Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tangan Asing di Balik Capriles

Chavez menemukan fakta bahwa banyak tangan asing bekerja untuk lawan politiknya. Tim suksesnya mengambil keuntungan dari isu itu.

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA pesawat sewaan itu mulus mendarat di Bandar Udara Louis Armstrong, New Orleans, Amerika Serikat, Kamis pagi pekan lalu. Dari lambungnya keluar seratus orang lebih berparas Latin sambil menenteng barang bawaan. Sesaat setelah keluar dari gerbang bandara, mereka yang merupakan imigran Venezuela itu sibuk mencari penginapan untuk mengikuti hajatan hari pemilihan.

Kesibukan lain terjadi di Miami, kota di sebelah tenggara Negara Bagian Florida. Puluhan bus, karavan, hingga mobil pribadi berkemas. Sekitar 20 ribu imigran Vene­zuela di sana siap berarak selama 32 jam menuju New Orleans untuk ambil bagian dalam pemilihan Presiden Venezuela, Ahad lalu.

Warga Venezuela di Miami memang tak bisa mencoblos di kota mereka karena Konsulat Venezuela yang ada di sana sudah tutup. Penutupan itu berlangsung sejak pemerintah Presiden Barack Obama menuduh kantor konsulat itu dijadikan sarang para peretas, yang selama ini mengganggu kenyamanan Gedung Putih, seiring dengan melambungnya tensi ketegangan antara Abang Sam dan Iran, negara sekutu Venezuela.

"Apa pun akan kami tempuh untuk mengalahkan Chavez dalam pemilihan kali ini, walau harus menjual jam tangan peninggalan ayah saya atau menanggalkan kaus yang sedang saya pakai," kata Jesus Lopez, konsultan keuangan yang lama tinggal di Miami.

Ya, para ekspatriat yang rata-rata mengungsi ke Amerika Serikat sejak 1999 itu sangat antusias mengalahkan Hugo Rafael Chavez Frias. Bagi para borjuis pengkhianat—sebutan untuk mereka dari pemerintah Chavez—lelaki 57 tahun yang sudah bercokol di kursi kepemimpinan Venezuela sejak 1998 itu adalah penyebab segala keterpurukan di tanah airnya.

"Sebanyak 98 persen pemilih di luar Venezuela kembali akan berseberangan dengan Chavez, seperti yang terjadi pada pemilihan sebelumnya," kata Andres Morrison, pendiri Aero Votar, organisasi nonprofit yang mensponsori perjalanan para imigran menuju New Orleans melalui donasi yang mereka sebar ke seluruh dunia.

Tensi pemilihan Presiden Venezuela kali ini memang berbeda. Lebih panas dari tahun kapan pun. Kubu Chavez menuduh ada campur tangan asing yang mencoba mengobok-obok kondisi politik di negaranya. "Dukungan asing terlihat jelas. Dukungan dana untuk menggulingkan Chavez menggelontor tak terbendung dari tangan-tangan tak terlihat karena dibungkus donasi demi demokrasi," kata Adan Chavez, kakak kandung sang presiden, yang juga ketua tim sukses Chavez.

Adan lantas mencontohkan lembaga swadaya masyarakat Aero Votar, yang membiayai perjalanan, dan Yayasan VotoDondeSea, yang menanggung semua keperluan hidup para imigran Venezuela selama proses pencoblosan di New Orleans, sebagai dua dari sekian banyak antek kepentingan asing itu. "Bayangkan dari mana mereka mendapatkan uang Rp 3,4 miliar untuk menanggung hidup 215 ribu imigran­ Venezuela selama sepekan di New Orleans sebelum pemilihan? Dari donasi internasional? Saya rasa itu omong kosong," katanya.

Kecurigaan kubu Chavez atas adanya "tangan asing" bermula pada awal September lalu. Saat itu, sebuah dokumen rahasia bocor ke tangan koalisi sayap kiri pendukung Chavez. Dalam dokumen itu dinyatakan rencana oposisi membuat keonaran di Venezuela menjelang pemilihan. Jalannya: lewat manipulasi atau keengganan mengakui hasil pemilihan. "Kebakaran kilang Amuay juga merupakan salah satu tindakan sabotase mereka. Itu dirancang Kedutaan Amerika yang berada di Karakas," kata pernyataan resmi koalisi kepada wartawan, sebulan lalu.

Sangkaan koalisi itu merupakan tuduhan serius bagi oposisi, meski Chavez tidak segera mempercayainya. Ia dan timnya memilih jalan untuk terus menginvestigasi cara tangan-tangan asing itu bekerja. Seorang pengamat politik Venezuela, Manuel Montaez, berpendapat, "Bukan tidak mungkin kelompok oposisi dan pemerintah Amerika Serikat ada di belakang persekongkolan keonaran di Venezuela."

Apa yang dikatakan Montaez lantas terjawab dengan terkuaknya sebuah skandal video yang cukup menggemparkan suasana politik Venezuela. Dalam video itu, seorang pejabat Majelis Nasional, Juan Carlos Caldera, dari kubu oposisi, terekam sedang menerima segepok uang US$ 9.300 atau setara dengan Rp 90 juta di dalam amplop dari seorang pengusaha asing yang belakangan diakuinya bernama Wilmer Ruperti. Uang itu diberikan kepada Caldera agar ia sudi mempertemukan sang pengusaha dengan si calon penantang Chavez, Henrique Capriles Radonski.

Tudingan soal tangan asing itu buru-buru ditangkis kubu Capriles. Alih-alih menjawab siapa dan apa kepentingan Ruperti sang pengusaha, Capriles memecat Caldera dari tim suksesnya. Ia juga menuding Chavistas (sebutan untuk para pendukung setia Chavez) berada di balik semua fitnah soal barisan oposisi. "Ini cara-cara kotor yang biasa mereka mainkan. Kami akan terus melawan," katanya saat diberondong wartawan ihwal skandal video suap yang menimpa kubunya.

Capriles lantas mengejek cara kampanye tim sukses Chavez yang ia nilai lebih narsis ketimbang mendengarkan isu keluh-kesah rakyat soal hidup mereka yang semakin melarat. "Seharusnya tidak ada tempat bagi pemimpin yang tidak mau mendengar keluhan rakyatnya," katanya awal pekan lalu saat berkampanye di kawasan kumuh di pinggiran Karakas.

Caldera, yang kadung dipecat, juga ikut bersaksi bahwa uang yang ia terima bukanlah untuk Capriles, melainkan dana yang diberikan sang pengusaha untuk pencalonannya sebagai Wali Kota Sucre, kota berjarak 23 kilometer dari Karakas, April tahun depan. Namun banyak pihak tidak mempercayai ucapannya.

Skandal ini jelas mengancam popularitas Capriles, yang sedang naik daun dengan slogan "kiri modern"—mengawinkan sosialisme dengan kesejahteraan rakyat. Sepekan sebelum pemilihan, berdasarkan jajak pendapat dari lembaga survei ternama Datanalisis, anak muda itu melejit meraih 39 persen dukungan dan hanya terpaut 10 persen dari si penguasa lama, Chavez, yang meraih 49 persen suara. Tapi, apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur. Gara-gara Caldera setitik, rusak usaha tim sukses semuanya.

Lengkap sudah hipotesis Adan Chavez tentang adanya kekuatan asing di balik panas pemilihan presiden di Venezuela. Namun dengan santai ia lantas berseloroh, "Berapa banyak yang memilih di New ­Orleans? Kami tidak akan pernah takut."

Perhitungan Adan sepertinya benar: pemilih yang akan mencoblos di luar Vene­zuela hanya secuil kecil dari 29 juta jiwa rakyat Venezuela. Bagi kubu Chavez, mereka tak perlu dihiraukan.

Sandy Indra Pratama (CBS, New York Times, Venezuela Anaysis, Time)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus