BORIS Yeltsin sekali lagi membuat sejarah. Akhir pekan lalu, perundingannya dengan presiden Dana Moneter Internasional, perundingan yang diawali akhir April lalu, sukses. Rusia beserta republik lain bekas Uni Soviet resmi diterima menjadi anggota lembaga keuangan internasional itu. Sukses kedua diraih oleh presiden Rusia itu empat hari kemudian di Munchen, Jerman. Pada hari terakhir Konperensi Tingkat Tinggi Tujuh Negara Industri, lazim disebut G7, di Munchen itu Yeltsin muncul sebagai tamu. Tujuan kehadirannya, untuk meminta tenggang waktu pembayaran utang luar negeri bekas Uni Soviet yang jumlahnya hampir US$ 75 milyar. Ditemani penasihat ekonominya yang juga menjabat perdana menteri, Yegor Gaidar, di hadapan para pemimpin G7 itu Yeltsin langsung menceritakan kesulitan ekonomi negaranya. "Rusia harus membayar harga sangat tinggi untuk mengganti sistem totaliter lama," ujarnya. Akhirnya, pembayaran utang itu ditangguhkan dua tahun. Selain itu, pihak G7 pun bersedia menyumbangkan dana US$ 700 juta, untuk memperbaiki 45 reaktor nuklir yang tersebar di seluruh wilayah ke-15 negara persemakmuran Soviet, yang kini sebagian besar terancam bocor karena kurangnya dana pemeliharaan. Memang semua itu tak diperoleh Yeltsin dengan gratis dan mudah. Sejak awal perundingan, pihak Dana Moneter mengajukan syarat macam-macam, antara lain dicabutnya kontrol harga bahan bakar, ditekannya inflasi, dikuranginya berbagai subsidi sosial untuk memberikan dana US$ 24 milyar yang diminta. Dan itu memberi angin kepada kelompok garis keras untuk menyerang Yeltsin. Presiden Rusia itu dituduh kelompok tersebut hendak menjual "warisan dan harga diri Rusia". Kurang jelas kemudian, kompromi apa saja yang dicapai. Menurut Yeltsin pada pers dalam negerinya, dana itu bukan pemberian, tapi berupa kredit normal, karena itu "kita tak harus berlutut untuk memperolehnya." Tapi menurut kantor berita Reuters, yang mengutip seorang pejabat Dana Monter, setidaknya dua syarat disetujui kedua belah pihak. Yakni untuk menekan inflasi di Rusia, yang kini bergerak di antara 15% dan 20% persen, hanya menjadi di bawah 10%. Dan untuk menekan defisit anggaran belanja sebesar 17% dari penghasilan nasionalnya sampai hanya 5% pada akhir tahun ini. Yang jelas, Boris Yeltsin, sejak memimpin Rusia setelah Uni Soviet bubar, secara tidak langsung memang sudah menjalankan hal-hal yang diinginkan oleh kelompok G7. Yakni reformasi ekonomi, dengan antara lain menerapkan sistem pasar bebas, swastanisasi, dan pemotongan subsidi sosial. Setahun yang lalu, semasa masih ada Uni Soviet, Mikhail Gorbachev gagal memperoleh kredit dari kelompok G7, yang kala itu bersidang di London. Waktu itu para pemimpin negara industri itu mengatakan bahwa Uni Soviet belum benar-benar menjalankan pasar bebas dan swastanisasi pertanian dan industrinya. Kesungguhan Yeltsin menerapkan pasar bebas memang tampak, ironisnya, dengan terlihat makin susahnya hidup seharihari di Rusia. Itu karena dampak pasar bebas adalah naiknya harga berkali lipat. Di antara mereka yang turun standar hidupnya adalah Yuri Pronin, yang hidup di sebuah kamar sempit, dengan tempat tidur sebuah papan kasar bekas pintu. Lelaki pincang berusia 47 tahun ini bekas pekerja pabrik di Kota Kaliningrad, yang pada 1989 menjadi penganggur karena cekcok dengan manajernya. Dan ia pindah ke Moskow. "Sampai tahun lalu," katanya pada majalah Time, "masih zaman komunis, saya mendapat tunjangan 30 rubel." Dan itu cukup untuk hidup karena harga-harga kebutuhan pokok masih rendah dengan adanya subsidi pemerintah, di samping ia nyambi membuat barang seni. Kini, di zaman harga membubung dan tunjangan sosial banyak dihapuskan, tunjangan cacatnya tak berubah. "Saya kini hanya hidup dengan roti, garam, dan air," tuturnya. Potret lain memburuknya keadaan ekonomi warga Rusia adalah hidup Antonina Savelyev. Ibu berusia 79 tahun ini adalah istri bekas atase perdagangan Soviet di Washington dan New York. Ketika suaminya pensiun, tahun 1970-an, "Kami masih bisa membeli apa pun yang kami inginkan." Tapi kini, setelah harga-harga membubung sampai tiga kali lipat, dan Desember lalu suaminya meninggal, ia harus ikut antre bersama para jompo lainnya di dapur umum Kesatuan Penyelamatan Moskow, tiga kali dalam seminggu. Di luar itu ia harus cukup puas dengan makaroni dan ikan kaleng. Pronin dan Savelyev adalah contoh dari sekitar 8.000 penganggur yang terdaftar di Moskow saat ini. Dalam musim dingin mendatang, angka itu bisa mencapai 60.000. Dan itu belum termasuk 2 juta dari 8 juta buruh yang bekerja di 2.500 industri militer, yang bakal dirumahkan akhir tahun ini, akibat pemangkasan anggaran sebesar 65% di industri militer. Mungkin itulah yang meyakinkan Dana Moneter Internasional dan kelompok G7, bahwa Rusia harus dibantu agar keadaannya tak lebih buruk. Menurut New York Times, Rusia, yang menanggung 80% utang luar negeri Uni Soviet, tahun ini baru bisa membayar 30% dari jumlah bunga yang harus dibayarnya. Republik-republik lain bahkan belum mencicil sepeser pun. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini