Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANK Indonesia sudah memilih kebijakan demi mendorong pertumbuhan ekonomi yang sempoyongan terpukul pandemi Covid-19. Ini tentu melegakan pemerintah, yang memproyeksikan ekonomi Indonesia mengerut minus 4,3 persen di akhir kuartal II 2020. Namun keberpihakan BI sudah membawa konsekuensi: rupiah merosot.
Sebelum ini, kurs rupiah sempat pulih setelah jatuh ke titik terendah dalam 22 tahun terakhir, yakni 16.575 per dolar Amerika Serikat, di puncak kepanikan pasar pada 23 Maret lalu. Di awal Juni, dana asing kembali mengalir masuk setelah panik mereda. Rupiah menguat secara signifikan menjadi 13.878 per dolar. Kini penguatan itu pelan-pelan menguap karena pasar merespons kebijakan BI.
Dalam lima hari terakhir, hingga Jumat, 17 Juli lalu, kurs rupiah terhadap dolar Amerika sudah turun 2 persen. Saat pasar Jakarta tutup di petang hari itu, harga US$ 1 sudah mencapai Rp 14.725. Tren pelemahan ini berlangsung di tengah pasar finansial global yang masih terombang-ambing. Pesimisme meningkat karena wabah terus mencatatkan rekor tambahan kasus baru di mana-mana.
Ada dua kebijakan bank sentral yang membuat pasar ragu lagi terhadap kekuatan rupiah.
Pertama, BI berkomitmen menciptakan likuiditas rupiah dengan membeli
obligasi pemerintah senilai minimal Rp 397,5 triliun hingga maksimal Rp 570 triliun. Yang kedua soal suku bunga. Pada Kamis, 16 Juli lalu, BI kembali menurunkan suku bunga rujukannya atau BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 4 persen.
Sebetulnya, menimbang perkembangan berbagai indikator belakangan ini, BI sangat layak menurunkan suku bunga. Laju inflasi per akhir Juni lalu, misalnya, hanya 1,97 persen, terendah dalam 20 tahun. Angka ini di bawah target terendah BI di kisaran 2-4 persen.
Stabilitas rupiah yang bertahan sejak awal Juni tentu juga menjadi pertimbangan. Rupiah stabil antara lain karena terdorong oleh dana asing yang masuk ke obligasi pemerintah. Dana asing masuk lantaran terbuai imbal hasil obligasi pemerintah yang relatif tinggi dibanding negara-negara Asia lain. Secara riil, imbal hasil obligasi ini juga kian berarti karena tingkat inflasi rupiah amat rendah.
Kombinasi likuiditas yang melimpah dan bunga yang lebih murah adalah resep klasik untuk mendorong roda ekonomi berputar lebih cepat dan pulih kembali dari hantaman wabah. Suntikan likuiditas dari BI akan mengalir sebagai stimulus untuk membiayai program-program pemerintah. Sedangkan suku bunga yang lebih rendah pada gilirannya akan berpengaruh pada bunga kredit dan ongkos modal dunia usaha.
Sayangnya, pasar lebih menghitung dampak dua kebijakan itu dari sisi risikonya. Pembelian obligasi pemerintah oleh BI memang belum terlaksana, baru kesepakatan. Namun pasar tentu sudah mulai menghitung bagaimana suntikan bank sentral yang luar biasa besar itu nantinya melambungkan jumlah uang yang beredar. Tambahan rupiah secara signifikan jelas bakal menurunkan nilainya terhadap mata uang asing. Keyakinan investor pada rupiah mulai goyah.
Sementara itu, penurunan bunga jelas berpengaruh pada minat investor asing untuk menempatkan dana investasinya ke sini. Selama ini, investor asing mengandalkan strategi carry trade untuk mencari untung di Indonesia. Mereka meminjam dolar yang bunganya kini nyaris nol persen, lalu menanamkannya ke rupiah. Selisih bunga yang besar membuat berinvestasi dalam rupiah menjadi menarik. Sebaliknya, mengecilnya selisih karena BI menurunkan bunga membuat investor berhitung ulang. Pasar tentu juga menimbang segala risiko lain, termasuk kemungkinan macetnya program pemulihan ekonomi hingga kemampuan pemerintah mengendalikan wabah.
Reaksi negatif pada Jumat, 17 Juli, itu ibarat ujian dari pasar. Sinyalnya jelas: pasar belum yakin berbagai kebijakan pemulihan ekonomi ataupun penanganan Covid-19 sudah tepat. Pemerintah dan bank sentral sebaiknya tak perlu sungkan mengoreksinya di sana-sini agar nilai rupiah tidak rontok terlalu dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo