TAWARAN O.C. Kaligis, yang akan memberi bantuan hukum cuma-cuma
bagi pelanggan telepon yang merasa dirugikan Perumtel, selain
mendapat sambutan juga mengundang protes. Pengacara pihak
Perumtel, Minang Warman, menganggap pengumuman melalui rubrik
"kontak pembaca" di koran-koran ibukota itu melanggar kode etik.
"Pengacara, menurut etik, dilarang mengajak orang untuk
berperkara," ujarnya.
Rekan Minang, Hotma Sitompul, malahan secara resmi mengadukan
tingkah laku Kaligis itu ke Dewan Kehormatan Peradin Jakarta
Raya. Dalam suratnya yang disampaikannya akhir Mei lalu, Hotma
menuduh pengacara pihak lawannya itu selain melanggar etik, juga
telah memuat tuduhan yang bernada penghinaan terhadap kliennya,
Perumtel.
Surat Kaligis yang dimuat di rubrik "kontak pembaca" Sinar
Harapan, 29 Maret dan Kompas, 2 Mei itu memuat keluhan Kaligis
tentang melonjaknya rekening telepon rumah pribadinya. Ia juga
seperti keluhan banyak pembaca lainnya (menduga kenaikan
rekening) pesawat teleponnya akibat penyelewengan oknum
Perumtel. Lewat surat itu ia mengimbau para pelanggan telepon:
"Kami selaku pengacara akan membantu Saudara-saudara tanpa
bayar, menggugat kantor telepon ke pengadilan, minta ganti rugi
atas penyelewengan kantor telepon".
Undangan Kaligis itu bak gayung bersambut. Pengaduan para
pelanggan yang mendapat saluran baru, melalui jalan hukum,
membanjiri kantornya. Secara resmi Juni lalu ia mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat, mewakili beberapa
orang pengadu. "Kasus ini menarik dan merupakan yang pertama
kali masuk ke pengadilan," ujar Hakim Bambang Suparyo, salah
seorang anggota majelis yang akan menangani perkara itu. Bambang
memperkirakan kasus itu sudah bisa diperiksa bulan depan.
Dalam gugatannya, Kaligis menguraikan keluhan para pengadu dan
keanehan yang dialami kliennya. Tapi, yang menarik, ia tidak
menuntut suatu ganti rugi sebagaimana lazimnya sebuah gugatan
perdata. Ia hanya meminta Perumtel dinyatakan: melakukan
perbuatan melawan hukum, mencabut kembali pemblokiran telepon
kliennya, dan membatalkan penagihan yang tidak masuk akal. "Saya
tidak menuntut ganti rugi, agar gugatan itu benar-benar murni
dan tidak komersial," ujar Kaligis.
Baik Minang maupun Hotma belum bersedia menanggapi gugatan
Kaligis dengan alasan belum mendapat secara resmi tembusan
gugatan itu. Tapi, "pada dasarnya, pelanggan telepon bisa
menggugat ke pengadilan bila merasa dirugikan Perumtel. Hanya
saja apakah gugatan semacam itu akan diterima oleh pengadilan
atau tidak, itu soal lain," ujar Minang.
Minang dan rekannya akan meminta pada hakim agar gugatan itu
ditolak pengadilan dari awal persidangan. Sebab, pihak konsumen
dan pihak Perumtel, katanya, sudah terikat pada kontrak yang
ditandatangani kedua pihak sebelum mendapat sambungan telepon.
Pasal 9 dalam kontrak itu berisi ketentuan: kedua pihak sepakat
untuk tidak membawa perselisihan dalam pelaksanaan kontrak itu
ke badan peradilan mana pun, dan semua soal akan diselesaikan
sesuai dengan peraturan Perumtel. "Jadi, untuk semua
perselisihan, sebetulnya sudah disepakati jalan keluarnya," ujar
Minang.
Namun, perdebatan soal kontrak itu bisa diramalkan akan menjadi
ramai. "Sebab, kontrak atau perjanjian semacam itu bisa diminta
pembatalannya," ujar direktur LBH Mulya Lubis. Dia menyatakan
mendukung sepenuhnya ide Kaligis untuk menggugat Perumtel.
Menurut Mulya, kontrak antara Perumtel dan pelanggan itu selain
sepihak juga tidak memenuhi syarat obyektif sebuah perjanjian,
yaitu: obyek yang jelas dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Direktur LBH yang juga dosen FHUI itu ikut mendukung sepenuhnya
cara Kaligis memasang pengumuman di koran-koran "Itu tidak
bertentangan dengan kode etik karena merupakan pelaksanaan dari
fungsi sosial para advokat," katanya. Di negara maju, kata
Mulya, cara-cara semacam itu sudal lazim dilakukan pengacara,
bahkan melalu media televisi. "Kalau di sini ada kode etik yang
melarang, larangan itu harus dihapuskan, karena bukan
kepentingan umum yang harus dikorbankan," katanya.
Ketua DPP Peradin, Adnan Buyung Nasution, juga dengan tegas
membela tindakan Kaligis. "Tidak ada yang bisa dibatasi oleh
etik atau tindakan itu demi kepentingan umum, membela rakyat
banyak, atau membongkar penyelewengan," ujar Buyung. Membuat
pengumuman di koran, memasang advertensi atau sebangsanya,
menurut Buyung, baru "tabu" jika dimaksudkan untuk mendapatkan
honorarium dari klien "Dalam kasus itu, Kaligis progresif dan
kita membutuhkan pengacara-pengacara seperti itu," ujarnya.
Buyung juga bisa menerima pengumuman Kaligis yang mengajak orang
untuk berperkara ke pengadilan. "Ini soal negara berkembang,
khususnya negara kita. Banyak anggota masyarakat yang tidak tahu
hak-haknya sehingga perlu diingatkan," ujar Buyung. Tindakan
Kaligis dianggap Buyung masih dalam batas-batas mengingatkan
warga masyarakat untuk memperjuangkan hak haknya melalui saluran
hukum.
Minang Warman, bekas wakil direktur LBH Jakarta, tidak
sependapat. "Kepentingan umum itu tergantung dari visi kita
masing-masing. Mungkin ada yang menganggap perkara pulsa telepon
itu kepentingan umum, tapi pasti ada yang menganggap tidak.
Sebab, mereka yang merasa dirugika itu hanya sebagian kecil dari
konsumen, ujar Minang. Ia tetap berpendapat, perbuatan Kaligis
membuat pengumuman di koran-koran melanggar kode etik. "Jika
tindakan itu harus dibenarkan, kode etiknya dulu yang harus
diubah," ujar Minang yang sekarang mendirikan kantor pengacara
sendiri bersama sejumlah rekannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini