Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Surat Lulus Seharga 2.000 Yuan

Ratusan pelajar Cina gagal masuk universitas karena identitas mereka dipalsukan. Melibatkan pejabat dan panitia ujian.

18 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Upacara Wisuda pada salah satu kampus di Fudan,Shangai, Cina, Juni 2017. REUTERS/Aly Song

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ratusan pelajar Cina gagal masuk universitas karena identitas mereka dipalsukan.

  • Pelakunya melibatkan keluarga pejabat dan pengusaha kaya.

  • Surat kelulusan dibeli dengan harga sekitar Rp 4 juta.

BULAN ini, sekitar 10 juta pelajar di Cina mengikuti gaokao, ujian masuk perguruan tinggi negeri. Bagi pelajar dari keluarga miskin, inilah peluang untuk mengubah nasib. Tapi, pada saat yang sama, warga Cina dihantui kabar pencurian identitas ratusan peserta gaokao yang dilakukan keluarga pejabat dan pengusaha kaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terbongkarnya skandal tersebut bermula dari kisah Chen Chunxiu, perempuan 36 tahun dari sebuah desa di Liaocheng, Provinsi Shandong. Dia dulu termasuk lulusan terbaik di sekolahnya dan mengikuti gaokao untuk masuk Shandong University of Technology pada 2004. Surat panggilan dari kampus tak pernah datang. Ayahnya memintanya mencoba lagi tahun depan, tapi Chen memilih merantau ke Yantai, kota pelabuhan di Shandong. Dia lalu bekerja macam-macam, dari buruh pabrik barang elektronik, pramusaji restoran ramen, hingga kini menjadi guru taman kanak-kanak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Mei lalu, ketika sedang mengisi formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi untuk orang dewasa di situs pemerintah, Chen menemukan bahwa dia tercatat telah kuliah di kampus impiannya dan lulus pada 2008. Tapi foto yang terpampang di sana bukan potret dirinya, melainkan gadis lain yang tidak dia kenal. Kaget terhadap informasi ini, Chen bertanya kepada universitas untuk memastikan bahwa dia benar-benar telah kuliah di sana.

Chen meminta universitas menyelidiki kasusnya. Hasilnya, seseorang bernama Chen Yanping telah kuliah di sana menggunakan identitasnya. Chen Chunxiu ternyata meraih nilai 546 dari total 750 dalam gaokao, sedangkan si penyaru hanya 303. “Emosi saya jadi tak terkendali saat mendengarnya,” kata Chen Chunxiu. “Saya ingin bertemu dengan penipu itu dan bertanya mengapa dia begitu egoistis. Orang yang mengakali (pencurian identitas ini) lebih menjijikkan.”

Kasus penipuan ini melibatkan ayah Chen Yanping, pamannya, seorang pejabat Partai Komunis lokal di Shandong, dan seorang kepala pendaftaran ujian yang punya akses ke hasil gaokao. Ayah Chen Yanping pernah menjadi pejabat biro perdagangan sebelum membuka toko swalayan terkenal di daerahnya. Dia membeli surat tanda lulus Chen Chunxiu dari seorang agen seharga 2.000 yuan atau sekitar Rp 4 juta. Dengan campur tangan seorang kepala sekolah, mereka mengubah datanya dengan memasukkan identitas Chen Yanping. Keluarga itu juga berkongsi dengan pejabat polisi dan staf kampus untuk memastikan urusan berjalan lancar.

Chen Yanping lulus kuliah, lalu bekerja sebagai anggota staf kantor audit di kota administratif Guanxian, Provinsi Sichuan. Setelah kasusnya terbongkar, universitas mencabut gelarnya dan dia dipecat dari pekerjaannya.

Pemerintah setempat menyelidiki kasus tersebut. Sejauh ini, 46 orang telah dihukum. Chen Chunxiu kini mencoba meraih kesempatannya yang dulu hilang dengan melamar kembali ke Shandong University of Technology. Kampus itu berjanji membantu Chen mewujudkan impiannya.

Kasus ini kemudian merebak di media massa pada Juni lalu. Satu per satu korban penipuan angkat bicara. Hingga pekan lalu, 14 universitas di Shandong telah menemukan 242 kasus serupa selama gaokao periode 2002-2009 dan mencabut gelar sarjana para penyaru. Pemerintah juga sedang menyelidiki kemungkinan kasus ini terjadi di provinsi lain. Topik “242 orang di Shandong mencuri identitas untuk mendapatkan gelar” menjadi obrolan terhangat di media sosial Cina, Weibo, dengan 590 juta percakapan.

Kejadian serupa menimpa Wang Nana. Pada 2015, ketika Wang hendak membuat kartu kredit, pegawai bank mengatakan bahwa informasi pribadinya tidak akurat karena data menunjukkan dia pernah kuliah di Luoyang Institute of Technology. Perempuan 34 tahun itu memang pernah melamar ke kampus tersebut setelah lulus sekolah, tapi tak pernah menerima surat penerimaan. Belakangan, dia tahu bahwa identitasnya telah ditukar dengan Zhou Zhoukou, seorang perempuan yang menjadi guru di Henan. Hingga kini, si penipu tidak pernah meminta maaf kepada Wang meskipun kampus telah mencabut gelarnya dan dinas pendidikan dan olahraga setempat memecatnya.

Hukuman bagi para pemalsu identitas mulai berlaku setelah kasus Qi Yulin pada 1999. Pada 1990, Qi Yulin lulus sekolah di Tengzhou, Shandong. Dia sebenarnya diterima di Jining Technology College, tapi surat penerimaan jatuh ke tangan Chen Xiaoqi, rekan satu sekolahnya yang sebenarnya tidak lulus gaokao. Ayah Chen memalsukan identitas putrinya agar Chen bisa kuliah, lulus, dan akhirnya bekerja di Bank of China cabang Tengzhou.

Sembilan tahun kemudian, kasus ini terbongkar. Qi menuntut Chen karena memalsukan identitasnya dan menghilangkan kesempatannya untuk kuliah. Pengadilan Zaozhuang, yang menangani kasus ini, hanya memutuskan perkara pemalsuan identitas dan menolak klaim soal hak mendapatkan pendidikan.

Qi mengajukan permohonan banding ke pengadilan tinggi Shandong untuk menuntut haknya. Persoalannya, hak ini hanya tercantum dalam konstitusi dan tak ada aturan hukum lain yang mengaturnya. Pengadilan lalu meminta fatwa ke Mahkamah Agung, yang kemudian menyatakan hak mendapatkan pendidikan harus diterapkan dalam kasus ini. Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa Chen Xiaoqi dan ayahnya bersalah karena melanggar hak-hak Qi. Kejadian ini menjadi kasus pertama perlindungan hak mendapatkan pendidikan di Negeri Tirai Bambu.

Menurut Chu Zhaohui, peneliti di National Institute of Education Sciences, Cina, kecurangan di gaokao terjadi karena ketidaktahuan korban dan ada pihak-pihak yang bersekongkol demi uang. Korban biasanya dari kalangan bawah sehingga kecil kemungkinan menuntut balik. “Penerimaan mahasiswa baru umumnya melibatkan banyak pihak—sekolah, panitia ujian, kantor penerimaan, dan departemen manajemen rumah tangga. Jadi, jika ada lubang di begitu banyak titik, hal ini menunjukkan terjadinya kecurangan berjemaah,” kata Chu kepada BBC.

Kongres Rakyat Nasional, lembaga legislatif Cina, menyerukan agar pencuri identitas dipidana. Pemerintah Shandong menyatakan telah menerapkan aturan baru agar kasus ini tak terulang. Calon mahasiswa kini diminta mengirimkan surat lamaran, kartu identitas, sertifikat tempat tinggal, dan sertifikat ujian sebelum lamaran mereka dikonfirmasi. Kampus juga akan mempublikasikan hasilnya secara online dan via pesan teks.

Meski kasus-kasus tersebut membuat gaokao kini berlangsung lebih ketat, sejauh ini ujian berlangsung lancar. Pada Kamis, 16 Juli lalu, polisi tampak menjaga ketat ruang-ruang ujian di Beijing. Komputer pengolah data terhubung dalam sebuah jaringan intranet dalam sebuah ruang dengan jendela dan pintu pelindung untuk mencegah peretasan dan virus. Ruang-ruang ujian juga dilengkapi kamera pemantau.

Di Provinsi Jiangsu, panitia mengenkripsi data pribadi peserta dan menganalisis hasil ujian sebelum memindai dan mengirimkannya ke server pengolah data melalui jaringan serat optik tertutup. Di Beijing, data itu dicadangkan ke server terpisah. Sejumlah kota juga menyediakan tempat bagi para kandidat, orang tua siswa, dan wartawan untuk menyaksikan seluruh proses ujian berlangsung. Hasil ujian akan diumumkan pada 23 Juli, lalu para kandidat dapat melamar ke kampus sesuai dengan nilai yang diperoleh.

IWAN KURNIAWAN (CAIXIN GLOBAL, CHINA DALY, XINHUA, CHANNEL NEWS ASIA, BCC, CGN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus