TOKOH macam apakah Saddam Hussein itu? Mungkin ia merupakan perpaduan seorang yang penuh tipu muslihat, arogan, kejam, tak mempercayai orang lain, tapi juga punya rasa humor. Saddam, yang April nanti genap 56 tahun, tahun lalu menjawab sinyalemen Barat bahwa ada upaya kudeta di Irak dengan khas: melansir foto dirinya sedang berenang di Sungai Tigris dengan senyum lebar. Padahal banyak pihak pernah berpendapat, Saddam tak mungkin bertahan setelah ditendang dari Kuwait oleh AS dan sekutunya, dan masih harus menderita gempuran Sekutu yang mengebomi Baghdad, awal tahun 1991 lalu. Setelah itu pun Saddam harus menghadapi sanksi dan embargo ekonomi internasional, pemberontakan (suku Kurdi di utara dan kaum Syiah di selatan), dan ketidakpuasan meluas di dalam negeri. Tapi meski dengan kondisi amburadul, dalam bilangan bulan setelah perang usai, presiden yang suka mengenakan pakaian militer ini mampu kembali mengendalikan negerinya. Pendapat lain juga tak terbukti kebenarannya. Diduga, Saddam harus mengadakan perubahan bila hendak mempertahankan kekuasaannya di masa pasca-Perang Teluk II. Tanpa pemerintahan yang lebih terbuka dan kompromistis terhadap tekanan internasional, ia akan jatuh. Dekat setelah Perang Teluk itu usai, memang tampak Irak melangkah seperti dugaan tersebut. Saddam sempat menjanjikan sebuah reformasi: ia menunjuk perdana menteri yang memprioritaskan liberalisasi ekonomi dan politik. Tapi eksperimen demokrasi ini berjalan singkat. Beberapa bulan kemudian Saddam memecat perdana menteri moderat itu, dan katanya, ''Demokrasi gaya Barat tak akan pernah diperkenankan di Irak.'' Dengan cara itulah tampaknya ia tetap bertahan, meski kondisi ekonomi dalam negeri makin buruk akibat sanksi ekonomi Dewan Keamanan PBB. Yakni, larangan menjual dan menerima apa pun, kecuali obat-obatan. Memang, inflasi di Irak melaju pesat dan kini mencapai lebih dari 100%. Nilai tukar dinar Irak merosot terhadap dolar: dua tahun lalu satu dinar Irak sama dengan US$ 3, Juni silam US$ 1 sama dengan 20 dinar, dan kini sama dengan 30 dinar. Pertengahan tahun silam diduga sudah 40% tenaga kerja Irak menganggur -- belum termasuk ribuan tentara yang dibubarjalankan dan kini mencari kerja di sektor sipil Sebagian besar warga Irak kini bertahan hidup dengan subsidi makanan yang diberikan dengan sistem catu, yang nilainya le- bih besar daripada gaji bulanan rata-rata orang Irak. Kian lemahnya daya beli rakyat, ''membuat semua orang menjadi sopir taksi paruh waktu,'' ujar seorang insinyur di Baghdad yang menjadi pegawai negeri. Meski gaji sudah dinaikkan, penghasilan pegawai negeri Irak kabarnya cuma US$ 10 sampai US$ 15 per bulan. Tapi pemandangan seperti yang terlihat di Somalia memang tak ada di Irak. Kesulitan ekonomi memang tak membuat orang Irak jadi kurus kering. Jarang tampak orang bertubuh kerempeng di jalan-jalan di Baghdad. Meski pernah rawan pangan, menurut laporan Badan Pangan PBB, kini stok makanan di Irak cukup. Tahun silam, Irak diizinkan Dewan Keamanan PBB mengekspor minyak sebatas US$ 1,6 miliar, dengan syarat 70% digunakan untuk membeli bahan makanan dan obat-obatan yang harus didistribusikan oleh PBB, dan 30% untuk membayar kerusakan perang akibat invasi Irak atas Kuwait. Penghematan pun dilakukan. Mulai tahun ini Baghdad melarang penjualan 146 jenis barang yang dikategorikan mewah -- mulai dari keju impor sampai sejumlah perangkat elektronik dan perhiasan. Selain mengambil langkah brutal untuk meredam kritik dan pergolakan, Saddam dengan cerdik memanfaatkan adanya sanksi ekonomi sebagai penyebab utama kesulitan ekonomi Irak. Walhasil, meski hidup terasa sulit, semangat terpelihara. Dengan cara inilah Saddam membangkitkan semangat membangun, dan pelan-pelan ia pun memperbaiki ekonomi Irak. Dan umumnya, menurut laporan majalah Middle East, berhasil. Misalnya program rekonstruksi sejumlah pabrik diselesaikan lebih cepat dari target. Dengan jeli Saddam melihat peluang baik dari kenyataan ini: sebuah museum yang merekam bagaimana Irak membangun kembali, didirikan di Baghdad. Masyarakat Irak tampaknya memang punya kemampuan me- nyesuaikan diri dengan kondisi buruk paling ekstrem sekalipun. Pengalaman 8 tahun perang dengan Iran (1980-1988) merupakan pelajaran berharga. Karena itulah, banyak pengamat menyebut Irak masih bisa bertahan lima tahun di bawah sanksi ekonomi, sebab ''masyarakatnya sangat disiplin''. Selain itu, embargo ekonomi justru menolong pemerintah Baghdad menata kembali institusi-institusinya, untuk menciptakan kondisi ketidaktergantungan pada dunia luar, khususnya dalam swasembada pangan. Dulu Irak mengimpor 70% kebutuhan pangannya. Kini dengan sekuat tenaga negeri 57 juta penduduk ini menggenjot proyek irigasi, misalnya proyek kanal Sungai Ketiga (karena di Irak sudah ada dua sungai, Tigris dan Efrat) sepanjang 565 km, yang dimulai dari Baghdad sampai ke Kota Basra di Irak selatan. Proyek yang membuat sejumlah rawa kering dan menyulitkan kehidupan kaum Syiah yang banyak memanfaatkan rawa sebagai jaringan jalan, sumber ikan, dan lain-lain. Para pakar pertanian menduga, rencana Saddam meningkatkan produksi pertanian Irak bakal segera terwujud. Di Irak selatan, pemerintah juga meningkatkan proyek padat karya untuk membangun kembali infrastruktur. Dengan pembangunan kembali jembatan, sistem pembuangan air kotor, dan sejumlah pusat pertemuan masyarakat ini, 50% penganggur di kawasan ini, yang kondisi ekonominya paling parah ketimbang wilayah Irak lainnya, bisa diberi pekerjaan. Langkah ini sangat menolong dan dihargai oleh warga Irak setempat yang mayoritas penganut Syiah itu. Ini tampaknya yang membuat kaum Syiah itu tak begitu memprotes keringnya rawa. Perekonomian Irak, meski parah, masih bisa jalan, juga karena embargo ekonomi di sejumlah sektor masih bisa diterobos. Seusai perang, tak ada pengawasan embargo di perbatasan Irak dengan negara-negara tetangga seperti Yordania, Turki, dan Iran. Irak masih bisa diam-diam meng- ekspor minyaknya melalui jalan darat ke Yordania (dan sebagian ke Libanon). Sebaliknya, bahan pangan dari Amman bisa pula dibawa ke Baghdad dengan truk. Begitu pula perdagangan gelap di perbatasan dengan Turki, dan penyelundupan di perbatasan Iran, membantu menembus blokade ekonomi. Menurut laporan salah satu konsultan Amerika, Irak sudah berhasil mengimpor makanan senilai US$ 2 miliar seta- hun setelah Perang Teluk II usai. Selain itu, Irak masih memiliki sumber devisa yang sulit dilacak. Yakni yang dipegang secara pribadi oleh anggota keluarga Saddam Hussein dan rekan-rekan dekatnya. Dana pribadi yang dikumpulkan selama dua dasawarsa itu diduga bernilai sangat besar. Dengan dana inilah, antara lain, diduga Saddam ''membeli'' sejumlah tokoh Syiah, Suni, Kurdi, dan kalangan militer. Tentu, bukan cuma karena suap Saddam mampu meredam kritik dan oposisi. Sejak menebas pemberontakan Syiah di selatan dan suku Kurdi di utara (yang dijadikan alasan oleh Amerika dan sekutunya untuk menerapkan kawasan larangan terbang), Saddam pun dikabarkan makin awas terhadap kemungkinan berontaknya para pembangkang, khususnya dari tubuh angkatan bersenjata. Pembersihan kerap dijalankan di kalangan perwira. Dalam sejumlah peristiwa, menurut sumber-sumber Middle East, banyak perwira militer yang dieksekusi. Awal tahun silam, misalnya, lebih dari 100 perwira militer dihukum mati karena dituduh hendak makar. Sejak pemberontakan itu, Saddam makin giat mengangkat kerabat sekaum dari Tikrit, kampungnya, untuk pos-pos militer dan keamanan. Salah satu dari tiga adik lelaki tirinya diangkat sebagai kepala keamanan dalam negeri. Adik tiri lainnya duduk di pos menteri penerangan. Dalam rangka menghindari munculnya pemimpin kuat dan populer di kalangan militer, Saddam tampaknya sudah menemukan sistem jitu: perwira yang populer dipindahkan ke pos lain yang kurang penting, agar tak sempat membangun basis kekuatan. Bahkan, di kalangan kerabatnya sendiri, sistem rotasi diberlakukan. Saddam, konon, juga sengaja mendorong adanya persaingan di antara saudara-saudaranya yang duduk di pemerintahan. Dengan cara itu, Saddam selamat dari ancaman kuat. Dari sekitar 60 kelompok oposisi, cuma selusin yang kabarnya memiliki pendukung di dalam dan di luar Irak. Karena jaringan keamanan sudah dibangun Saddam sedemikian rupa, sulit bagi kubu oposisi untuk bergerak di dalam Irak. Maklumlah, Saddam pun terkenal dengan kebrutalannya dalam meredam kubu oposisi. Bagi mayoritas orang Irak, rupanya ada anggapan, sejelek- jeleknya rezim Saddam, pemerintahan oleh kubu Syiah atau suku Kurdi bisa jauh lebih buruk. Lagi pula, sekarang ini tak ada satu kekuatan pun di Irak yang dianggap mampu meng- gantikan posisi tokoh sekaliber Saddam atau Partai Baathnya. Apalagi di masyarakat Irak hidup pemikiran bahwa jatuhnya Saddam mengancam kesatuan negara. Apalagi Saddam pun mestinya tahu, seperti kata para peng- amat, bahwa kehadirannya dibutuhkan oleh pihak Barat. Setidaknya untuk mengimbangi Teheran, yang masih ditakuti di Timur Tengah karena dikhawatirkan menyebarkan revolusi Islamnya. Dari sudut ini sebenarnya permainan api Saddam dan AS bak membakar keramik. Api itu memang membakar Saddam, tapi bukan membuatnya hangus melainkan menambah kuat kekuasaannya di dalam negeri: rakyat makin mengagumi orang yang berani mempermainkan negara superkuat itu. Dan Amerika memperoleh manfaat juga, agar negara ini dibutuhkan oleh negara-negara Arab untuk menjaga Saddam. Sekali-sekali, memang, Saddam pun perlu dipangkas, sekadar membuatnya tak terlalu kuat, tapi masih tetap menakutkan di Timur Tengah. Farida Senjaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini