Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setumpuk Bukti dari Rakhine

Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap militer Myanmar bertanggung jawab atas pembantaian kelompok etnis Rohingya. Sikap bungkam Aung San Suu Kyi dikritik.

8 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Setumpuk Bukti dari Rakhine

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SHAFIUR Rahman, sineas film dokumenter asal London, tak lagi kaget saat Misi Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa membeberkan temuannya tentang krisis Rohingya. Jauh sebelum tim investigasi badan dunia itu menyelidiki dugaan kejahatan kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, ia telah bersinggungan dengan para korban dan penyintas tragedi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hasil pengusutan saya menunjukkan bahwa apa yang terjadi adalah serangan yang direncanakan, disiapkan, dan dilancarkan secara ekstensif oleh militer Myanmar terhadap penduduk Rohingya di Rakhine," kata Shafiur kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam dua tahun terakhir, Shafiur dua kali menyaksikan eksodus kaum Rohingya. Dia melihat langsung penderitaan orang Rohingya yang hidup terlunta-lunta di Bangladesh dan terusir dari Rakhine. "Saya belum pernah menjumpai pemandangan yang sangat mengganggu seperti itu," ujarnya.

Shafiur menyaksikan bagaimana sekitar 87 ribu orang Rohingya, yang kabur dari serangan militer Myanmar pada Oktober 2016, tinggal berjejal di kamp pengungsi. Ia pun melihat eksodus yang jauh lebih masif ketika lebih dari 700 ribu orang Rohingya menghindari represi Tatmadaw, tentara Myanmar. Peristiwa terakhir ini yang diselidiki tim pencari fakta PBB.

Dalam laporannya, penyelidik PBB menyebutkan pasukan bersenjata Myanmar terbukti melakukan kejahatan berat terhadap kaum Rohingya. Aksi brutal militer itu meliputi pembantaian, pemerkosaan massal, hingga pembakaran rumah warga Rohingya. Tingkat kejahatannya, menurut tim yang diketuai Marzuki Darusmanmantan Jaksa Agung Indonesiaitu, setara dengan genosida di Bosnia, Rwanda, dan Darfur, Sudan. Mereka memperkirakan sekitar 10 ribu orang Rohingya tewas di tangan Tatmadaw.

Penyelidik mencapai kesimpulan itu setelah mengumpulkan bukti berdasarkan 875 wawancara mendalam dengan saksi dan korban, analisis citra satelit, serta foto dan video yang diverifikasi. "Ini pelanggaran hak asasi manusia yang paling mengejutkan," ujar Marzuki, seperti diberitakan Al Jazeera, Senin dua pekan lalu.

Mereka menilai jenderal-jenderal militer, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, harus diusut karena "niat genosida" di Rakhine serta kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang lain di Negara Bagian Kachin dan Shan. Mereka mengusulkan kasus ini dibawa ke Mahkamah Kejahatan Internasional di Den Haag, Belanda.

Mahkamah, dalam sidangnya, Kamis pekan lalu, mempertimbangkan yurisdiksi untuk mengadili dugaan kejahatan kemanusiaan yang dialami kaum Rohingya. Meski tindakan pemaksaan yang mendasari dugaan pengusiran orang Rohingya terjadi di Myanmar, yang bukan anggota Statuta Roma, gelombang eksodus pengungsi membanjiri Bangladesh, yang merupakan negara anggota statuta itu. "Pengadilan dapat tetap melaksanakan yurisdiksinya karena unsur kejahatan ini (penyeberangan perbatasan) terjadi di wilayah Bangladesh," tulis Mahkamah dalam situsnya.

Juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, membantah laporan PBB. Ia menyebut tudingan itu salah kaprah. "Kami tidak mengizinkan Misi Pencari Fakta memasuki Myanmar. Itu sebabnya kami tidak setuju terhadap resolusi yang dibuat Dewan Hak Asasi Manusia PBB," ucapnya dalam surat kabar pemerintah, Global New Light of Myanmar.

Tatmadaw telah lama menganggap kaum Rohingya sebagai ancaman bagi keutuhan teritori Myanmar, negara yang sebagian besar penduduknya penganut Buddha. Berjumlah sekitar 1,1 juta jiwa, warga Rohingya, yang mayoritas muslim, dicap sebagai pendatang gelap dari Bangladesh. Militer menyebutnya orang Bengali. Kelompok etnis Rohingya telah bereksodus beberapa kali sejak 1970-an.

Menanggapi insiden pada 2016 dan 2017, militer Myanmar beralasan penyerbuan ke desa-desa Rohingya adalah aksi balasan terhadap kelompok militan Bala Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA). Dua peristiwa itu memang diawali serangan gerilyawan ARSA terhadap pos polisi dan tentara Myanmar di perbatasan dengan Bangladesh.

Bagi Shafiur Rahman, krisis Rohingya bukan tragedi kemanusiaan pertama yang ia dokumentasikan. Pria kelahiran Bangladesh yang telah lama menetap di Inggris ini pernah memfilmkan kisah miris pengungsi Eritrea, yang terpaksa melintasi Laut Mediterania demi mencari selamat di Italia dan Malta. Ia juga pernah merekam perjuangan hidup para pengungsi di kamp-kamp detensi di Libya. "Kondisi mereka sangat mengenaskan," tuturnya.

Dengan sederet pengalaman itu, Shafiur masih terperanjat saat melihat ribuan orang Rohingya yang tinggal berimpitan dalam tenda-tenda bambu berbalut terpal di kamp pengungsi di Distrik Cox’s Bazar, Bangladesh. Dia datang ke Bangladesh pada akhir 2016 dan akhirnya merekam kehidupan para pengungsi dalam film Rohingya Testimony: No Reason to Hide Our Faces. Film itu berisi kesaksian para perempuan Rohingya, beberapa di antaranya masih 14 tahun, tentang pembunuhan dan pemerkosaan yang dialami orang Rohingya di Rakhine oleh tentara Myanmar.

Film kedua Shafiur, Testimonies of a Massacre: Tula Toli, berkisah tentang pembantaian terparah di salah satu desa Rohingya, Tula Toli. Ini film dokumenter pertama yang membahas bukti penting adanya perencanaan matang oleh pemerintah Myanmar sebelum tentara menyerbu desa-desa Rohingya di tiga distrik di Rakhine.

Namun Myanmar selalu menyangkal kejahatan militernya. Dua jurnalis Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, bahkan harus mendekam di bui karena memberitakan sebuah peristiwa pembantaian sepuluh pria Rohingya yang terjadi pada 2 September 2017. Pengadilan Myanmar menjatuhkan vonis 7 tahun penjara, Senin pekan lalu, karena mereka dianggap melanggar Undang-Undang Rahasia Negara.

Temuan senada disuguhkan organisasi lain, seperti Dokter Lintas Batas (MSF), Human Rights Watch, dan Amnesty International. MSF, misalnya, memperkirakan 9.400 orang Rohingya, termasuk 730 anak di bawah usia lima tahun, kehilangan nyawa di Myanmar sepanjang 25 Agustus-24 September 2017. "Sebanyak 6.700 orang meninggal karena kekerasan," kata Linda Pearson, koordinator tanggap darurat MSF di Bangladesh, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Dengan bantuan sekitar 2.000 anggota staf, MSF telah bertahun-tahun menjalankan misi kemanusiaan di bidang medis untuk menangani krisis Rohingya. Tugas itu bertambah setelah ratusan ribu orang Rohingya membanjiri kamp-kamp pengungsi di Bangladesh sejak Agustus tahun lalu. MSF sebenarnya ingin berbuat lebih banyak untuk menolong orang Rohingya. Namun, seperti yang dialami tim penyelidik PBB, ucap Pearson, "Myanmar menolak MSF memasuki Rakhine sejak 11 Agustus 2017."

Pemimpin de facto negeri itu, Aung San Suu Kyi, justru bergeming. Suu Kyi terakhir kali berkomentar tahun lalu, saat ia mengatakan "segunung informasi keliru" telah mendasari tuduhan penganiayaan terhadap kaum Rohingya. "Dia berada dalam posisi untuk bisa berbuat sesuatu," kata Kepala Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Ra’ad al-Hussein, kepada The Independent, tentang Suu Kyi. "Jika hanya bisa diam, dia sebaiknya mengundurkan diri."

Shafiur Rahman hanya bisa terpekur menyaksikan kondisi pengungsi Rohingya. Terjebak di kamp pengungsi, di tempat yang jauh dari layak dan tanpa mengantongi status warga negara, ribuan orang Rohingya seperti hidup terpenjara. "Mereka tidak boleh bekerja, dilarang bepergian, dan hanya hidup dari pemberian bantuan," tuturnya.

Mahardika Satria Hadi (The Diplomat, Cnn, New York Times)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus