DALAM sidang Komite Sentral Partai Komunis Cina (PKC) 20 Oktober silam, doktrin Marxisme masih digunakan untuk memperkuat garis partai. Bahkan ada juga kutipan dari Lenin. Tapi Jumat lalu, lebih dari satu bulan kemudian, Marxisme dinyatakan usang, tidak cocok untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi Cinamodern. Dunia luar terkejut. Lagi-lagi satu perkembangan baru di Cina yang tidak diduga ahan secepat dan sehebat itu. Talak (atau purik?) dengan komunisme itu secara resmi dinyatakan dalam tajuk rencana Harian Rakyat edisi Jumat pekan lampau. Di situ tertulis, "Marx wafat 101 tahun yang lalu, karya-karyanya berusia lebih dari satu abad. Sebagian mencerminkan pandangannya tentang masa yang sudah lama lewat. Situasi kemudian sangat berubah. Beberapa gagasannya sudah ketinggalan. Banyak hal yang tidak dialami Marx, Engels, dan Lenin. Kita kini tidak mungkin lagi tergantung pada pikiran dan gagasan mereka ...."Komunisme ditolak mentah-mentah? PKC meninjau kembali prinsip-prinsip ideologi mereka? Atau RRC memasuki tahap baru dalam revolusi dengan mengingkari ideologi negara yang sudah dipandang keramat selama tiga dasawarsa? Para pengamat asing di Beijing menyimpulkan, deklarasi itu adalah isyarat paling akhir tentang adanya penolakan terhadap komunisme secara bertahap. Secara lebih menjurus ada yang berkata bahwa tajuk rencana Harian Rakyat itu tak lain bermaksud mengkritik sejumlah anggota PKC yang berkiblat mutlak pada teori Marx abad ke-19 tanpa mempermasalahkan kenyataan masa kini. Namun, benar bila dikatakan bahwa tajuk itu mencerminkan pandangan orang kuat Cina Deng Xiaoping. Dia menyerukan "sosialisme dengan perwatakan Cina" bersama sloan palin populer belakanan ini, "Sosialisme Bukan Berarti Kemiskinan". Dalam penerapannya, rakyat mesti menyadari kenyataan masa kini yang tidak lain adalah empat modernisasi. Penyimpangan dari kenyataan ini bisa menghambat kemajuan. Ditegaskan bahwa ekonomi adalah lautan mahaluas dengan banyak masalah yang tidak tertulis di buku. Untuk itu kita harus melakukan penelitian, mempelajari kenyataan, dan menemukan metode baru demi mengatasi berbagai masalah. Kalimat-kalimat pintar tersebut tentulah dimaksudkan untuk mendukung pembaruan ekonomi yang dilancarkan Deng sejak dua tahun silam dan menemukan puncaknya akhir tahun ini. Bertolak dari reformasi di pedesaan yang membolehkan petani menjual hasil buminya di pasar bebas untuk kemudian membuka bidang usaha sendiri, Deng mencoba resep yang bersemangat sama kepada 200 juta penduduk kota. Pembaruan ekonomi kota sekaligus memperkenalkan persaingan terbuka, keleluasaan untuk berganti lapangan kerja, peningkatan upah berdasarkan prestasi kerja, dan pada akhirnya penghapusan subsidi untuk bahan makanan dan barang mentah. Deng yakin, kemajuan ekonomi kota akan mencatat hasil mengesankan dalam tiga sampai lima tahun. Barangkali dia terlalu optimistis, karena kemajuan seperti itu menuntut penanganan bidang industri dan perdagangan yang pelik, tidak sekadar membangun "zone ekonomi khusus". Tapi apa pun kesulitannya Deng tampaknya tidak akan mundur. Bukankah seperti yang ditekankan tajuk Harian Rakyat, bila Cina tidak meninggalkan Marxisme, negeri itu akan "mengingkari kenyataan dan bisa tertinggal jauh di belakang"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini