Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kode etik untuk sultan

Para sultan malaysia tak bisa lagi seenaknya. dua pekan lalu diteken dokumen yang merinci hak-hak para sultan.

18 Juli 1992 | 00.00 WIB

Kode etik untuk sultan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PADA mulanya adalah hal biasa. Sultan Kelantan dari Malaysia belum lama ini membeli sebuah mobil mewah Lamborghini buatan Italia di London. Ia kemudian minta dispensasi pada pemerintah Malaysia agar membebaskan pajak impor bagi mobilnya yang sebesar 2,1 juta ringgit. Para sultan di Malaysia memang punya hak memiliki tujuh mobil bebas cukai. Yang kemudian menjadikan korankoran Kuala Lumpur menuliskan kisah Sultan Kelantan sebagai kepala berita adalah tindakannya. Karena pernyataan bebas pajak dari Menteri Keuangan tak juga diperolehnya, sang Sultan bersama dengan sopir pribadinya suatu hari pergi ke bagian kargo di Bandara Subang, Kuala Lumpur. Dengan alasan hanya untuk mencoba mobil mewah itu, sultan bersama sopirnya meluncurkan mobil itu keluar dari kompleks kargo. Tak seorang pun karyawan bea dan cukai Malaysia keberatan, apalagi Sultan sendiri yang datang. Tapi lama Lamborghini tak balikbalik ke Bandara. Bahkan esok harinya juga tidak. Di hari ketiga ternyata si Lamborghini jalan-jalan di Kelantan. Maka, seluruh negeri pun heboh. Tampaknya, sahibul hikayat yang menceritakan perintah pahlawan Melayu Hang Tuah, bahwa raja mesti disembah dan adat harus dijunjung, yang menyebabkan para raja Melayu punya hak istimewa untuk berbuat semaunya, masih hidup pada zaman Malaysia berkonstitusi. Pasal 30 Butir 4 UUD Malaysia menjamin hak dan kedudukan serta kemuliaan para sultan tak dapat diganggu gugat oleh parlemen tanpa persetujuan Dewan Raja-Raja. Tersebut belakangan adalah lembaga komunikasi antar sembilan penguasa tradisional di sembilan negara bagian Malaysia. Tapi perilaku Sultan Kelantan membuat Perdana Menteri Mahathir Mohamad marah besar. Kata Mahathir, kalau para pemimpin tak tunduk pada hukum, bagaimana mereka bisa menuntut rakyat untuk mengikuti undangundang yang berlaku. "Kalau ada pihak-pihak yang melanggar hukum dan kita tak menindaknya, rakyat pasti akan mengatakan kita tak adil," kata sang Perdana Menteri. Mungkin karena Pasal 30 Butir 4 tadi, Sultan Kelantan bukannya malu malahan membalas pernyataan Mahathir dengan mengatakan ada pihak-pihak yang tak menyenangi lembaga kerajaan. "Beta yakin maruah beta adalah maruah rakyat negeri ini." Maruah itulah sinonim kehormatan. Peristiwa empat bulan lalu itulah yang kemudian menjadi pemicu lahirnya dokumen yang disebut Perisytiharan Raja-Raja. Sabtu dua pekan lalu enam dari sembilan raja Malaysia menyetujui dokumen yang kira-kira isinya semacam kode etik bagi para penguasa tradisional tersebut. Dalam dokumen itu disebutkan batas-batas yang jelas seorang sultan boleh ikut campur dalam politik, bisnis, dan kegiatan sosial lainnya, yang selama ini tak dirinci dalam sebuah aturan, apalagi undang-undang. Sebenarnya pemerintah federal di Kuala Lumpur sudah lama merasa tak berdaya menghadapi ulah para sultan di sembilan negara bagian. Sebelum kasus kelantan itu, misalnya, Sultan Trengganu menekan pemerintah lokal untuk memberikan proyekproyek itu kepada para kontraktor yang dekat dengan istana. Lalu, Sultan Selangor beberapa waktu lalu dengan enak menyulap dua lahan pertanian seluas 160 dan 600 hektare menjadi lapangan golf. Sebelumnya, Sultan ini membatalkan sebuah proyek perumahan untuk rakyat. Sejauh ini Selangor tampaknya memegang prestasi dalam hal kemelencengan sultannya dari undangundang. Menteri besar (kepala pemerintahan negara bagian) Selangor terdahulu pernah berhasil membongkar korupsi yang dilakukan oleh Sultan Selangor. Sultan ketahuan menyalahgunakan dana pembangunan asrama sebuah sekolah agama untuk merenovasi istananya. Tapi bukannya dana dikembalikan, menteri besar itulah yang kemudian tertendang jatuh. Dan baik Sultan Trengganu maupun Selangor, dan juga Sultan Kelantan, karena UUD, tak bisa dibawa ke pengadilan. Tak semua sultan, memang, berbuat seenaknya, dengan berlindung di bawah Pasal 30 Butir 4 itu. Sultan Pahang beserta keluarga diketahui taat berjalan sesuai dengan undang-undang, meski mereka terjun pula dalam bisnis minuman ringan, telekomunikasi, dan pendidikan. Tapi Perisytiharan Raja-Raja tampaknya tak akan segera efektif untuk mengontrol perilaku para sultan. Seperti sudah disebutkan, hanya enam sultan bersedia menerimanya. Tiga yang lain, yakni Sultan Kedah, Johor, dan Kelantan, menolaknya. Sultan Kelantan, lewat sekretaris pribadinya, malah menuduh ini semua permainan UMNO, partainya Mahathir. Dan karena yang mayoritas di Kelantan adalah partai PAS, tak ada keharusan bagi Kelantan untuk menyetujui dokumen itu. Penerimaan enam sultan itu pun bisa tidak mengikat, karena menurut kebiasaan selama ini setiap keputusan yang berkenaan dengan para sultan harus disetujui oleh Dewan Raja-Raja. Itu sebabnya, Sultan Kelantan berani mengatakan bahwa "kode etik dari langit" pun tak mempengaruhi segala kepentingan kelompok. Apalagi para sultan pun sudah mengatur menteri besarnya. Biasanya, menteri besar yang diangkat adalah mereka yang bisa diperalat. Ini menjelaskan mengapa kasus di Selangor, seorang menteri besar mengusut korupsi sultan jarang terdengar. Bila Sultan Kelantan menyebut-nyebut UMNO, memang mesti diakui berhasilnya Mahathir merayu sebagian dari sultan Malaysia untuk menandatangani dokumen itu adalah karena partai tersebut. Selama dua tahun, sejak 1990, Mahathir berusaha membatasi hak istimewa yang dinikmati para sultan yang sering disalahgunakan itu. Tapi para sultan selalu bersikeras untuk tak tunduk pada tekanan pemerintah. Belakangan, karena tuntutan dari khalayak UMNO yang rupanya menjadi partai mayoritas di banyak negara bagian, kecuali di Kelantan, membuat para sultan terpaksa menyerah juga. Tampaknya, para sultan merasa khawatir jika mereka tak menyetujui dokumen itu, jangan-jangan pengikut UMNO bikin ulah. Mahathir memang pernah mengingatkan, bila para sultan tak mau mengikuti undang-undang, bisa saja terjadi revolusi dari bawah. Dan itu bisa mengubah Malaysia sebagai kerajaan berkonstitusi menjadi republik. "Kami tak bermaksud menjatuhkan martabat para sultan," kata Menteri Penerangan Mohamed Rahmat yang juga Sekjen UMNO itu tentang Perisytiharan Raja-Raja. Sebaliknya, katanya lagi, dengan adanya dokumen itu kemuliaan dan kedudukan para sultan akan lebih terlindungi. Mohamet Rahmat mengatakan bahwa sejarah nasional Malaysia tak bisa dipisahkan dari sejarah istana. Almarhum Datuk Onn bin Jaa'far, orang kelahiran Johor, bisa mendirikan UMNO pada Maret 1946 dan menentang rencana Inggris untuk mendirikan Uni Malaya karena adanya dukungan istana. Adanya fakta sejarah ini tak lalu menjadi gampang bagi pemerintah federal mana pun untuk menghapuskan kesultanan. Ini sekaligus membantah analisa-analisa para pengamat politik di Malaysia, bahwa Perisytiharan Raja-Raja merupakan langkah awal menuju sebuah republik Malaysia. A. Dahana (Jakarta) dan Ahmad Latif (Kota Bharu, Kelantan, Malaysia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus