Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU potret bisa berbicara lebih dari seribu kata. Satu grafik menyederhanakan segalanya. Ungkapan itulah yang digunakan Kantor Staf Presiden untuk meredam kekhawatiran bahwa krisis ekonomi 1998 bakal terulang. Itu sebabnya, ketimbang memberi penjelasan panjang-lebar, Kantor Staf Presiden (KSP) memilih menebar aneka grafik melalui media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya grafik berkelir biru pirus dan biru donker yang membandingkan kondisi rupiah pada 1998 dengan 2018. "Itu yang bikin anak-anak ekonom muda," kata Tenaga Ahli Madya KSP Alois Wisnuhardana, Jumat pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Grafik itu mulai menyebar pada Selasa pagi pekan lalu. Sepanjang pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terperosok hingga ke level 14.900-an. Rupiah bahkan sempat tersungkur dengan nilai tukar 15.000 per dolar di pasar spot. Ini adalah level terendah sejak 9 Juli 1998, yang saat itu menyentuh 15.450. Kondisi rupiah ini membangkitkan memori akan krisis moneter 1998.
Salah satu pejabat yang mengetahui proses kampanye itu menuturkan, mulanya Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis KSP Denni Purbasari yang menebar grafik tersebut ke sejumlah grup WhatsApp. Siangnya, Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Ekologi, dan Budaya Strategis KSP Yanuar Nugroho mencuitkan grafik yang sama di akun Twitternya.
Grafik lain yang beredar adalah perbandingan kondisi makro Indonesia dengan Turki dan Argentina. Dua negara ini mengalami depresiasi mata uang paling parah terhadap dolar Amerika. Lira, mata uang Turki, dan peso milik Argentina, terdepresiasi hingga minus 42,46 dan minus 51,60 persen sepanjang tahun ini (year to date). Argentina bahkan mulai menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF).
Kampanye grafik itu sekaligus bertujuan meredam isu krisis 1998 yang juga diembuskan kelompok oposisi pemerintah. Ditanyai tentang efek penyebaran grafik tersebut, Denni Purbasari tak banyak berkomentar. Lewat aplikasi pesan instan, dia hanya menjawab dengan emoji terima kasih.
Kritik datang dari ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Dzulfian Syafrian. Menurut dia, perbandingan kondisi makro September 1998 dan September 2018 tidak sepadan. Dzulfian menjelaskan, September 1998 adalah masa pasca-krisis, sementara September tahun ini pra-krisis. "Semestinya bandingkan kondisi 2018 dengan 1997, ketika rupiah mulai melemah," ucap Dzulfian, Jumat pekan lalu.
KURS Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar pertama kali menyentuh angka 14.000 pada 8 Mei 2018. Sejak akhir Juni, nilai tukar rupiah makin terkulai ke angka 14.200 hingga menembus 15.000 pada pekan lalu. Ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menghitung, sampai 31 Agustus, rerata tahunan nilai tukar rupiah telah berada di titik terendah sepanjang sejarah, yakni 13.949 per dolar Amerika Serikat.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebutkan depresiasi rupiah sejak Januari hingga Agustus 2018 (year to date) sebesar 7,89 persen. Depresiasi itu, kata dia, masih lebih baik dibanding India yang sebesar 10 persen, Brasil (20,23 persen), dan Turki (42,3 persen). "Kami sengaja tidak memasukkan Argentina karena depresiasinya jauh di atas," ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu.
Tingkat depresiasi yang baru 7 persen itu yang membuat Perry yakin dampak pelemahan rupiah terhadap inflasi masih terbatas. Kondisi saat ini, kata Perry, berbeda dengan pada 2013 dan 2015. Depresiasi tahun berjalan pada Juni 2013 mencapai 25 persen dan pada Oktober 2015 menembus 20 persen. Saat itu, inflasi tak bisa dihindari.
Biang melemahnya rupiah menurut Perry adalah ketidakpastian pertumbuhan ekonomi global dan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve). Juni lalu, The Fed menaikkan suku bunga acuan menjadi 1,75-2 persen. Kenaikan suku bunga itu menyebabkan para investor pemegang portofolio memindahkan dananya ke Amerika. Dampak kenaikan suku bunga The Fed merembet ke pelemahan rupiah. The Fed diprediksi masih akan menaikkan suku bunga dua kali hingga akhir tahun ini.
Bank Indonesia telah menjalankan aneka upaya untuk meredam efek aksi bank sentral Amerika. Pada pertengahan Agustus lalu, Bank Indonesia menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis point menjadi 5,5 persen. Suku bunga deposit facility dan lending facility juga dinaikkan 25 basis point menjadi 4,75 persen dan 6,25 persen. Kenaikan suku bunga itu bertujuan mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik. BI juga membeli obligasi pemerintah yang ditinggalkan investor luar. BI kemudian mengubah ketentuan transaksi minimum foreign exchange swap lindung nilai dari US$ 10 juta menjadi US$ 2 juta dan menurunkan rate transaksi agar kebutuhan perusahaan terhadap dolar bisa terjaga.
BI sudah menggelontorkan puluhan triliun rupiah guna menstabilkan rupiah. Dampaknya, cadangan devisa susut menjadi US$ 117,9 miliar pada akhir Agustus lalu. Namun BI menjamin cadangan devisa masih mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Nilai cadangan devisa itu setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri pemerintah.
EKONOM Faisal Basri berpendapat pelemahan rupiah tidak hanya dipicu kondisi perekonomian global. Penyebab fundamentalnya apa lagi kalau bukan defisit transaksi berjalan. Sekecil-kecilnya defisit transaksi berjalan, kata dia, rupiah pasti tertekan. Tekanan sedikit mengendur jika ada arus masuk modal asing (capital inflow) yang melebihi defisit transaksi berjalan. Hal itu terjadi pada 2014, 2016, dan 2017. "Tapi karena arus modal masuk lebih banyak berupa ’uang panas’ alias investasi portofolio, nasib rupiah sangat rentan terhadap tekanan eksternal," tuturnya.
Faisal mencatat, Indonesia terakhir kali merasakan current account positif pada 2011. Sejak 2012, transaksi berjalan selalu defisit. Tahun lalu, defisit transaksi berjalan sudah 1,71 persen dari produk domestik bruto (PDB). Adapun hingga semester pertama tahun ini, transaksi berjalan sudah defisit 3,04 persen dari PDB atau setara dengan US$ 13,7 miliar. Hingga akhir tahun, defisit transaksi berjalan bisa menjadi US$ 25 miliar.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan interest rate dunia secara agresif, seperti kebijakan The Fed, belum terjadi pada 2016 dan 2017. Efeknya, transaksi modal dan finansial yang terdiri atas investasi langsung, portofolio, dan investasi lain surplus US$ 29,3 miliar pada 2016 dan US$ 29,2 miliar pada 2017.
Itu sebabnya, meski transaksi berjalan negatif US$ 17 miliar pada 2016 dan negatif US$ 17,3 miliar pada 2017, defisit itu masih bisa dibiayai dari aliran modal masuk. "Tahun ini berubah. Surplus perdagangan turun," ujar Sri Mulyani di kantornya di Jakarta, Rabu pekan lalu. Tekanan makin dalam ketika emerging market seperti Indonesia terkena dampak krisis Turki, Argentina, dan Afrika Selatan.
Perbaikan fundamental pada defisit transaksi berjalan inilah yang sedang dikebut pemerintah. Peningkatan tingkat kandungan dalam negeri, terutama di sektor minyak dan gas; perluasan implementasi biodiesel 20 persen (B20), yang dimulai sejak 1 September; dan upaya mendorong jasa pariwisata adalah tiga hal utama yang diandalkan pemerintah untuk menghemat sekaligus menghasilkan devisa.
Sejumlah upaya lain untuk memangkas defisit transaksi berjalan juga mulai dijalankan. Rabu pekan lalu, Sri Mulyani mengumumkan bentuk pengendalian impor barang konsumsi. Ada 1.147 pos tarif impor barang konsumsi yang dinaikkan pajak penghasilannya. "Pemerintah all out menggunakan semua instrumen untuk menjaga keseimbangan eksternal kita jadi jauh lebih netral. Situasi di luar negeri tidak bisa kita harapkan mereda," tuturnya. Instrumen itu dimaksudkan untuk mendukung ekspor, mengendalikan impor, dan mengusahakan arus modal masuk.
Rabu pekan lalu, saat melepas ekspor otomotif di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Presiden Joko Widodo menegaskan lagi ihwal ekspor yang harus naik dan investasi yang mesti meningkat. Kenaikan dua faktor itu dipercaya akan menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan. "Kalau ini selesai, itu akan menyelesaikan semuanya," kata Jokowi.
Tinggal satu opsi yang belum diambil pemerintah, yang sebetulnya sudah dianjurkan para ekonom dan pelaku pasar, yakni menaikkan harga bahan bakar minyak. Kendati harga sejumlah jenis BBM, seperti Pertamax, Premium di wilayah Jawa-Madura-Bali, dan Pertalite, tidak disubsidi, PT Pertamina (Persero) tetap harus melapor kepada pemerintah sebelum menaikkan harga.
Seorang pejabat yang mengetahui pembahasan opsi-opsi pemerintah untuk menyiasati pelemahan rupiah mengungkapkan, Kantor Staf Presiden telah menyiapkan skenario kenaikan harga BBM. Skenario itu termasuk menghitung berapa kenaikan harga BBM hingga skema jaring pengaman sosial bagi warga termiskin yang berpotensi terkena imbas.
Saat ini jumlah warga miskin mencapai 26,58 juta orang atau 10,12 persen dari total penduduk Indonesia. Berdasarkan hitungan KSP, berkaca pada aneka program bantuan sosial yang telah ada, jaring pengaman sosial itu akan mampu meredam dampak kenaikan harga BBM terhadap 20 persen penduduk termiskin. "Bahkan bisa meredam gejolak di 40 persen penduduk termiskin," ujar pejabat tersebut.
Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko mengakui lembaganya sempat membahas simulasi kenaikan harga BBM sebagai salah satu opsi untuk menyiasati pelemahan rupiah. Namun, menurut Moeldoko, pembahasan itu baru sebatas brainstorming dengan para deputi. "Baru pembahasan biasa saja, belum jadi rekomendasi ke presiden" katanya, Jumat pekan lalu.
Khairul Anam, Retno Sulistyowati, Putri Adityowati, Friski Riana
Jurus Pamungkas Meredam Valas
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo