Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRAGATH Singh, sopir taksi di Kuala Lumpur, sumringah. Sebentar siang setelah mengantarkan Tempo ke kawasan Brickfields, Rabu pekan lalu, ia mengatakan berencana mampir ke kantor Barisan Nasional di Putrajaya—kawasan baru bentukan pemerintah yang dijadikan pusat pemerintahan Malaysia dan letaknya tak jauh dari ibu kota. "Ada pembagian ban gratis untuk semua sopir taksi di Kuala Lumpur," kata lelaki 58 tahun itu.
Dua pekan lalu, ujar Pragath, sebenarnya ia sudah menerima empat ban baru untuk taksinya. Namun, entah mengapa, pekan ini ia masuk daftar penerima ban gratis lagi. "Tak apalah, buat disimpan," katanya sambil terkekeh.
Saat ditanya apakah mendapat ajakan memilih partai penguasa Malaysia, sopir taksi yang punya pengalaman 20 tahun di belakang kemudi itu menggeleng. Menurut Pragath, tak pernah ada ajakan yang mengharuskan para sopir taksi di Kuala Lumpur memilih Barisan Nasional, sang empunya hajat. Namun tempat pemasangan ban untuk taksinya dipadati atribut koalisi partai yang menguasai Malaysia sejak merdeka pada 1957 itu.
"Mungkin saja terselubung untuk menarik simpati kami, para sopir taksi, tapi banyak yang tak ambil pusing," ujarnya. Pragath bersikap, kalau Malaysia perlu perubahan, "Siapa pun pemimpin nantinya, baik Barisan Nasional maupun oposisi, Malaysia harus berubah menjadi negara yang mementingkan rakyatnya."
Lain Pragath, lain pula yang diterima para mahasiswa se-Malaysia. Menjelang pemilihan umum ke-13 ini, kampanye kartu diskon untuk kelengkapan sekolah atau kuliah menggila. Namanya: Kad Diskaun Siswa 1 Malaysia. Besaran potongan harganya 20-60 persen, baik untuk perlengkapan maupun biaya perkuliahan.
Program kartu diskon pelajar ini meluncur atas dukungan berbagai kementerian, dari Kementerian Pendidikan hingga Perdagangan Dalam Negeri Malaysia. "Program semacam ini hanya menguntungkan satu pihak dalam masa sekarang ini," kata Hishamuddin Rais, salah seorang penggagas gerakan BERSIH Malaysia yang kerap kritis terhadap perkembangan pemilihan, kepada Tempo.
Hisham mengatakan, menjelang pemilihan, perlu kejelian melihat kebaikan dari berbagai macam pihak, baik Barisan Nasional maupun oposisi. Sebab, bukan tak mungkin semua pemberian itu mengandung pesan politik kental. "Pesan tak perlu tersurat. Warga tahu semua siapa pihak yang memberi dan apa pesannya," ucapnya.
Dalam manifesto kampanye Barisan Nasional untuk menghadapi pilihan raya Malaysia ke-13, kata Hisham, sebenarnya pesan politik uang sangat kental terasa. Bayangkan, ujar dia, secara terang Barisan Nasional dengan cuma-cuma memberikan uang santunan tahunan sebesar 1.200 ringgit atau sekitar Rp 4 juta kepada golongan muda yang masuk usia pemilih. "Mendadak santunan itu naik nilainya dari 500 ringgit atau sekitar Rp 1,7 juta, dua kali lipat lebih," katanya.
Dalam sebuah kolomnya, Bridget Welsh, profesor ilmu politik dari Universitas Manajemen Singapura, mencoba menghitung pengeluaran duit politik Barisan Nasional. Dari 4.000 berita soal Barisan Nasional yang ia teliti sejak April 2009, ditambah sebuah studi terhadap tiga tahun anggaran pemerintah Perdana Menteri Najib Razak, dia menyimpulkan bahwa anak perdana menteri kedua Malaysia, Tun Abdul Razak, itu telah mengeluarkan hampir 57,7 miliar ringgit atau sekitar Rp 173,1 triliun. Sebanyak 80 persen diluncurkan lewat program pembangunan, selebihnya lewat program "1 Malaysia"—hampir 15 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Malaysia.
"Bisa kami duga semua itu terkait betul dengan pilihan raya tahun ini," ujar Maria Chin Abdullah, Kepala PEMANTAU—organisasi onderbouw dari Gerakan BERSIH. Angka itu belum termasuk iklan dan biaya alat peraga lain, yang ditaksir mencapai Rp 300 miliar.
Lantas, berdasarkan temuan para sukarelawannya di lapangan, Maria menguatkan dugaan Bridget Welsh bahwa anggota timnya yang tersebar sebanyak 2.300 orang di seluruh negeri itu juga mengungkapkan adanya upaya pembelian suara oleh kubu Barisan Nasional. Ada yang nilainya 5 ringgit bagi anak-anak yang datang menyertai orang tua mereka ke ceramah-ceramah kampanye Barisan Nasional, ada pula yang menjanjikan 15 ringgit ditambah paket nasi. Juga modus lain lewat bingkisan-bingkisan yang dibagikan selepas acara kampanye. "Kami juga menerima laporan bahwa sukarelawan kami dicoba disuap BN (Barisan Nasional) dengan uang sebanyak 1.000 ringgit," katanya.
Namun untuk membuktikan praktek politik uang bukanlah hal mudah, ujar Maria, karena bukti keras yang menunjukkan ajakan ataupun pembelian suara tak mungkin terang disebutkan. "Sejauh ini, pemantau hanya bisa mendokumentasikan semua praktek itu. Nantinya itu akan diumumkan pada laporan akhir pemantauan proses pilihan raya selepas pemungutan suara rampung dilaksanakan," katanya.
Di sejumlah tempat di Kuala Lumpur, Tempo menjumpai beberapa pos kampanye Barisan Nasional. Biasanya pos-pos itu berupa kedai yang diberi tajuk "Kedai Rakyat 1 Malaysia", Klinik murah, warung Internet gratis, dan rumah singgah bagi para gelandangan. Dalam sebuah ceramah, Najib Razak pernah menegaskan soal semua pemberian ini. "Barisan Nasional tak mungkin menyisihkan warga negaranya. Kami justru ingin sejahtera bersama warga kami," ujarnya sesuai dengan laporan Anne Muhammad, koresponden Tempo di Malaysia.
Di tengah badai cercaan praktek politik uang, Ketua Wanita Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) Datuk Seri Shahrizat Abdul Jalil mengatakan bahwa program-program yang dicanangkan pemerintah itu telah mengembalikan kepercayaan rakyat Malaysia kepada koalisi Barisan Nasional. Membagikan kesejahteraan, menurut dia, memang sebuah tugas mulia seorang pemimpin. Tidak perlu dipandang melulu dari sudut pandang kontestasi politik. "Mayoritas pemilih kini semakin sadar dan yakin terhadap kepemimpinan Perdana Menteri Najib Razak," katanya. Pendekatan agresif untuk mencerca, dia melanjutkan, "Hanya sanggup melahirkan huru-hara."
Pekan lalu adalah pekan yang gaduh di Malaysia. Pada saat akhir, Universitas Malaya sempat mengeluarkan survei menjelang pemilihan. Hasilnya, mereka mengungkapkan bahwa pemimpin kubu oposisi Anwar Ibrahim mengungguli Najib Razak dalam sebuah survei kepatutan sebagai calon Perdana Menteri Malaysia.
Rupanya, triliunan rupiah yang dikeluarkan belum tentu terbukti bisa mendongkrak popularitas politik seseorang. Tempo kembali mengingat apa yang dikatakan Pragath, sang sopir taksi, dalam perjalanan menuju penginapan. Selepas membahas soal ban mobilnya yang baru, sembari terkekeh ia lantas bersenandung sebuah pepatah lama, "Ada uang abang disayang, tak ada uang abang tak di-vote-lah. Tapi itu suara hati tak pernah terbeli. "
Sandy Indra Pratama (Kuala Lumpur)
Berganti Haluan di Akhir Tikungan
SEBUAH warta yang ditulis salah satu harian pendukung kubu Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan koalisi Barisan Nasional membuat geger Malaysia, Rabu pekan lalu. Azlan Mohammad Lazim, ayah pelapor kasus sodomi yang menjerat pemimpin oposisi Anwar Ibrahim, mencabut pernyataan maafnya seraya menyatakan berhenti dari keanggotaan Partai Keadilan Rakyat (PKR). "Saya menyatakan perbuatan sodomi yang dilakukan Datuk Seri Anwar Ibrahim adalah benar adanya," kata Azlan kepada media.
Dengan pernyataannya itu, berarti Azlan menghapus perkataan yang ia ucapkan pada 8 Maret lalu. Saat itu, dia mengatakan bahwa kasus sodomi yang menimpa anaknya merupakan sebuah sandiwara politik yang dipakai untuk menjatuhkan pamor politik Anwar Ibrahim. Lebih lanjut, seperti yang diberitakan situs berita malaysiakini.com, Azlan mengaku belum mendapat bayaran atas pernyataannya satu purnama lalu. "Sekaligus sekarang ini saya ingin meminta maaf kepada keluarga saya atas kebandelan saya bergabung dengan PKR," ujar lelaki 60 tahun itu.
Azlan bukannya tak serius saat sebulan lalu menyatakan masuk PKR. Ia sempat beberapa kali berceramah di muka pendukung Anwar. Menurut Johari, pejabat PKR yang pernah memfasilitasi Azlan masuk partainya, saat masuk, ayah Saiful Bukhari itu datang sendiri tanpa ajakan dari kalangan internal PKR. Jadi tak benar bahwa ia disebut dibujuk PKR. "Tapi apa yang ia ucap itu tak biasa karena ini menjelang pemilihan," katanya.
Namun ternyata prahara tak hanya mengguncang kubu pembangkang. Pergantian haluan politik menjelang pemilihan seperti yang dilakukan Azlan juga dilakoni pejabat Barisan Nasional, Tan Sri Muhammad Taib. Bekas Menteri Besar Selangor itu kini bergabung dengan Partai Islam se-Malaysia (PAS). Dalam sebuah wawancara dengan media pada April lalu, ia berkata sudah jenuh terhadap kondisi Barisan Nasional yang kelewat korup. "Saatnya untuk perubahan," ucapnya.
Penyeberangan Mat Taib—sebutan akrab Tan Sri Muhammad Taib—diakui bakal mengguncang sedikit pengaruh Barisan Nasional di Selangor, yang sejak pemilihan 2008 dikuasai oposisi. Koordinator Barisan Nasional Selangor, Datuk Seri Ir Mohd. Zin Mohamed, mengatakan Mat Taib memang memiliki pengaruh besar di Selangor, terutama bagi kalangan veteran UMNO di sana. "Sekarang apa boleh buat, tapi BN (Barisan Nasional) tak akan menyerah begitu saja. Kami pikir Mat Taib bukan Dr M (sebutan untuk Mahathir Mohamad), jadi biasa saja," katanya.
Penyeberangan partai dinilai tak perlu dianggap terlalu serius karena hal itu biasa dalam politik. Namun, di balik itu semua, Zin ingin berkata blak-blakan bahwa partainya, "Terpaksa kembali bekerja keras gara-gara para penyeberang. Padahal ini sudah hampir akhir tikungan."
Sandy Indra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo