Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Resolusi 598

Dua seteru iran-irak menerima resolusi 598, usul perdamaian. kemerdekaan & kedamaian adalah segala-galanya ketimbang menuding siapa yang salah. dk pbb mencoba meredam nafsu negara yang beda ras itu.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHWA Syah Pahlevi itu bergajul, bahwa baginda lupa daratan dan serakah dan totaliter, itu sudah jelas. Makanya ia senantiasa waswas walau bunyi daun kering bergoyang. Makanya ia mengandalkan kestabilannya hanya pada jangkauan tangan intel Savak yang menyelinap pada setiap jendela rumah. Makanya ia menindas tiap beda pendapat dan merasa puas dengan kekuatan militer dan bukan pada demokrasi dan akal sehat. Dan makanya revolusi pimpinan Khomeini yang menggusur singgasana dholim yang ditunjang AS mendapat sambutan di mana-mana sebagai karya besar menggulingkan feodalisme dan kediktatoran, yang selain angkuh juga bejat. Bahwa sesudah itu Khomeini menafsirkan revolusi itu hanya dengan main potong dan main tangkap serta tembak, menyiram kebencian dan saling curiga, mengekspor revolusi padahal revolusi tidak bisa diekspor seperti halnya kurma dan rumput Fatimah, melainkan harus timbul dari kondisi obyektif setempat, itu pun jelas satu permulaan yang salah. Makanya ia lantas menengok Irak sebagai lawan ras yang pernah menggulingkan Kaisar Cyrus yang agung di Babylon. Makanya ia lantas -- seperti kata Menteri Penerangan Irak Latief Yassim -- akan ekspansi dan mendirikan empirium yang membentang dari Jazirah Arab hingga Indonesia. Bahwa akibatnya ia merobek-robek perjanjian Aljazair yang mengatur Shatt al Arab, dan mulai Februari 1979 hingga September 1980 melakukan pelanggaran udara 249 kali dan darat 244 kali, bukanlah hal yang luar biasa. Dan kemudian Irak membalas pada tanggal 22 September 1980, bukanlah hal yang luar biasa pula. Maka, pecahlah perang bangsa Arab lawan Persia selama 8 tahun, seperti juga pernah terjadi ketika Cyrus dan putranya Cambyses menggasak dan membakar Babylon tahun 2000-an sebelum Masehi. Seperti juga pernah terjadi ketika pasukan khalifah Umar Ibn Khattab menyerbu dan menyapu Persia tahun 641 Masehi. Sepintas lalu, peperangan sekarang kelihatan seperti mempersoalkan tanah yang mengandung minyak. Tapi bukankah juga tersirat dendam ras lama antara Persia dan Arab, tersirat juga dendam kaum Syiah terhadap Suni, yang selama ratusan tahun tak pernah diberi hati? Bahwa perang 8 tahun melelahkan kedua belah pihak, bahwa pcnonton teve dan pembaca koran sudah bosan membaca perang yang hampir tidak ketahuan apa maunya, bahwa Irak sudah menumpuk utangnya sekitar 75 milyar dolar dari Arab Saudi untuk biaya perang, bahwa Iran sudah kehilangan banyak anak muda digiring ke medan laga, itu semuanya benar. Dan benar pula jika Saddam Hussein ingin berdamai sejak 28 September 1980 (berarti cuma 6 hari sesudah perang pecah), dan Khomeini tidak pernah menggubris tawaran itu walaupun usul berhenti tembak-menembak di bulan suci Ramadan. Salahkah anggapan orang bahwa Irak sebenarnya sudah lama ingin damai, dan Iran mau terus berperang hingga Karbala dan Baghdad jatuh dan Saddam Hussein turun dari kursi presiden? Bahwa sekarang Iran sudah mau menerima Resolusi 598 Dewan Keamanan PBB itu juga benar. Ini berarti menyetujui penarikan mundur kedua pasukan, pertukaran tawanan perang, dan penentuan siapa yang memulai perang, walau sekarang menyetop perang jauh lebih penting dari berdebat siapa sebagai pemula. Karena Baghdad akan mengambil patokan serangan Iran sudah bermulai bulan Februari 1979 dan baru dibalas bulan September 1980, sedangkan Iran menganggap Irak sudah bergerak mcrebut Shatt al Arab pada saat Khomeini lagi repot menyelesaikan masalah dalam negerinya. Bahwa Irak menghendaki perundingan langsung, suatu hal yang tidak tercantum dalam resolusi 598, memang ada logikanya juga. Sebab, dengan siapa Iran akan berunding jika tidak dengan Irak? Posisi PBB tidak lebih sebagai pengawas dan bukan pihak yang terlibat perang. Bukankah PBB bisa saja mengecewakan pihak yang bersengketa, seperti pernah terjadi pada kasus referendum menentukan suara rakyat di Kalimantan Utara pada aman konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, yang menyebabkan Indonesia keluar dari badan dunia itu? Bahwa perdamaian yang tercapai di Teluk akan meningkatkan produksi minyak dan akan menurunkan harganya, itu merupakan logika yang terkait. Bagaimanapun juga, perdamaian dan kemerdekaan lebih penting dari segala-galanya, dan harus disambut dengan kedua belah tangan terbuka. Dengan perdamaian di tangan, Baghdad bisa memugar Babylon dan meningkatkan kesejahteraan dan demokrasi penduduk. Dengan perdamaian itu pula Teheran bisa membangun Persia yang besar, tanah air penyair Firdausi dan Hafi, dan Umar Khayyam serta Jalaludin Rumi. Mereka akan mampu pula menyuguhkan kepada penduduknya udara yang lebih segar dibanding aman tirani Syah Pahlevi, di bawah satu atap republik yang betul-betul demokratis, sesuai dengan namanya, di mana suara manusia lebih mengatasi kasak-kusuk para intel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus