API huru-hara di Pakistan makin marak. Orang-orang Punjabi,
suku asal Presiden Zia Ul Haq, yang selama ini masih menahan
diri mulai turun ke jalan. Di Lahore, ibukota Provinsi Punjab,
pekan lalu, mereka bahkan tak takut-takut baku pukul dengan
polisi. Korban yang jatuh tak disebutkan. "Ini satu bukti lagi
bahwa rezim Zia tak disukai rakyat," komentar tokoh demonstran
suku Sindi, Ghulam Murtaza Jatoi. Suku Punjabi merupakan
mayoritas (65%) di antara 75 juta penduduk Pakistan.
Munculnya demonstrasi antipemerintah di Lahore, dikabarkan
digerakkan oleh kader Partai Rakyat Pakistan (PPP), terdorong
oleh keinginan untuk mendengar pidato tokoh oposisi Malik
Hakmeen Khan. Malik, teman dekat mendiang Perdana Menteri
Zulfikar Ali Bhutto, disebut-sebut akan membacakan pernyataan
politik yang dikirimkan Nusrat Bhutto, janda bekas orang Nomor 1
Pakistan itu, dari tempat pengasingannya di luar negeri.
Niat Malik itu keburu dicium polisi. Ia bersama sembilan
pengikutnya langsung diciduk sebelum sempat membacakan
pernyataan Nusrat. Tak disebutkan di mana Malik diamankan.
Seruan Nusrat, sekalipun secara diam-diam, tetap sampai kepada
massa PPP. Selang beberapa saat, sesudah Malik diamankan
polisi, kader PPP langsung membagi-bagikan salinan pesan itu.
Pernyataan Nusrat, antara lain, agar kaum intelektual,
mahasiswa, dan wanita Punjab menyelamatkan Pakistan dari
cengkeraman para jenderal yang dipimpin Zia.
Di Hyderabad, kota besar kedua di Provinsi Sind, demonstran yang
terdiri dari ibu-ibu, juga turun ke jalan. Mereka mengotong
plakat-plakat menentang diberlakukannya hukum cambuk terhadap
para demonstran yang ditangkap. Demonstrasi terjadi sehari
sebelum Zia mengunjungi Hyderabad.
Presiden Zia, yang tengah mengadakan lawatan di Provinsi Sind,
basis PPP, menuduh negara asing mendalangi huru-hara yang
terjadi di Pakistan. Ia tak mengungkapkan negeri yang menjadi
dalang itu. Diduga India yang sudah lama tak akur dengan
Pakistan.
Di daerah basis PPP ini, Zia mendesak rakyat untuk menegakkan
tertib hukum. Tentang pengalihan kekuasaan ke tangan sipil,
menurut Zia, akan dilakukan secepatnya lewat pemilihan umum.
Tapi, sebagaimana pidatonya menyambut hari kemerdekaan Pakistan,
yang disampaikannya 12 Agustus, Zia tetap tidak menyebut jadwal
pasti dari pemilihan umum.
Reaksi kerompok oposisi? "Zia selalu mengibuli kami setiap saat.
Bagaimana rakyat mau mendengar seruannya," kata Ashraf Abbasi,
juru bicara pemerintah di zaman Bhutto. Ia optimistis rezim Zia
akan tumbang sebelum 1983 berakhir.
Perlawanannya terhadap rezim Zia, khususnya protes atas
pemberlakuan UU Darurat dan pembekuan UUD 1973, diserukan oleh
Gerakan Pemulihan Demokrasi (MRD) bertepatan pada ulang tahun
ke-36 Pakistan. Ternyata seruan itu menggema luas -- terutama di
Provinsi Sind yang menjadi basis Bhutto.
Sejak MRD, wadah yang menampung delapan partai terlarang,
bergerak, tercatat sudah puluhan demonstran yang terbunuh.
Sampai pekan sllam, menurut sumber pemerintah, mereka yang tewas
berjumlah 24 orang. MRD menyebut 41 orang. Sumber diplomat di
Islamabad mengatakan angka yang disampaikan MRD lebih mendekati
kebenaran.
Sementara protes bermunculan di mana-mana, Gubernur militer
Provinsi Sind, Letjen S.M. Abbasi, melaporkan hasil lawatannya
ke beberapa tempat kepada Dewan Provinsi bahwa ia yakin
demonstrasi akan segera berakhir. Kendati demikian, Jenderal
Abbasi tetap akan mengerahkan 10.000 pasukan para untuk
mengamankan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sind yang akan diselenggarakan 29 September.
Tentang perimbangan kekuatan di antara calon, Abbasi yakin
kelompok oposisi tak akan menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini