Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Manusia perkasa dari QOM

Beliau sempat menetap di berbagai negara karena di usir pemerintah monarki. melalui media cetak/kaset khomeini menyerukan rakyat iran menumbangkan syah iran. kini pemerintahan islam telah ditegakkan.

10 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUKA atau tak suka, Khomeini, dengan wajah yang hampir tak pernah senyum, adalah merk revolusi Islam. Kehadirannya dalam kancah politik tak hanya telah mengubah Iran, dari monarki yang selama 40 tahun ramah terhadap Barat, jadi sebuah negeri yang menampik Barat, dan dikelola berdasarkan asas tunggal Islam. Sepanjang masa kekuasaannya, Khomeini sekaligus telah memberi Islam satu citra yang lebih militan, marah dan memukau. Seakan-akan perasaan orang Islam yang terhimpun di seluruh abad ke-20 tercermin dalam suaranya, dan terbayang dari parasnya yang beserban hitam dan bermata tajam bagai elang. Perasaan itu adalah perasaan orang yang lama terjajah Barat, terhina, atau tak dimengerti. Tak mengherankan bila terasa ada sifat kurang pengampun dari dirinya. Di bawah kekuasaannya, lebih dari 600 orang sudah dihukum mati sesuai dengan pengadilan revolusi, di antaranya tokoh yang besar jasanya dalam revolusi Iran sendiri, seperti Sadegh Godzadeh. Yang terakhir, ia berseru menitahkan hukuman mati dan menyediakan uang bagi kepala Salman Rushdie. Novelis Inggris keturunan India ini telah dinilainya melukai Islam, melalui karya fiksi Ayat-Ayat Setan. Titah Khomeini ini telah menimbulkan kemelut diplomatik dalam hubungan antara Iran dan Inggris. Perintah itu juga menyebabkan tentangan dari kalangan Islam sendiri, terutama dari yang berpendapat bahwa cara Khomeini tak sesuai dengan Islam yang menghendaki prosedur hukum yang lebih berpertimbangan -- satu hal yang juga dibutuhkan umat Islam di zaman ini. Tak cuma itu. Belum lama ini, ketika menghadapi kecenderungan kompromistis dari sejumlah orang dalam pemerintahannya, yakni ketika perang Iran melawan Irak yang berlangsung delapan tahun itu sudah berakhir, dan orang-orang hendak menarik napas lega, Khomeini menegaskan lagi sikap kerasnya. Baginya, "menguatkan semangat perlawanan Islam terhadap Amerika dan Soviet", itu perlu kerja keras, pengorbanan, dan kelaparan." Baginya, rakyat Iran "telah memilih jalan itu dan bersedia menebusnya." Tak jelas berankah dia. Tanda keletihan perang juga yang menyebabkan langkah perdamaian diambil Pemerintah Iran. Agaknya jiwa besar Khomeini juga yang membuat ia mengalah pada perasaan rakyat yang capek itu. Padahal, sesuai dengan ajaran Syiah, yang dianut oleh 90% dari 50 juta penduduk negerinya, Khomeini memang boleh berkehendak apa saja atas nama agama mereka. Menurut Pasal 107 Konstitusi, Khomeini adalah Wali Fakih (pemimpin agama), yang mengomando negara sebagai wakil dari Imam Mahdi (semacam "Ratu Adil") yang belum tiba. Sebab itu pula, ia memiliki kewenangan atas tentara, memilih anggota teras Dewan Pembuat Undang-Undang, dan memiliki hak menyingkirkan presiden. Bagaimana seorang manusia dapat memperoleh kewenangan sebesar itu? Ketika ia tiba kembali di negerinya, 1 Februari 1979, dari pembuangan di luar negeri, ia disambut rakyat Iran sebagai juru selamat. Rakyat, di bawah pengaruhnya dan pengaruh faktor lain, telah menggulingkan Syah Iran. Maka, di bawah udara dingin awal tahun itu, ketika pesawat carteran Boeing 747 Air France mendarat di Bandara Mehrabad, Teheran, histeria massa karena sukacita menyebar ke segala tempat. Dari seluruh pelosok, jutaan orang datang ke ibu kota. Mereka berbaris sepanjang 20 mil di jalan menuju Makam Pahlawan Behesht-Zahra . "Orang suci itu telah tiba," demikian massa memekik. "Dialah cahaya hidup kita." Barisan mobil yang dinaiki Khomeini tak bisa bergerak oleh kerubutan orang ramai, yang mati-matian ingin melihat junjungan mereka itu. Khomeini pun kemudian diangkut helikopter menuju makam pahlawan tersebut. Hari-hari menjelang kedatangan Khomeini dari masa 15 tahun pengungsiannya itu bagi Iran memang hari-hari di puncak kemelut. Rakyat menggugat keabsahan kepemimpinan otokrasi Mohammad Reza Syah Pahlevi. Dan tentara menyambutnya dengan mesiu. Pemerintah sudah sewot rupanya, mengingat sudah sejak tahun sebelumnya, demonstrasi anti Syah telah menimbulkan soal di banyak kota. Bank of Tehran pada 5 November 1978 dibakar demonstran . Krisis politik itu juga berbareng dengan krisis ekonomi. Sebagai negara pengeskpor minyak terbesar kedua di dunia, Iran, yang biasanya berproduksi enam juta barel per hari, pada Desember 1978 produksinya hampir nihil. Pemogokan buruh, yang dimotori oleh Khomeini dari jauh melalui ceramah-ceramah yang dikasetkan, juga terjadi di pelbagai pusat industri vital. Ribuan orang Iran memilih rindah ke luar negeri atau memindahkan kekayaan mereka ke bank-bank asing. Kecuali itu, kondisi ekonomi memang belum juga memberikan kesempatan kalangan menengah, yakni kaum bazari, para saudagar tradisional, untuk lebih berkembang. Korupsi pun merajalela, dilakukan oleh para pejabat di kanan-kiri Syah. Pemerintahan sekuler dan terlalu bergaya Amerika yang dijalankan Syah juga menjadi alasan kekecewaan rakyat. Pemerintahan Presiden Carter di Washington, sebagai pendukung Syah, setelah melihat perkembangan itu akhirnya tak bisa berbuat lain kecuali melakukan tekanan agar Syah bersedia menegakkan pemerintahan sipil yang efektif. Kehendak AS itu dilontarkan secara terbuka oleh Presiden Carter pada 9 Desember itu juga. Dr. Shahpur Bakhtiar, wakil ketua Front Nasional yang selama ini dikenal sebagai lawan politik Syah yang moderat, akhirnya diangkat untuk mendirikan pemerintahan sipil. Setelah parlemen menyetujui pemerintah baru itu, Syah pada 16 Januari 1979 itu berangkat berlibur ke luar negeri -- dan tak pernah kembali lagi, sampai ajalnya. Akhir itu memang tak bisa dielakkan lagi, karena Syah tampaknya sudah terlambat menyadari perlunya perombakan sistem politik -- dari otokrasi ke monarki konsititusional. Rakyat dan kalangan oposisi, yang sebagian besar berada di bawah pengaruh kalangan ulama, sudah tak percaya lagi. Juga terhadap pemerintahan Shahpur Bakhtiar, yang terdiri dari orang-orang berpendidikan Barat, ternyata tak lebih dari sebulan sanggup bertahan. Menjelang kedatangan Khomeini itu, pada saat Syah meninggalkan negerinya, hampir pula terjadi kudeta militer. Aksi ini disiapkan oleh para perwira tinggi pendukung Syah, dengan tujuan untuk menghindari jatuhnya kekuasaan ke tangan Khomeini. Melihat gelagat itu, Wakil Komandan Angkatan Perang di Eropa Jenderal Robert Huyser ditugasi ke Teheran, untuk meyakinkan para jenderal Iran bahwa jika militer mengambil alih kekuasaan, maka justru akan terjadi anarki. Dan pada dasarnya, hanya kalangan perwira tinggi yang mendukung Syah. Sementara itu, barisan di bawah banyak yang kemudian terbukti mendukung Khomeini. Jawaban yang dikehendaki rakyat untuk semua kemelut itu memang Ayatullah Khomeini. Sebenarnya, ada banyak ayatullah lain yang juga menentang Syah. Khomeini, yang sejak awal 1960-an dikenal paling frontal menyatakan perlawanannya atas pemerintahan otokrasi Syah, kemudian dianggap sebagai martir oleh rakyat -- justru karena perlakuan keras Syah terhadapnya. Ia adalah simbol perlawanan, yang bobot pengorbananya bertambah karena seorang anaknya dikabarkan meninggal di tangan Savak (dinas rehasia Iran yang terkenal kejam). Perlawanan Khomeini terhadap Syah, yang diutarakan melalui sebuah gerakan, dimulai November 1962. Khomeini waktu itu berhasil mengorganisasi pemogokan sebagai protes atas kebijaksanaan pemerintah, yang membolehkan seorang saksi di sidang pengadilan tak perlu disumpah dengan Quran lagi. Berikutnya, 1963, ketika pemerintah melancarkan Revolusi Putih, yakni pembagian tanah, ia menggerakkan protes lagi. Ada laporan bahwa yang terkena oleh landreform adalah tanah yang dikuasakan kepada para mullah untuk membiayai dakwah agama. Pada musim semi tahun itu, pasukan Syah menesak ke Madrasah Faizieh di Qom. Khomeini memperoleh dukungan dari para mahasiswa Universitas Teheran. Pekan-pekan berikutnya sejumlah pendukung Khomeini terbunuh oleh pasukan Syah, maka undang-undang darurat diterapkan di Teheran. Juni 1963, Khomeini ditangkap setelah menolak permintaan pemerintah agar menghentikan gerakan oposisinya. Hampir selama setahun ia menjalani tahanan rumah. Pada November 1964 ia disekap lagi, gara-gara mengecam perjanjian pertahanan yang membolehkan pasukan AS berada di Iran. Perjanjian itu oleh Khomeini dianggap melemahkan kedudukan Iran di bawah duli kekuatan asing. Khomeini kemudian diasingkan ke Turki. Ia pindah ke kota suci kaum Syiah An Najaf, di Irak Selatan, dekat makam Imam Ali. Dari sana Khomeini terus melakukan kontak dengan para pengikutnya di Iran, di samping memimpin sebuah sekolah teologi. Konsep-konsep pemikiran politiknya ia tuangkan melalui kaset, yang didengarkan secara sembunyi-sembunyi di masjid-masjid seluruh negeri. Awal 1970-an, satu edisi pemikirannya yang cukup kontroversial ia tuangkan melalui judul "Pemerintahan Islam". Satu pokok dari padanya antara lain begini: "Kita memerlukan pemimpin yang bersedia memotong tangan anaknya sendiri yang kedapatan mencuri." Atas tekanan Pemerintah Iran pada Oktober 1978 pemerintah Irak mengusir Khomeini, yang kemudian mendapatkan izin menetap sementara di , Neauphle-le-Chateau, sekitar 25 mil sebelah barat Paris. Di sini ia memperoleh jalan ke pers internaional, juga fasilitas hubungan telepon internasional. Semua itu makin memudahkannya berhubungan ke Iran menggalang kekuatan perlawanan terhadap Syah. Dalam pada itu, obsesinya untuk mendirikan sebuah Republik Islam makin menyala. Konsep kenegaraan seperti itu berakar ke masa mudanya, ketika masih menekuni pendidikan formal di Qom dalam bidang hukum Islam dan yurispudensi. Pandangannya mirip dengan pandangan Plato, filosof Yunani yang dulu diperkenalkan Islam ke Barat. Plato menghendaki satu negara yang dipimpin pemikir yang jadi raja, yang rakyat banyaknya bukanlah kalangan yang menentukan. Meskipun ia keluar tak dikenal sebagai pemikir, dua puluh satu buku, terutama tentang teologi Islam, sudah ia hasilkan. Sebelas di antaranya sudah diterbitkan. Lebih dari segalanya, ia adalah ulama dan guru. Ia berhasil mendidik 1.200 pemimpin yang kemudian menjadi elite di bidang keagamaan di Iran. Kendati interpretasinya atas filsafat Syiah dikritik sementara ulama yang lebih senior, Khomeini menarik minat para muridnya dalam soal disiplin diri yang keras. Pada awal 1960-an ia menjadi salah satu dari setengah lusin ulama bergelar Ayatullah al-Ozma atau Ayatullah yang Agung. Lelaki berjenggot putih dan berserban hitam -- sebagai tanda keturunan langsung Nabi Muhammad -- ini ketika muda bernama Ruhullah ("Ruh Allah") Hendi. Ketika dewasa lengkapnya Ayatullah Ruhullah Mussavi Khomeini, karena ia lahir di Khomein, sebuah kota kecil yang berdebu, 180 mil selatan Teheran, pada 17 Mei 1902 (ada yang menyebutkan 1900). Tak diketahui benar bagaimana masa kecilnya. Yang dikabarkan keluar ialah bahwa ia bungsu dari enam anak Sayed Mustafa Mussavi, juga seorang ayatullah, yang meninggal sewaktu si bungsu masih berusia lima bulan. Menjelang usianya 30 tahun, Khomeini menikah dengan Ghod-E-Iran, seorang gadis dari keluarga kaya. Mereka dikaruniai lima orang anak, seorang di antaranya, Ahmad, kemudian jadi salah seorang tangan kanannya. Sejarah kemudian membuktikan, ketika memimpin Iran, Khomeini seperti tak melepaskan akar pendidikan dan pengalaman rohaninya sendiri. Ada yang mengatakan, Iran telah jadi ajang praktek dari impiannya tentang sebuah negeri Islam -- tanpa mempedulikan bahwa kondisi abad ke-20 ini sudah berbeda dengan zaman Nabi Muhammad. Dan untuk itu, Khomeini mengupayakannya dengan keras hati. Bahkan menurut Mehdi Haeri, bekas muridnya yang sekarang mengajar di Georgetown University, "Ia lebih militan sekarang. Lebih keras kepala, makin tak ada keluwesan sama sekali." Kompromi nyaris tak ada dalam kamus kehidupannya. Dan itu antara lain tercermin ketika harus menentukan mengakhiri perang melawan Irak. Katanya, "Keputusan ini rasanya lebih mematikan daripada minum racun." Akan halnya perang itu sendiri yang telah menyedot anggaran besar dan memakan, sekitar 120 ribu jiwa, bahkan nyaris menimbulkan krisis minyak dunia, ia bilang, "Tak pernah sejenak pun kami menyesalinya." Ternyata, disiplin dirinya juga tak pernah kendur. Sampai hari-hari terakhirnya, ia tetap tak membiarkan waktu semenit pun lewat tanpa arti. Sebuah radio kecil selalu ia tenteng ke mana-mana, untuk mendengarkan siaran berita. Ketika tinggal di Paris dulu, ia membiarkan alat pemanas di rumahnya mati. Alasannya karena waktu itu di Iran tengah dilanda krisis kekurangan bahan bakar. Dan ia tak mau menempati rumahnya di Teheran sekarang karena bangunannya terlalu besar. Ia memilih tinal di Qom, dalam rumah yang lebih sederhana. Dalam sikap puritan sang pemimpin yang seperti itu, sekitar dua juta orang telah meninggalkan Iran. Sebagian karena alasan-alasan politis, selebihnya karena kondisi ekonomi. Setelah Khomeini meninggal, belum jelas benar akankah Islam -- terutama di Iran akan tetap puritan, revolusioner, seperti kemauannya itu. Mungkin tidak, karena manusia umumnya lebih ramah dan mudah berkompromi, juga dengan kelemahan dirinya sendiri. Tapi gema suara Khomeini nampaknya akan selalu bisa kembali, ketika orang ingin menyaksikan apa yang diharapkannya sebagai kemurnian dalam akidah dan kehidupan .Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum