SETELAH berseteru dengan Irak selama delapan tahun, Iran mendadak berubah sikap. Teheran, Senin pekan lalu, menyatakan kesediaan menerima usul gencatan senjata seperti termaktub dalam Resolusi PBB Nomor 598 tanpa syarat. Usul itu sebelumnya mereka terima dengan syarat PBB harus menyatakan Irak sebagai pihak yang memulai perang. Kesediaan menerima usul gencatan senjata tanpa syarat tersebut telah disampaikan Iran secara resmi kepada Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar. Tapi Irak tetap menyangsikan kesungguhan Iran akan menaati resolusi yang mencakup lima prinsip perdamaian itu: penarikan tanpa syarat pasukan kedua negara ke batas internasional, soal tukar-menukar tawanan perang, penandatanganan perjanjian perdamaian nonagresi, tidak saling campur tangan urusan politik dalam negeri, dan saling menghargai sistem politik masing-masing. Mengapa? Beberapa hari sebelum menyatakan kesediaan menerima gencatan senjata, Ayatullah Khomeini masih saja sesumbar akan melakukan perang sampai mati. Maka, Irak mencurigai sikap baru Iran sebagai taktik lawan memperpanjang perang. "Irak menuntut akhir perang yang dipercaya, dan akan tetap waspada sebelum yakin yang dipercaya itu tercapai," kata Menteri Luar Negeri Irak, Tariq Aziz. Keraguan Menlu Tariq Aziz itu dijawab Khomeini melalui pidato di Radio Teheran, dua hari kemudian. "Keputusan yang kami ambil bukan taktik untuk memperpanjang perang, tapi berdasarkan kepentingan Republik Islam Iran," kata Khomeini. Ia menambahkan keputusan yang telah diambil Iran sebenarnya lebih mematikan ketimbang minum racun. Bagi Khomeini, 85 tahun, keputusan menerima Resolusi PBB Nomor 598 jelas merupakan suatu keterpaksaan. Ia, di awal perang, telah mematok "harga perdamaian" dengan Irak berupa tuntutan penggulingan pemerintahan Presiden Saddam Hussein. Perubahan sikapnya menerima tawaran damai dengan Irak, menurut Khomcini, karena desakan pemimpin-pemimpin politik Iran. Ia sebenarnya tak ingin perang berhenti. Di masa depan, kata Khomeini, rakyat mungkin akan bertanya: mengapa ia tak lebih cepat menerima usul gencatan senjata dan menghentikan ribuan kematian di medan perang? Ada yang menduga kata-kata Khomeini itu merupakan isyarat bahwa ia ingin meninggalkan rakyat Iran dalam keadaan damai. Siapa tahu. Pers Barat akhir-akhir ini memang gencar menyebutkan bahwa Khomeini mengidap penyakit kanker yang parah, dan hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Meski Khomeini tak menyebutkan nama pemimpin yang berhasil melembekkan sikapnya, banyak orang menduga tokoh itu tak lain dari Ketua Parlemen Iran, Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, yang disebut-sebut sebagai arsitek penerima usul damai PBB. Rafsanjani pula pemimpin pertama yang menyampaikan kabar iu kepada rakyat Iran. Pengamat politik di Teheran menyebut perubahan drastis sikap Khomeini menerima gencatan senjata dengan Irak sama artinya dengan menunjuk Rafsanjani sebagai pewaris politiknya. Jika dugaan itu benar, keputusan itu jelas merupakan pukulan terhadap kelompok pemimpin garis keras Iran. "Perang" antara kelompok konservatif dan pragmatis Iran sebenarnya sudah membara lama. Tapi baru mencuat ke permukaan setelah Menteri Dalam Negeri Ali Akbar Montashemi mencium gelagat Kementerian Luar Negeri Iran bakal berembuk dengan PBB. Waktu itu, akhir Juni lalu, Montashemi tanpa tedeng aling-aling menuduh para pejabat Kementerian Luar Negeri yang berembuk sebagai kacung Presiden Irak Saddam Hussein. Tudingan Montashemi itu langsung dijawab oleh Presiden Iran Ali Khamenei. "Semua langkah Kementerian Luar Negeri atas restu Khomeini," kata Khamenei. Faktor lain yang diduga membuat Iran menempuh jalan damai adalah krisis ekonomi. Selama perang, mulai 1980 sampai sekarang, ekonomi Iran hampir tak mengalami pertumbuhan. Keadaan diperburuk dengan melemahnya semangat rakyat untuk berperang. Sejak dipukul mundur pasukan Irak di berbagai front selama tiga bulan terakhir, mereka yang mendaftarkan diri sebagai sukarelawan makin menyusut. Sementara juru runding kedua pihak bersengketa menyjapkan paket perjanjian damai, tak berarti di lapangan perang otomatis berhenti. Bahkan, beberapa jam setelah Iran menyatakan menerima Resolusi PBB Nomor 598, pertempuran marak lagi. Pasukan Irak, Sabtu pekan lalu, disebutkan berhasil menduduki Qasr-e-Shirin, kota di perbatasan bagian tengah Iran. Segera setelah pasukan Irak beraksi di Qasr-e-Shirin, Komando Umum Iran langsung memerintahkan tentara dan sukarelawan kembali maju ke medan perang. Dalam penyerbuan ke Qasr-eShirin, Menteri Pertahanan Irak Adnan Kheirullah menyatakan pasukan Irak berhasil menawan sekitar 8.000 prajurit Iran. Upaya Irak memperbanyak jumlah tawanan perang diperkirakan untuk mengimbangi jumlah pasukan mereka yang ditangkap lawan. Jumlah tentara Irak yang menjadi tawanan perang di Iran sekitar 70.000 orang, sementara lawan cuma kehilangan 25.000 orang. Adakah upaya damai guncang akibat pertempuran Irak-Iran terakhir? Ternyata tidak. Bahkan menteri luar negeri kedua negara sudah bertolak ke New York membicarakan Resolusi PBB Nomor 598 dengan Sekjen PBB Javier de Cuellar. Kedua negara juga sepakat menerima tim ahli militer PBB guna menjalankan prosedur penerapan gencatan senjata. Tim militer PBB yang dipimpin Letjen. Martin Vadset dari Norwegia akan tiba di Teheran, Ahad pekan ini. Tim bertugas mengumpulkan data mengenai pihak mana yang memulai perang, dan menakar kerugian yang diderita. Seorang ahli memperkirakan kerugian yang ditimbulkan perang sekitar US$ 22.250 milyar. Mengumpulkan data untuk menentukan pihak mana yang harus membayar ganti rugi merupakan tugas berat tim Vadset. Karena itu, banyak yang menyangsikan gencatan senjata antara Irak dan Iran bisa dimulai awal Agustus, seperti diinginkan PBB. Farida Sendjaja (Jakarta) dan Sharif Imam Jomeh (Teheran)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini