Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Muslihat ke Luar Barak

Markas Besar TNI mengusulkan perubahan struktur organisasi lewat peraturan presiden. Dicurigai sebagai muslihat untuk memperluas kewenangan.

2 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AYAT ganjil itu menyempil di antara ratusan pasal dalam rancangan peraturan presiden tentang penataan organisasi yang disorongkan Tentara Nasional Indonesia. Setelah membolak-balik rancangan tersebut, anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Tubagus Hasanuddin, barulah menemukan sesuatu yang aneh. "Sepertinya ada pelintiran dari undang-undang," kata Hasanuddin, Kamis pekan lalu.

Keganjilan itu persisnya ada di akhir pasal 7 rancangan peraturan presiden. Terdiri atas tiga ayat, sebagian besar kalimat serta titik dan koma pasal tersebut sama persis dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. "Itu celah bagi tentara untuk keluar dari tugas pokoknya tanpa pengawasan."

Gelagat tentara untuk "keluar dari barak" itulah yang akhir-akhir ini merisaukan kalangan pegiat hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Al Araf, Direktur Program Imparsial, bagian dari koalisi itu, mengingatkan adanya tanda-tanda tentara ingin kembali merambah urusan sipil seperti terjadi selama Orde Baru. "Ini kemunduran dari reformasi," ujar Al Araf, Selasa pekan lalu.

Hasanuddin menjelaskan, baik menurut rancangan peraturan presiden maupun Undang-Undang TNI, tugas pokok TNI meliputi dua hal: operasi militer untuk perang dan operasi selain perang. Termasuk operasi selain perang antara lain upaya mengatasi terorisme, mengamankan obyek vital, membantu tugas pemerintah daerah, dan mendukung pemberantasan narkotik.

Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, Undang-Undang TNI menegaskan kiprah TNI di luar arena tempur hanya bisa dijalankan berdasarkan keputusan politik negara. Artinya perluasan tugas TNI harus setahu DPR. Masalahnya, dalam pasal 7 rancangan peraturan presiden, ketentuan tersebut hilang. "Hanya disebutkan bahwa operasi militer perang yang harus melalui keputusan politik," kata Hasanuddin. "Kalau seperti ini, tentara bisa sesukanya sendiri."

Isi draf peraturan presiden yang masih digodok ini rupanya telanjur "merembes" ke luar dinding kantor Kementerian Pertahanan dan Markas TNI. Koalisi Masyarakat Sipil pun menendang bola panas tersebut.

Menurut Al Araf, bukan hanya pasal 7 yang berpotensi diselewengkan tentara. Ada tiga pasal lain yang meluaskan kewenangan TNI seperti zaman Orde Baru, yakni pasal 4, 5, dan 6. Ketiga pasal tersebut memberi peluang tugas tentara tak hanya menjaga pertahanan negara, tapi juga keamanan nasional.

Al Araf menilai pasal-pasal dalam rancangan peraturan presiden bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 2 Undang-Undang Kepolisian dengan tegas menyebutkan bahwa salah satu fungsi polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. "Presiden harus menolak usul ini," ujar Al Araf.

Markas Besar TNI di Cilangkap, Jakarta Timur, seperti tersulut oleh tudingan tersebut. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun membantah adanya rancangan peraturan presiden yang memperluas wewenangtentara. "Tuduhan ini hanya rekayasa," kata Gatot, Rabu pekan lalu. "Selama saya menjadi Panglima TNI, perpres seperti itu tak akan pernah ada," ujarnya.

Gatot menambahkan, Cilangkap memang mengajukan rancangan peraturan presiden untuk menggantikan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2009 tentang Susunan Organisasi TNI. Namun, menurut dia, usul tersebut murni untuk merapikan struktur internal TNI. Misalnya, jabatan tertinggi di Badan Intelijen Strategis yang dipegang jenderal bintang dua diusulkan menjadi bintang tiga.

Selain soal kepangkatan, yang paling kentara dalam draf peraturan presiden adalah penghapusan jabatan Kepala Staf Umum TNI dan penghidupan kembali posisi Wakil Panglima TNI. Jabatan wakil panglima pernah mentereng di era Presiden Soeharto karena memiliki fungsi komando. Namun posisi ini dihapus pada era Presiden Abdurrahman Wahid dengan tujuan merampingkan struktur TNI.

Setelah posisi wakil panglima tak ada, muncul jabatan kepala staf umum, yang diduduki jenderal bintang tiga. Sejak itulah, jika berhalangan, Panglima TNI mengalihkan komando operasional kepada Kepala Staf Umum TNI.

Tampaknya Cilangkap menganggap praktek tersebut kurang ideal karena kepala staf umum tak punya wewenang memberi komando sampai ke bawah. "Kami menunggu Presiden acc, baru dicari wakilnya," kata Gatot.

* * * *

KOALISI Masyarakat Sipil telah lama mencium gelagat tentara kembali bersinggungan dengan ranah sipil. Menurut Al Araf, tentara masuk ke wilayah sipil melalui kerja sama dengan berbagai lembaga yang dibakukan lewat nota kesepahaman. Misalnya kesepahaman dengan Badan Narkotika Nasional dalam rehabilitasi dan kesepahaman dengan Pertamina dalam pengamanan obyek vital.

Lewat kerja sama itu, menurut Al Araf, TNI sebenarnya sudah menjalankan fungsi keamanan. Padahal Ketetapan MPR sudah jelas memisahkan TNI dan Polri. Tentara adalah alat pertahanan negara, sedangkan urusan keamanan di bawah kendali polisi. Kalaupun ada perluasan tugas nonperang, menurut Al Araf, itu harus berdasarkan keputusan politik negara.

Bukan hanya Koalisi Masyarakat Sipil yang mempersoalkan kerja sama tentara dengan lembaga sipil itu. Menurut Tubagus Hasanuddin, Komisi Pertahanan DPR pun sampai dua kali meminta penjelasan TNI soal model kerja sama itu. Yang dipermasalahkan Komisi Pertahanan antara lain kerja sama TNI dengan Kementerian Perhubungan dalam pengamanan obyek vital, seperti bandar udara, stasiun, dan pelabuhan.

Pada akhir Februari lalu, Kementerian Perhubungan dan Markas Besar TNI menandatangani kerja sama pengamanan prasarana dan sarana transportasi yang dianggap sebagai obyek vital.

Ada tujuh poin dalam kesepakatan tersebut. Di antaranya pengamanan sarana dan prasarana transportasi, survei dan pemetaan wilayah transportasi, penerbitan buku-buku publikasi yang diperlukan pelanggan angkutan, serta pembinaan sumber daya manusia untuk pengamanan sarana dan prasarana transportasi. Tentara juga diminta membantu penegakan hukum di lingkungan transportasi darat, laut, dan udara serta perkeretaapian.

Pengamanan obyek vital memang merupakan bagian dari operasi militer selain perang yang diizinkan Undang-Undang TNI. Masalahnya, menurut Hasanuddin, area bandara, stasiun kereta api, dan pelabuhan tidak termasuk obyek vital seperti yang tertera pada undang-undang.

Bila peraturan presiden tentang susunan organisasi TNI disahkan seperti rancangan semula, Hasanuddin khawatir aturan itu akan "melegalkan" kerja sama TNI dengan lembaga sipil tanpa perlu melalui keputusan politik negara. Karena itu, ia menyarankan rancangan tersebut dikaji ulang. "Kalau mau buat aturan main baru, harus selevel undang-undang," ujar Hasanuddin.

Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Letnan Jenderal Ediwan Prabowo mengatakan masih membahas rancangan tersebut. "Penelaahan juga melibatkan kementerian lain karena harus menyesuaikan dengan undang-undang yang ada," katanya Rabu pekan lalu. Semula, menurut Ediwan, Kementerian Pertahanan menargetkan peraturan presiden itu rampung akhir tahun ini. "Tapi kami melihat situasi juga," ucapnya.

Ari Dwipayana dari Tim Komunikasi Presiden Joko Widodo tak mau berkomentar banyak soal rancangan peraturan presiden tersebut. "Draf itu belum sampai ke tangan Presiden. Masih dibahas di tingkat kementerian dan Mabes TNI," kata Ari, Selasa pekan lalu.

Syailendra Persada, Faiz Nashrillah, Indra Wijaya


AYAT-AYAT BERSEBERANGAN

1. Ayat 3 Pasal 7
- Undang-Undang TNI: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
- Rancangan Peraturan Presiden Organisasi TNI: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Penjelasan: Ayat 2 pasal 7 menjelaskan tentang Operasi Militer Untuk Perang (huruf a) dan Operasi Militer Selain Perang (huruf b). Artinya, dalam rancangan perpres justru operasi perang harus sepengetahuan DPR.

2. Pasal 5
- Undang-Undang TNI: TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
- Rancangan Perpres Organisasi TNI: TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan: TNI memasukkan unsur keamanan dalam tugas mereka sehingga berpotensi bersinggungan dengan kepolisian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus