Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH satu setengah tahun frasa "seperti pilkada Jakarta" menjadi momok sekaligus mantra politikus dalam setiap perdebatan politik. Elite-elite politik menikmati pergesekan identitas yang mengkapitalisasi sentimen agama. Semua diawali oleh satu hal: takluknya Basuki Tjahaja Purnama dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pendamping Joko Widodo pada Pemilihan Umum 2019 tak ayal merupakan ekses dari Jakarta. Tidak sedikit yang menilai bahwa itu adalah langkah jitu untuk memudahkan langkah Jokowi melanjutkan masa jabatan ke periode kedua dengan meraup pemilih Islam konservatif. Tapi keresahan pun tak terelakkan dari beberapa kalangan yang secara kritis meneropong sepak terjang Ma’ruf terkait dengan sikapnya terhadap kaum minoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai orang dekat Ahok (panggilan Basuki Tjahaja Purnama), Jokowi terseret pusaran politik identitas. Jokowi membeli asumsi umum bahwa dia tersudutkan oleh kalangan konservatif, meskipun ia beragama Islam dan beretnis Jawa.
Hal ini bukan tanpa sebab. Seusai pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, kubu 212 melakukan klaim sepihak bahwa merekalah aktor kunci kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Klaim tersebut, sekaligus menjadi pengakuan maksud politik di belakang aksi besar-besaran di Jakarta, diutarakan secara telanjang di layar kaca sambil mengutarakan hasrat mendapatkan potongan kekuasaan.
Kita tentu masih ingat betapa masifnya isu agama membungkus perhelatan kampanye pilkada Jakarta. Tensi yang tinggi itu, sayangnya, banyak menutupi realitas ekonomi politik yang barangkali justru menjadi determinan penting terhadap hasil pemilu.
Bola liar ini dibiarkan begitu saja tanpa ada kalangan yang berusaha menyanggahnya secara serius. Semua pihak, baik pemerintah maupun oposisi, justru saling menendang bola ini hingga masyarakat pun ikut dalam permainan mereka.
Klaim ini saya coba teliti dalam tesis studi master dengan menggunakan metode statistik regresi dan pengamatan visual. Potret kuantitatif diperlukan agar kita bisa mendapat gambaran dari data agregat yang bisa merepresentasikan situasi pada saat itu, ketimbang hanya berfokus pada potongan data kualitatif yang terpisah.
Riset ini tidak bertujuan mengukur seberapa tinggi konservatisme di Jakarta. Hal penting yang hendak dibuktikan ialah adanya koordinasi strategis antara pemilih dan calon yang diusung untuk mengalahkan inkumben.
Kesulitan peneliti-peneliti untuk menjelaskan fenomena politik Indonesia salah satunya karena akses data survei yang minim, terlebih untuk penelitian individual seperti yang saya lakukan. Karena itu, kita memerlukan kreativitas metodologis untuk membuat analisis.
Untunglah ekonometri dalam disiplin ilmu ekonomi politik memungkinkan kita untuk mengukur asosiasi di antara beberapa variabel menggunakan data observasional. Dengan cara itu, data hasil pemilu dari Komisi Pemilihan Umum pada level terendah dapat diukur menggunakan kontrol dari beberapa variabel independen yang tersedia.
Suara tiap calon dalam pilkada DKI Jakarta di level kelurahan saya ukur asosiasinya dengan beberapa variabel penting, seperti area kemenangan Jokowi-Ahok dalam pilkada 2012, daerah banjir, kepadatan penduduk, jumlah penduduk dengan pendidikan tinggi, dan populasi muslim. Hasilnya cukup berbeda dari pandangan umum.
Satu-satunya variabel yang positif, signifikan, dan besar ukurannya terhadap suara Ahok adalah area kemenangannya bersama Jokowi dalam pemilu sebelumnya. Variabel lain juga tidak menampilkan kemiripan antara basis Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies-Sandi sebagai calon penantang sekaligus berasal dari golongan mayoritas. Bagaimana dengan variabel populasi muslim? Hasilnya memang negatif untuk Ahok, tapi besarannya tidak semasif yang diklaim oleh pendapat umum.
Temuan penting berasal dari putaran kedua. Penelitian ini menangkap bahwa, pada putaran kedua, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat kehilangan banyak suara di beberapa kelurahan yang sangat spesifik. Membandingkan dengan pendataan yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, penelitian ini secara detail mendapati kelurahan-kelurahan tersebut sebagai lokasi terjadinya penggusuran pada masa pemerintahan Basuki dan Djarot.
Kepingan jawaban ini berhubungan dengan temuan jurnal ilmiah Savirani dan Aspinall (2017). Mereka menemukan bahwa terjadi kontrak politik antara representasi masyarakat miskin kota dan pasangan kandidat Anies-Sandi. Dari kontrak politik tersebut, kelompok miskin kota mendapatkan akses terhadap rencana tata ruang kota Jakarta dan, sebagai gantinya, mereka menjanjikan mobilisasi suara di akar rumput untuk memenangkan Anies-Sandi.
Kontrak politik itu terjadi karena sebagian kelompok masyarakat miskin ini merasa kecewa terhadap janji-janji yang tidak ditepati oleh pemerintah sebelumnya. Banyaknya penggusuran yang dilakukan mengancam ruang mereka di Ibu Kota, sehingga mereka memerlukan alternatif dan bergerak secara strategis untuk mengamankan nasib mereka. Kontrak politik yang lebih mendetail dengan calon gubernur baru adalah solusi bagi mereka.
Langkah seperti itu perlu dilihat sebagai pilihan yang rasional. Dalam ekonomi politik, pilihan rasional bukanlah kategorisasi pemilih, melainkan sebuah cara pengambilan keputusan dari alternatif yang tersedia. Karena masyarakat, dan tak sedikit akademikus, langsung membeli klaim sepihak 212, kita mengatakan bahwa pemilih Jakarta sebagai irasional. Kita, termasuk Jokowi dan elite-elite politik, terjebak dalam definisi yang sempit ini.
Temuan penelitian ini menjadi krusial dalam momen mendekati pemilihan presiden 2019 karena satu alasan: dimensi kebijakan ekonomi tetap paling penting menentukan kemenangan dalam pemilu. Kita tidak boleh berlarut-larut terjebak dalam politik identitas yang tidak substantif. Perdebatan perlu ditarik ke isu-isu yang berada di tengah, di mana kebanyakan adalah seputar pembangunan. Memahami Jakarta dengan kepala dingin dan basis akademik yang dapat dipertanggungjawabkan bisa membantu kita menyudahi gesekan identitas yang tidak perlu.
Pelajaran sesungguhnya dari DKI Jakarta adalah bahwa pemilih dari kelas ekonomi rendah merupakan penguasa dari demokrasi elektoral, suka atau tidak suka. Dalam teori ekonomi politik yang terkemuka dari Meltzer dan Richard, demokrasi elektoral pada dasarnya mendorong redistribusi dari si kaya ke si miskin. Asumsi dasar teori ini ialah separuh pemilih merupakan mereka yang memiliki tingkat ekonomi di bawah rata-rata. Untuk memenangi pemilu, secara rasional politikus harus selalu mendekati median atau mereka yang berada di tengah. Kompromi semacam itulah yang memungkinkan redistribusi terjadi.
Penting bagi Indonesia untuk berkaca pada pengalaman negara-negara Barat dengan virus populisme yang menjangkiti mereka. Ketidakmampuan negara menangkap realitas ekonomi politik di level bawah dapat mengakibatkan stagnansi dan deadlock pembangunan. Kegagalan Partai Demokrat di Amerika Serikat dalam menangkap eksternalitas ketimpangan ekonomi yang parah membuat sosok seperti Donald Trump dapat memanipulasi emosi pemilih dengan mudah.
Banyak negara maju sedang kesulitan menghadapi tantangan gap kesenjangan ekonomi yang meninggi. Kemajuan teknologi memang mengubah pola produksi dan distribusi sekaligus membuka banyak lapangan kerja. Namun, pada saat yang sama, tetap menghasilkan banyak pihak yang kalah.
Generasi tua sulit berkejar-kejaran dengan mesin dan generasi muda tidak cukup terbekalkan oleh skill yang dibutuhkan industri. Otomatisasi yang sudah banyak menjalar di setiap segi ekonomi membuat berbagai peraturan terlihat usang. Tanpa persiapan yang serius, kita gagap ketika dihadapkan pada ekspansi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang dibawa perusahaan-perusahaan multinasional.
Apakah pemilihan Ma’ruf Amin bisa membantu Joko Widodo menjawab semua tantangan itu? Kita hanya mampu menerka-nerka. Namun, apabila memang pemilihan tersebut hanya untuk menambal faktor "Jakarta", kita patut berharap lebih.
Greg Fealy, profesor dari Australian National University, dalam artikel terbarunya berpendapat bahwa Ma’ruf Amin tidak akan membebani Jokowi secara elektoral. Kekhawatiran bahwa pemilihannya akan menggerus elektabilitas Jokowi dianggap tidak akan banyak terjadi. Selain itu, ia memprediksi Ma’ruf tidak bisa berbuat banyak di pemerintahan.
Hal itu mungkin saja. Tapi satu harga penting yang perlu kita bayar sebagai pemilih Indonesia adalah peluang akomodasi terhadap konservatisme dan radikalisme. Dan itu bukan soal pemilu, melainkan soal arah bangsa.
Demokrasi elektoral bukanlah ajang adu moralitas. Mengikuti kata-kata ilmuwan politik ternama, William H. Riker, demokrasi sejatinya hanyalah alat akuntabilitas pemerintahan. Demokrasi tidak bisa dijadikan standar moralitas tertentu karena kehendak rakyat hanyalah sebuah mitos. Begitupun kehendak masyarakat kita untuk bergerak ke kanan hanyalah ilusi semata. Setidaknya itu yang dicoba dikatakan Jakarta.
Edbert Gani Suryahudaya
Political economist, menempuh pendidikan magister bidang political science and political economy di The London School of Economics and Political Science, Inggris
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo