SEPANJANG sejarah kepresidenan Amerika Serikat, belum pernah
kata-kata keras dihamburkan demikian borosnya, seperti dalam dua
pekan terakhir ini. Begitu meninggalkan ranch-nya di Kalifornia
untuk balik ke Washington, sehari setelah penembakan B-747 KAL
itu, Presiden Ronald Reagan langsung mengucapkan "barbarisme."
Dari seberang sana datang jawaban yang tak kalah serunya.
Kremlin mengangkat kembali sejumlah istilah baku dari kamus
diplomatiknya yang belum berubah: "provokasi, kampanye
anti-Soviet, mata-mata...
Insiden Sakhalin, tampaknya, mengembalikan sosok lebih jelas
politik luar negeri Presiden Reagan sejak ia menjejakkan kaki di
Gedung Putih. Ada faktor kebetulan yang menarik. Setelah ia
dilantik menjadi presiden, Januari 1981, kepala negara asing
pertama yang diterimanya sebagai tamu resmi ialah Chun
Doo-hwan, Presiden Republik Korea Selatan. Kini, pesawat sipil
negeri sekutu itulah yang dijadikan bulan-bulanan oleh peluru
Mig-23 Soviet (lihat: Korea). Bagaimana Reagan tak berang.
Sejak semula kebijaksanaan luar negeri Reagan cenderung memilih
pendekatan anti-Soviet. Tampil dengan tekad agar "Amerika unggul
lagi", di bawah dia terbayang citra Amerika Serikat 1950-an, bau
"perang dingin", dan semangat "Amerika terbaik."
Dalam kasus terakhir, Soviet memang agak gelagapan menjawab AS.
Pengakuan resmi baru diumumkan Jumat 9 September, lebih dari
seminggu setelah peristiwa. Esok harinya tv Moskow menampilkan
seseorang yang disebut sebagai "penerbang yang menembak B-747
KAL" itu. Lelaki, yang tidak jelas nama dan identitasnya itu,
konon, diwawancarai di salah satu pangkalan di Pulau Sakhalin.
Lelaki itu berusia sekitar 40-an. Rambutnya kusut dan kelabu.
Air mukanya keras, suaranya sedikit serak. "Saya menerima
perintah yang jelas dan tegas untuk menembak jatuh pesawat itu,"
katanya. Ia yakin sedang berhadapan dengan "pesawat musuh."
Ia, menurut pengakuannya, sudah mengepak-ngepakkan sayap
pesawatnya di depan B-747 KAL itu, dan siap menuntun pesawat
asing itu mendarat. Tapi B-747 itu "terus saja terbang tanpa
mengubah ketinggiannya," katanya. Saat itulah rupanya datang
perintah menembak.
Pilot lain yang diwawancarai Alexander Tikhomirov, wartawan tv
Soviet itu, merasa yakin pesawat asing itu melakukan kegiatan
mata-mata. Atau "membawa bom, yang bisa saja dijatuhkan di atas
rumah kami," ujarnya. Mereka mengaku menembakkan empat peluru
penjejak di depan hidung B-747 itu. Mereka yakin isyarat mereka
kelihatan, sebab mereka melihat, pesawat itu berawak banyak.
Tuduhan mata-mata, seperti dalam banyak kasus, memang sulit
dibuktikan. Menurut beberapa spesialis AS dan NATO, pemotretan
spionase dengan menggunakan pesawat terbang sudah bukan zamannya
lagi.
Satelit bekerja lebih ampuh. Dari ketinggian 162 km lebih,
konon, satelit bisa memotret geladak kapal Soviet sampai ke
besi-besi palangnya.
Dalam pemotretan satelit yang lain, seorang penduduk di sebuah
kota Rusia Utara kelihatan sedang membaca koran. Logo koran itu,
Pravda, jelas terlihat "Semua hal mengenai mereka kami ketahui,"
ujar ahli tadi. Karena itu, di mata mereka, Marsekal Ogarkov
yang tetap menuduh pesawat B747 itu melakukan kegiatan
mata-mata, dinilainya naif dan tidak mengikuti perkembangan
inteligen elektronik.
Tapi para ahli itu juga mengaku, RC-135 dan beberapa pesawat AS
lain memang kerap mengembara di sekitar perbatasan Soviet. Bukan
untuk memotret, melainkan melakukan monitoring elektronik
terhadap uji coba peluru kendali Soviet di Laut Okhotsk, antara
Kamchatka dan daratan Siberia. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kesetiaan Soviet terhadap perjanjian persenjataan
AS-US. Sebaliknya, Soviet juga rajin memonitor tes peluru
kendali Amerika di Samudra Pasifik.
Kecurigaan Marsekal Ogarkov, di mata para pengamat Amerika,
memperlihatkan betapa pentingnya instalasi Timur Jauh bagi
Angkatan Bersenjata Soviet. Sejumlah kapal selam nuklir dari
Armada Pasifik Soviet kini memang berlabuh di Sovetskaya Gavan,
di bagian barat Sakhalin. Lebih dari dua ribu pesawat terbang
Soviet dari berbagai jenis bertebaran di kawasan ini.
Namun, saling tuduh antara kedua negara besar itu tampaknya tak
lebih dari sekadar bersilat kata. Tak terbayang sanksi drastis
yang bakal jatuh. Menurut William Safire, kolumnis surat kabar
The New York Times, hari-hari ini "Reagan bicara lebih galak
daripada Theodore Roosevelt, tapi bertindak lebih cuak ketimbang
Jimmy Carter."
Presiden AS itu mengimbau pembatasan hubungan diplomatik dengan
Soviet, sementara ia sendiri agak kagok membuka urus. Reagan
rupanya tidak ingin mengulangi kasus Polandia, ketika ia
menjatuhkan sejumlah sanksi, dan tidak diikuti oleh negara lain
yang terbilang sekutu.
Ia, misalnya, tidak akan berani melakukan embargo penjualan
gandum kepada Soviet. Langkah itu pasti membangkitkan amarah
petani Amerika, yang menganggap "ekspor sesuatu yang suci".
Paling tidak 25 juta metrik ton gandum Amerika mengalir ke
Soviet setiap tahun. Tambahan pula, kasus pipa gas alam Siberia
membangkitkan kritik Eropa Barat yang tidak sedikit ke alamat
Reagan.
Dalam sejarah hubungan AS-US sejak 1950-an, memang tersirat
benang merah yang selalu menyalakan harapan. Seburuk-buruknya
hubungan kedua negara, jalur kontak antara para pemimpin tetap
terpelihara. Sekarang belum ketahuan sampai di mana jalur itu
masih bermanfaat. Soalnya, Andropov belum angkat bicara. Karena
itu pula, pertemuan Reagan-Andropov yang tadinya diharapkan
berlangsung akhir tahun ini, atau pertengahan tahun depan, belum
bisa dibayangkan sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini