Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mereka yang tak tergoda lotre

Tak semua pembeli undian mengharap hadiah. sebagian pemeluk islam di malaysia menolak hasil lotre. mereka membeli semata-mata untuk dana sosial. apapun alasannya beli lotre adalah haram.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK semua ternyata tergoda kaya mendadak. Buktinya: dua pemeluk Islam dari Malaysia yang berhasil memenangkan hadiah pertama lotre nasional menolak menerima uang kemenangan senilai M$ 1.350.000 (sekitar Rp 1 milyar). Alasan mereka: bertentangan dengan akidah agama Islam. Penolakan kedua pemenang itu diungkapkan Manajer Umum Badan Lotre Kesejahteraan Sosial Malaysia, Rathi Haji Ishak, kepada pers di Kuala Lumpur, pekan lalu. Ini bukan kali pertama pemenang lotre di Malaysia menolak uang kemenangan. Pertengahan tahun lalu, cerita Rathi, juga ada pemenang yang menolak menjadi jutawan kaget. "Saya mau mengambalikan hadiah yang saya raih," kata pemenang sebagaimana dituturkan Rathi kembali kepada TEMPO. "Kalau uang itu saya terima akan merusakkan akidah saya." Rathi menambahkan pemenang yang meraih hadiah kedua sebesar M$ 350.000 itu menolak mengungkapkan identitas dirinya. Sebelumnya disebutkan ada seorang pemuda Melayu yang memenangkan hadiah pertama M$ 1.000.000 memulangkan rezeki nomplok itu dengan alasan serupa. Laki-laki yang menjadi teknisi pada sebuah perusahaan swasta itu mengutus abangnya menyampaikan penolakannya. Mengapa mereka membeli lotre kalau menganggap hadiahnya haram ? Lotre itu mereka beli, sebagaimana pengakuan mereka kepada Rathi, semata-mata dengan niat menyumbang untuk dana sosial. Menurut Direktur Jenderal Hal Ihwal Islam Kementerian Agama Malaysia, Profesor Abdul Hamid Othman, apa pun tujuan seorang Islam membeli lotre tetap saja bertentangan dengan hukum syarak. "Kalau memang berniat menyumbang, banyak cara yang bisa dilakukan. Bisa menyampaikannya secara langsung kepada badan amal bersangkutan atau kepada pemerintah," kata Hamid. "Bukan terjun ke gelanggang pertaruhan dengan cara membeli lotre." Ia menambahkan uang lotre yang dimenangkan seseorang tak mungkm bisa dibersihkan kesan haramnya dengan cara apa pun. Pengelolaan lotre oleh pemerintah, menurut Hamid, dari sudut hukum syarak tak jadi persoalan. Hal itu sama seperti pungutan pajak atas perdagangan babi atau penjualan arak yang dilakukan pemerintah. "Setelah uangnya dimasukkan ke kas negara boleh digunakan untuk kepentingan umum," tambah Hamid. Lotre sebetulnya sudah dikenal lama di Tanah Semenanjung, termasuk di lingkungan orang-orang Melayu. Tapi ia baru beredar secara resmi setelah Akta Loteri Kebajikan Masyarakat diundangkan pada 1950. Untuk menggalakkan orang membelinya ditetapkan hadiah keseluruhan nilai sebesar 53% dari total penjualan kupon. Sisanya, ditambah hadiah yang tak diambil pemenang sekitar M$ 130.000 setiap penarikan, antara lain dipergunakan untuk membantu pembiayaan rumah-rumah jompo. Penyaluran bantuan dilakukan Tabung Amanah, yayasan yang didirikan oleh pemerintah. Tak semua pemeluk Islam yang membeli lotre nasional di Malaysia menghibahkan uang hadiah mereka. Disebutkan ada sebagian di antara mereka yang mengambil separuhnya, dan sisanya disumbangkan kepada dana sosial. Bagaimana fatwa ulama mengenai kasus terakhir ini? Rujukannya bisa dilihat dari penjelasan Hamid: kesan haram pada uang lotre sulit dihapuskan, sekalipun semua uang hadiah dihibahkan. Jadi, uang itu haram. Tapi tetap saja tak terdengar kritik keras secara terbuka mengenai pengelolaan lotre nasional itu. Selama empat dekade penyelenggaraan lotre nasional hampir tak ada tentangan berarti yang disampaikan ulama kepada pemerintah. Sebuah sumber TEMPO menyebutkan, penahanan diri para pemuka agama itu agar tak menyinggung etnis lain. Toh hasilnya juga untuk kepentingan bersama. Hasil penjualan lotre nasional ini disebutkan sekitar M$ 35.000.000 per tahun. Adapun hadiah yang tak diambil pemenangnya dari 1981 sampai 1986 tercatat M$ 21 .000.000. Omset penjualan maupun hadiah utama lotre nasional Malaysia sebetulnya tak berbeda dengan perolehan Kupon Sumbangan Olah Raga Berhadiah (KSOB) maupun Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) yang dikelola di Indonesia. Hanya saja belum pernah terdengar ada pemenang utama KSOB maupun TSSB yang menghibahkan hadiah itu untuk kepentingan amal. Siapa tahu ada yang meniru sikap pemenangpemenang lotre nasional di Malaysia. Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus