter minuman oplosan.
Razia seperti itu rutin digelar menjelang bulan puasa. Tapi, di Kota Cirebon, razia kali ini agak istimewa. Aparat sekalian mengetes pengetahuan warga Cirebon tentang larangan total peredaran dan penjualan minuman keras di kota wali itu. "Ternyata banyak yang belum tahu larangan itu," kata Kepala Satuan Samapta Bhayangkara Polresta Cirebon Ajun Komisaris R. Nana Ruhiana.
Tiga pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cirebon mengesahkan Peraturan Daerah tentang Larangan Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Hari itu, 18 Juni lalu, di ruang Griya Sawala gedung DPRD, bukan hanya anggota DPRD dan pejabat teras pemerintah kota yang hadir, puluhan anggota berbagai organisasi kemasyarakatan Islam pun memenuhi sayap kanan dan belakang ruang rapat utama gedung itu.
"Allahu Akbar." Pekik takbir langsung bergema ketika Ketua DPRD Kota Cirebon Y.P. Yuliarso mengetukkan palu tanda lahirnya peraturan baru. "Ini aturan yang sudah lama kami tunggu," kata Bambang, anggota Forum Silaturahmi Kota Wali, yang hadir dalam rapat paripurna itu.
Hanya perlu waktu tiga bulan bagi DPRD dan Pemerintah Kota Cirebon untuk membahas rancangan peraturan inisiatif Dewan itu. Selama pembahasan, ada saja ormas Islam yang berunjuk rasa di gedung DPRD. Di sejumlah jalan protokol, spanduk berbagai ukuran pun sempat bergelantungan. Misalnya spanduk di Jalan Siliwangi dan Jalan Kartini. Tulisannya senada dengan tuntutan pengunjuk rasa: mendukung atau mendesak pelarangan total minuman keras.
Ketua Panitia Khusus DPRD Cirebon Cecep Suhardiman mengatakan peraturan baru itu merevisi sejumlah ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Ketertiban Umum. Dalam peraturan lama, minuman dengan kadar alkohol tertentu masih bisa beredar secara terbatas di Cirebon. "Sekarang tak ada toleransi lagi," ujar Cecep.
Kini semua jenis minuman beralkohol dilarang beredar di Kota Cirebon, tak peduli berapa persen kadar alkoholnya. "Sampai nol persen," kata Cecep. Larangan tak hanya berlaku untuk warung di pinggir jalan. Hotel, kafe, dan tempat hiburan malam pun dilarang menjual minuman keras. Minuman beralkohol hanya boleh dipakai secara terbatas untuk ritual keagamaan tertentu.
Sejak peraturan daerah baru disahkan, Cecep mengakui peraturan itu dibayangi ancaman pencabutan oleh pemerintah pusat. Maklum, isi peraturan daerah itu bertentangan dengan peraturan di atasnya, antara lain dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Keputusan presiden itu bukan melarang peredaran minuman beralkohol, hanya membatasi. Minuman berkadar etanol 2,5-55 persen masih boleh beredar di hotel, bar, restoran, dan tempat yang ditetapkan oleh gubernur. Syaratnya, tempat "tertentu" itu tak berdekatan dengan tempat ibadah, sekolah, atau rumah sakit. Syarat lainnya, minuman beralkohol hanya dijual kepada orang berusia di atas 25 tahun.
Cecep mengungkapkan larangan total minuman beralkohol sesuai dengan tuntutan masyarakat Kota Cirebon. Selama ini di kota wali yang dikenal agamis itu minuman keras justru beredar luas. Kegiatan yang melibatkan pemuda, dari hajatan sampai balapan liar, pun kerap diwarnai "pesta" minuman keras. "Banyak keributan yang dipicu orang mabuk," ujar Cecep.
Wali Kota Cirebon Ano Sutrisno meminta pemerintah pusat tak membatalkan peraturan daerah yang baru saja dia teken. Ano justru meminta pemerintah pusat merevisi keputusan presiden yang dia anggap tak sesuai lagi dengan aspirasi masyarakat itu.
Klaim Cecep dan Ano tak sepenuhnya mencerminkan suara warga Cirebon. Paling tidak, kalangan pengusaha dan pekerja tempat hiburan masih mempersoalkan peraturan itu. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kota Cirebon Nasrul Syah, misalnya, mengatakan tak pernah diundang DPRD untuk membahas pelarangan minuman beralkohol itu. Padahal selama ini semua hotel bintang tiga ke atas diizinkan menjual minuman beralkohol kepada tamunya.
Forum Pekerja Pelaku Usaha Hiburan Cirebon juga berkeberatan dengan larangan total minuman beralkohol. Pengurus Forum Pekerja, Yudis, mengungkapkan banyak temannya yang cemas terhadap larangan yang bisa mengurangi jumlah pengunjung tempat hiburan itu. "Bila penerimaan perusahaan anjlok, karyawan juga yang kena," ujarnya. Yudis menyebutkan saat ini pekerja tempat hiburan di Kota Cirebon sekitar 1.200 orang.
Sumber-sumber di kalangan pengusaha tempat hiburan mengungkapkan hal lain yang mereka cemaskan. Mereka khawatir peraturan daerah itu menjadi "alasan pembenar" bagi sejumlah kelompok Islam garis keras untuk bermain hakim sendiri. Ketika minuman keras masih diizinkan di tempat terbatas, layaknya aparat resmi, kelompok seperti itu berkali-kali merazia tempat penjualan minuman keras.
Kota Cirebon menjadi daerah ke sekian yang melarang peredaran minuman keras. Pada 2011, Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi sembilan peraturan daerah mengenai minuman keras. Kementerian akhirnya mencabut tiga peraturan daerah, yakni peraturan daerah di Kota Tangerang, Kabupaten Indramayu, dan Kota Bandung.
Alasan Kementerian, peraturan daerah itu bertentangan dengan sejumlah peraturan di atasnya. Misalnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah serta dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Tak terima atas pencabutan peraturan itu, pada Januari 2012 seribuan anggota Front Pembela Islam dan Forum Umat Islam mengepung kantor Kementerian Dalam Negeri. Sebagian mengamuk dan melempari kantor dengan batu dan telur mentah. Pos petugas keamanan dirusak. Kementerian Dalam Negeri pun melaporkan kekerasan itu kepada polisi.
Buntut peristiwa itu, pada 10 Oktober 2012 FPI mengajukan uji materi atas Keppres Nomor 3 Tahun 1997 ke Mahkamah Agung. Mereka meminta Mahkamah mencabut keputusan presiden yang mengatur produksi, peredaran, dan penjualan minuman keras itu.
Di luar pantauan publik, pada 18 Juni 2013, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan FPI. Mahkamah menilai keputusan presiden itu bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Pangan. Mahkamah pun menganggap keputusan presiden itu tak bisa mewujudkan ketertiban masyarakat.
Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, setelah pencabutan keputusan presiden itu, peredaran minuman beralkohol justru bisa semakin bebas. "Karena tak ada aturan yang membatasi," katanya. Tapi, pada saat yang sama, terbuka peluang bagi pemerintah daerah untuk melarang total peredaran minuman keras. "Aturan seperti tak bisa lagi kami koreksi," ujar Gamawan.
Apa pun pilihan pemerintah daerah, Gamawan mengingatkan masyarakat tak boleh menyisir atau merazia tempat menjual minuman keras. "Itu wewenang polisi," ucapnya.
Jajang Jamaludin, Praga Utama (Jakarta), Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo