Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah sang ayatullah iran tanpa khomeini

Ayatullah uzma rohullah khomeini meninggal. jutaan rakyat iran berduka. namun pembencinya suka cita. kini ali khamenei tampil menggantikan. pemerintahan islam tegak, menumbangkan monarki yang berusia 40 th.

10 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NEGERI para mullah berkabung. Jerit tangis melanda di seantero Irar, sementara semua masjid mengumandangkan ayat-ayat suci Quran. Jalanan pun berubah jadi lautan manusia berpakaian serba hitam. Dari mulut mereka terucap doa dan puji sanjung untuk Iman Khomeini, yang telah membebaskan Iran dari zaman "jahiliah'. Slogan-slogan revolusioner pun kembali bergema, diselingi ucapan Inna Lillahi wa Inna llaihi Rojiun. Ya, Iran, negeri para mullah itu, Minggu pagi pekan ini kehilangan Ayatullah Agung mereka, Ayatullah Uzma Rohullah Khomeini. Jutaan manusia berdesakan agar bisa mendekat untuk terakhir kalinya pada orang yang mereka hormati itu, yang Senin pekan ini disemayamkan di Masjid Agung Teheran, dalam kotak kaca kehijauan, yang ditaruh di bangsal yang 10 meter tingginya. Mereka meraung-raung dan memukuli kepala atau dada, sesuai dengan tradisi Syiah untuk mengungkapkan perasaan dukacita, sebelum Khomeini dikuburkan Selasa pekan ini. Mobil pemadam kebakaran ikut beraksi dengan menyemburkan air ke udara, untuk melindungi para pelayat dari sengatan panas matahari. Dikabarkan, 8 orang tewas terinjak-injak dan puluhan luka-luka. Pemimpin spiritual tertinggi kaum Syiah Iran itu tak tertolong lantaran kena serangan jantung pada Sabtu malam pekan lalu, 12 hari setelah menjalani pembedahan lambung. "Khomeini adalah rahmat Allah. Dan rahmat Allah adalah abadi," ujar Ahmad Khomeini, putra sulung pemimpin besar itu, menyambut kematian Khomeini. Dan kematian itu mengundang beragam reaksi dunia, di samping meninggalkan sejumlah masalah bagi Iran sendiri. Pernyataan dukacita tak cuma datang dari kaum Syiah di banyak negeri misalnya di Libanon dan Negara Bagian Kashmir, India. Bahkan Pakistan, yang mayoritas penduduknya penganut Suni, memberlakukan masa berkabung selama 10 hari. Sebaliknya Irak malah bersukacita. Rasa permusuhan dengan Iran di negeri ini tampaknya masih tebal, meski perang sudah dihentikan beberapa waktu lalu. Kata Presiden Irak Saddam Hussein, "Saya tak menghendaki Khomeini cepat-cepat mati. Saya berharap agar dia menyaksikan rakyat Iran menumbangkan dirinya dengan hina. " Salman Rushdie, penulis novel Ayat-Ayat Setan yang beberapa waktu lalu dijatuhi hukuman mati oleh Khomeini, ikut lega. Lewat seorang rekannya, pengarang Pakistan yang menjadi warga negara Inggris itu menyatakan akan segera meninggalkan tempat persembunyiannya. "Bersamaan dengan kematian Khomeini, hukuman itu otomatis tak berlaku," kata Kalim Sidiqi, dari Lembaga Muslim Inggris. AS, yang dianggap sebagai Setan Besar oleh Khomeini, ternyata lebih berhati-hati. "Saya harap Iran akan lebih menyadari tanggung jawab internasional," ujar Presiden George Bush. Yang cemas dengan meninggalnya Sang Ayatullah adalah kaum Syiah radikal di Libanon dan Mesir. Selama ini mereka menjadi kekuatan yang cukup diperhitungkan karena mendapat sokongan penuh dari Iran. Bila ternyata Iran berubah, mereka akan kehilangan tiang penyangga. Yang kemudian dikhawatirkan, jika mereka lantas bertindak ngawur dengan membunuhi para sandera Barat yang masih mereka sekap di Libanon. Memang, kebanyakan negeri mengharapkan Iran memilih haluan moderat. Dengan kematian Khomeini, kesempatan itu kini terbuka. Tentu, soal warna haluan itu tergantung pemimpin yang akan naik. Dan itu agaknya belum bisa tampak dalam waktu dekat. Seperti kata Reza Pahlevi, putra sulung Syah Iran, kepada stasiun TV CNN, "Saya tak melihat masa transisi di Iran akan berjalan mulus." Pahlevi dan kelompok-kelompok oposisi lain di pengasingan, konon, siap menggebrak Iran -- meski ini kecil kemungkinannya menjadi kenyataan. Yang patut diperhitungkan adalah Mujahidin Khalq dan Tentara Pembebasan Nasional Iran (INLA) -- tentara gabungan kaum oposisi di pengasingan -- yang dipimpin oleh Masud Rajavi. Sejak mendengar kematian itu, INLA siap menabuh genderang peperangan. Pasukan INLA langsung dipasang di tempat-tempat strategis di sepanjang perbatasan Iran -- Irak. Sementara itu, pernyataan "Siap menjadi sukarelawan" terus mengalir dari puluhan ribu pendukung Mujahidin Khalq di seantero Eropa dan AS. Mereka mau bertempur kapan saja sesuai dengan perintah. Agustus tahun lalu, beberapa hari menjelang tercapainya gencatan senjata antara Iran dan Irak, pasukan INLA berhasil menerobos wilayah Iran sejauh 150 km, mengusai Kota Islamabad E-Gharb selama beberapa hari. Kaum Mujahidin Khalq tampaknya termasuk mereka yang pesimistis bahwa Iran akan berubah. Keyakinan itu jugalah yang menghinggapi bekas Presiden Iran Abolhasan Banisadr, rekan seperjuangan Khomeini yang kemudian berselisih paham. Menurut Banisadr, yang kini hidup di Paris, pengganti Khomeini justru akan memerintah dengan lebih keras, dengan tangan besi. Karena itu, perang saudara seperti di Libanon akan meledak. Ada kemungkinan hal itu tak bakal menjadi kenyataan. Yakni, kata bekas presiden itu, bila tentara menjauhkan diri dari pertarungan politik. Itu menjamin proses demokratisasi tanpa menumpahkan darah. Sekarang kaum oposisi di Teheran sudah berani unjuk gigi. Mereka tak menggubris masa berkabung selama 50 hari yang diberlakukan pemerintah. Sebagian dari mereka malah memadati kedai-kedai kopi untuk bersukacita, tanpa peduli pada orang-orang lain yang masih meratapi kematian Khomeini. Sebenarnya, ada peluang bagi Iran untuk memperoleh pengganti Khomeini tanpa menimbulkan gejolak besar. Yakni seandainya Khomeini tak memecat Ayatullah Montazeri sebagai putra mahkota, Maret lalu. Selain Montazeri lebih punya wibawa ketimbang para mullah lain, diangkatnya dia dulu menjadi calon pengganti Ayatullah Rohullah telah lewat pemilihan. Tapi rupanya ada perubahan pada diri Montazeri yang tak diterima di hati Khomeini. Ayatullah yang mendampinginya sejak 1950-an itu tiba-tiba berubah sikap terhadap revolusi. Montazeri belakangan mengkritik soal pembantaian para tahanan politik, tak bergunanya perang dengan Irak, mengkritik jemaah haji Iran yang menimbulkan kekacauan di Mekah, dan menilai revolusi Iran belum bisa memenuhi janjinya kepada rakyat. Semua kritiknya itu ia tulis dalam surat tertuju kepada Khomeini. Selain kesempatan yang hilang itu, ada kemungkinan lain Iran memiliki pemimpin spiritual setingkat Khomeini (lihat Khamenei di tengah Ayalullah). Kancah politik di Iran kini sarat oleh para ayatullah peringkat dua. Tapi keputusan Majelis Ahli Agama, yang diumumkan 20 jam setelah kematian Khomeini, sungguh mengejutkan. Setelah berdebat selama hampir 8 jam, lebih dari 2/3 dari 80 mullah anggota majelis memilih Presiden Ali Khamenei sebagai pengganti Khomeini. Repotnya, menurut konstitusi Iran, pemimpin spiritual Iran harus seorang ayatullah uzma. Maklum, konstitusi memberikan kekuasaan tak terbatas kepada pemimpin spiritual, karena kedudukannya sebagai wakil utusan Allah. Sedangkan Khamenei hanya seorang hojatolislam, yang berada dua tingkat di bawah ayatullah uzma. "Seperti sebuah gereja yang tak berhasil mendapatkan pastor," itulah komentar Abolhasan Banisadr tentang terpilihnya Khamenei. Lalu, kenapa itu bisa terjadi? Menurut versi Abolqassem Khazali, salah seorang anggota Majelis Ahli Agama, itu sesuai dengan kehendak Khomeini. Bahkan bulan Maret lalu, ketika Rafsanjani menentang pemecatan Montazeri, Khomeini bilang, "Bukankah kalian sudah punya Khamenei?" Versi oposisi lain lagi. Menurut Masud Mujavi, pemimpin INLA itu, terpilihnya Ali Khamenei karena pertarungan mullah elite -- yakni Ahmad Khomeini dan Ketua Parlemen Hashemi Rafsanjani -- semakin kritis. Diharapkan Khamenei bisa menetralisasi keadaan meski hanya sementara. Kedudukan Khamenei sebagai pengganti Khomeini agaknya memang sekadar simbol dan bakal berakhir bulan Agustus mendatang. Bersamaan dengan berakhirnya pemilu presiden dan batas waktu perombakan konstitusi. Ketika itulah tampaknya warna politik Iran selanjutnya akan ditentukan. Rancangan konstitusi yang telah disusun oleh Panitia Perombakan Konstitusi mengusulkan presiden mendatang berfungsi penuh sebagai eksekutif negara, dan parlemen sebagai lembaga legislatif. Jabatan perdana menteri dihilangkan, dan pemimpin spiritual tak akan ikut campur dalam kancah politik. Seorang pemimpin seperti Khomeini, yang begitu besar pengaruh pibadinya atas jalannya kehidupan sosial politik di Iran, tak akan ada lagi. Perintah perombakan konstitusi itu diberikan sendiri oleh Khomeini April lalu. sebulan setelah pemecatan Montazeri. Semula ada kecurigaan, jangan-jangan konstitusi baru itu cuma menguntungkan kaum konservatif, yang memang mendapat angin selama Khomeini masih hidup. Dengan meninggalnya Sang Ayatullah, suasana pun berubah. Pihak moderat lalu punya harapan untuk menuangkan gagasan hingga perubahan konstitusi menguntungkan pihaknya. Lebih dari itu, kampanye untuk mengajukan calon presiden dalam pemilihan Agustus nanti kini terbuka sudah -- tak lagi ada rasa sungkan. Pancingan sudah dilemparkan oleh Menteri Perminyakan Iran Gholamreza Agazadeh dari Wina, Austria. "Rafsanjani teramat populer, sehingga sangat tepat untuk pos presiden," ujarnya di tengah kesibukannya mengikuti sidang OPEC. Sementara itu, suara kaum oposisi di pengasingan lain lagi. Mereka menjagokan Ahmad Khomeini, anak Ayatullah Khomeini yang selama ini jadi asisten pribadi bapaknya, sebagai pemenang. Mereka tampaknya tetap beranggapan bila pihak moderat naik kuasa, tiang sandaran buat mereka runtuh sudah. Bursa di Iran sendiri menurut sebuah laporan cenderung berpihak kepada kaum moderat. Dalam pemilu parlemen terakhir kubu moderat berhasil menguasai kursi mayoritas. Itu tampaknya karena Rafsanjani -- tokoh moderat yang belakangan bersuara keras karena, diduga, guna mempertahankan kedudukannya sebagai Ketua Parlemen -- melakukan perombakan ekonomi yang menguntungkan kaum saudagar. Jelasnya, sebelum ada kebijaksanaan itu jasa kaum saudagar seperti dilupakan. Hampir semua sektor ekonomi dan bisnis dikuasai oleh negara, termasuk ekspor-impor, sehingga banyak saudagar gulung tikar. Berkat lobi trio Rafsanjani-Khamenei-Montazeri kepada Khomeini, beberapa tahun lalu, swasta diberi kelonggaran. Itu pun masih sangat terbatas kendati harga-harga barang sudah melesat beberapa kali lipat. Kini, kaum saudagar tentu lebih berani mendukung trio itu. Lain daripada itu, di hari setelah diumumkan meninggalnya Khomeini, bahkan pihak militer dan Pasdaran menyatakan setia kepada Rafsanjani. Itu berarti habis sudah kesempatan pihak konservatif memanfaatkan kedua lembaga bersenjata itu untuk meraih kekuasaan puncak. Persaingan antara Rafsanjani dan Ahmad Khomeini mulai terkuak menjelang akhir Perang Iran-Irak. Anak Sang Ayatullah itu, yang semula tak menunjukkan ambisi politik, tiba-tiba ngotot agar perang dilanjutkan sampai Presiden Irak Saddam Hussein tumbang. Ia pun dengan keras menentang pemulihan hubungan dengan Barat. Baginya, sabda Khomeini harus dijalankan sepenuh hati. Sedangkan Rafsanjani percaya, pertempuran melawan Irak harus segera dihentikan dan hubungan dengan negara-negara Barat harus dipulihkan untuk menyelamatkan Iran dari kemelaratan. Maret lalu, dalam sidang parlemen untuk mengesahkan anggaran belanja 1989-1990, muncul data-data yang memprihatinkan. Tingkat inflasi telah mencapai 23% per tahun, dan tercatat lebih dari 4 juta orang menganggur. Kejengkelan Rafsanjani memuncak kala kubu konservatif menuntut agar anggaran pertahanan ditingkatkan. "Pemerintah tak becus menangani masalah ekonomi," gertaknya. Lalu ia mengancam akan meminta Ayatullah Khomeini mengintervensi kebijaksanaan ekonomi. Paling terpukul tentu Perdana Menteri Mir Hussein Musavi, sebagai penyusun dan penanggung jawab anggaran belanja pemerintah, dan Ahmad Khomeini sebagai pendukungnya. Karena itulah, mungkin, dia makin garang menyerang kaum moderat, sambil menggelorakan semangat untuk mengekspor revolusi. Ada faktor lain yang tampaknya menjadi harapan Ahmad Khomeini, yang kini berusia 44 tahun itu. Surat wasiat Ayatullah Khomeini, yang ditulis tujuh tahun lalu dan dirombak lima tahun kemudian, masih tertutup segel. Sesuai dengan amanat Khomeini, surat itu harus dibacakan oleh putranya di depan umum. Rafsanjani tentu tak berkutik jika isi surat itu ternyata menunjuk Ahmad Khomeini atau tokoh lain dari kubu konservatif sebagai penggantinya. Ada yang menduga bahwa tipis kemungkinan surat wasiat menyebutkan Ahmad sebagai pengganti Khomeini. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Khomeini membenci sistem monarki, sekalipun itu di Arab Saudi, karena tak memberi kesempatan kepada rakyat untuk menjadi pemimpin negara. Selama ini, Khomeini memang tak pernah menunjukkan usaha menjadikan anaknya sebagai putra mahkota. Bahkan Ahmad, yang dipercaya sebagai asisten kepala dan eksekutif kantor pribadinya, tak pernah diberi jabatan politik. Bila semua itu sesuai dengan perkembangan kini, tampaknya wajah Iran bakal berubah lebih ramah kepada semua pihak, termasuk barangkali kepada Salman Rushdie.Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum