Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berharap Lampu Hijau buat Kanabis

Kementerian Kesehatan mulai meneliti ganja sebagai alternatif pengobatan. Sudah digunakan di banyak negara.

10 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH hampir dua bulan ini, Ananda--bukan nama sebenarnya--kesulitan mendapatkan minyak kanabis untuk terapi anaknya yang terkena cerebral palsy. "Kawan yang biasa membantu jadi agak berhati-hati karena kejadian di Kalimantan," kata Ananda saat dihubungi pada Jumat pekan lalu. "Kami bisa maklum juga."

Peristiwa yang dimaksud Ananda adalah penangkapan Fidelis Arie Suderwato oleh Badan Narkotika Nasional Sanggau, Kalimantan Barat, pada medio Februari lalu. Fidelis ditangkap karena menanam ganja di rumahnya. Padahal tanaman tersebut digunakan untuk mengobati istrinya, Yeni Rahmawati, yang terkena kista di sumsum tulang belakang (syringomyelia). Satu bulan setelah suaminya ditangkap, Yeni meninggal.

Ananda berkenalan dengan minyak kanabis sekitar setahun lalu. Informasi ini dia peroleh dari kawan-kawannya yang tinggal di luar negeri. "Beberapa kawan melihat ada terapi cerebral palsy menggunakan kanabis," ujarnya.

Ananda yakin bahwa minyak kanabis amat membantu terapi anaknya. Setiap kali menggunakan minyak itu, otot-otot tubuh sang anak lebih mudah diterapi. Bahkan, kini, anak berusia 13 tahun itu lebih mudah merespons rangsangan dari luar. Wanita karier berusia 30 tahun ini juga menilai penggunaan minyak kanabis bisa menekan efek samping obat kimia.

Upaya melegalkan penggunaan ganja sebagai alternatif penanganan medis sudah lama dimulai. Pada Oktober 2014, Lingkar Ganja Nusantara mengirim surat ke Kementerian Kesehatan, berisi pengajuan proposal penelitian kanabis untuk pengobatan diabetes.

Lingkar Ganja Nusantara salah satu lembaga yang paling lantang menyuarakan legalisasi ganja untuk pengobatan di Indonesia. Organisasi nirlaba ini lahir pada 2011. Ketua Lingkar Ganja Nusantara Dhira Narayana mengaku saat ini lembaganya mendampingi sekitar 150 orang yang aktif berkonsultasi tentang penggunaan ganja untuk pengobatan.

Surat Lingkar Ganja Nusantara baru dibalas tiga bulan kemudian. Pada Januari 2015, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat keputusan dimulainya penelitian kanabis untuk tujuan medis. Namun Lingkar Ganja Nusantara tidak bisa ikut dalam penelitian itu. "Lembaga yang ikut riset harus berizin," kata Dhira.

Pada Desember 2015, sejumlah aktivis Lingkar Ganja membidani kelahiran Yayasan Sativa Nusantara. Karena sudah berbadan hukum, lembaga ini mendapat izin dari Kementerian Kesehatan untuk ikut meneliti manfaat kanabis bersama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian. "Kami sudah menyiapkan peneliti utama yang pernah mempelajari manfaat ganja," kata Direktur Yayasan Sativa, Inang Winarso, Selasa pekan lalu.

Menurut Inang, target mereka adalah menurunkan klasifikasi ganja dari golongan I menjadi golongan II menurut aturan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Obat yang masuk kategori I memang tidak bisa digunakan untuk pengobatan. Pemakaiannya terbatas pada penelitian. Sedangkan obat pada kategori II bisa digunakan sebagai obat sampingan jika alternatif utama dinilai tak jalan.

Ikhtiar mereka punya preseden. Pada 2005, pemerintah menetapkan metadone--yang sempat masuk psikotropik golongan I--menjadi obat golongan II. Sekarang jenis narkotik ini digunakan para pecandu sebagai bagian dari terapi lepas dari ketergantungan obat. Beberapa pusat kesehatan masyarakat di Jakarta juga sudah menggunakannya. Upaya mengubah status metadone, kata Inang, butuh waktu sekitar tiga tahun.

Inang berharap pemerintah mau berkaca pada negara-negara yang sudah menggunakan ekstrak ganja sebagai obat. Australia dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat, seperti Colorado dan Washington, sudah melegalisasi ganja untuk keperluan medis. "Indonesia ketinggalan jauh," tuturnya.

Dhira memastikan efek ganja sebagai obat berbeda jauh dibanding penggunaan untuk rekreasi. "Kalau diesktrak dengan benar, pengguna tidak akan mabuk," ujar Dhira. Di Internet, kata Dhira, sudah banyak literatur yang menjelaskan manfaat ganja untuk kesehatan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Siswanto memastikan legalisasi ganja di Indonesia masih butuh waktu panjang. "Ada banyak tahap yang harus dilalui untuk memulai riset," katanya pada Jumat pekan lalu. Ketika ditanya pendapatnya tentang penggunaan ganja untuk kepentingan medis, Siswanto menolak menjawab. Dia mengaku tidak mau berpolemik. "Sebagai peneliti, semua pernyataan harus dibuktikan," ujarnya.

Syailendra Persada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus