Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lenyap Sudah Alasan 'Belum Ada Izin Presiden'

Mahkamah Konstitusi menghapus pasal yang menyatakan pemeriksaan kepala daerah harus lewat izin presiden. Sesuatu yang selama ini menjadi hambatan memeriksa kepala daerah yang terlibat kasus korupsi.

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rahudman Harahap masih lincah menjalankan perannya sebagai Wali Kota Medan. Rabu pekan lalu, ia hadir pada penyerahan penghargaan Kota Layak Anak yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Hotel Sahid, Jakarta. Jumat paginya, dia sudah muncul pada peringatan ulang tahun TNI ke-67 di markas Komando Daerah Militer I Bukit Barisan, Medan.

Kendati demikian, itu bukan berarti ia tak menghadapi masalah. Rahudman sadar putusan Mahkamah Konstitusi dua pekan lalu, yang melenyapkan ketentuan adanya izin presiden untuk memeriksa kepala daerah, bisa berimbas ke dirinya. Padahal, dari sisi waktu, bisa disebut ia masih lama menjabat wali kota, tiga tahun lagi. ”Karena itulah kami sedang menyiapkan langkah-langkah penanganan untuk menghadapi kasus ini,” kata Rahudman kepada Tempo setelah menghadiri upacara HUT TNI tersebut.

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada 2010 menetapkan pria berkumis lebat ini sebagai tersangka kasus korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa Tapanuli Selatan sebesar Rp 13,8 miliar pada 2004. Dari jumlah tersebut, Rahudman, yang saat itu menjabat sekretaris daerah, diduga menikmati Rp 1,5 miliar. Walau sudah belasan saksi diperiksa dalam perkara ini, penyidik tak kunjung memeriksa Rahudman. ”Pemeriksaannya masih terbentur proses pengurusan surat izin kepada presiden,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Noor Rachmad, Agustus lalu.

Perkara izin itulah yang kini jadi perbincangan hangat para aktivis korupsi dan sejumlah kepala daerah. Rabu dua pekan lalu, putusan penting diketuk Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. Sembilan hakim konstitusi sepakat menghapus butir pertama dan kedua Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah atau wakilnya harus melalui izin tertulis dari presiden.

”Ini bertentangan dengan prinsip bahwa semua warga negara sama di depan hukum, yang tercantum dalam UUD 1945,” kata Mahfud kepada Tempo. Izin ini, kata Mahfud, tidak diperlukan, bahkan menghambat penyidikan. Menurut dia, keputusan memeriksa seorang tersangka cukup diambil dari penetapan internal penyidik. ”Kalau harus menunggu izin, bisa lama. Tersangka juga berpotensi menghilangkan barang bukti.”

Hakim mempertahankan salah satu butir yang menyatakan penahanan harus dengan izin tertulis dari presiden. Menurut Mahfud, presiden perlu mengetahui seorang kepala daerah akan ditahan agar bisa segera mengisi kekosongan jabatan. Di sini Mahkamah memberi batasan. Jika setelah 30 hari surat permohonan tak kunjung berbalas, kepala daerah bisa ditahan. ”Asumsinya, selama 30 hari itu presiden sudah tahu si kepala daerah akan ditahan,” ujarnya.

Sejumlah kepala daerah dipastikan memang bakal menjadi ”korban” dari putus­an ini. Itu karena, seperti kata Mahfud, putusan Mahkamah bisa langsung diterapkan. Salah satunya ya Rahudman. Saat ditanyai kemungkinan dia segera diperiksa kejaksaan karena tak perlu lagi ada izin dari presiden, Rahudman mengatakan itu tak jadi masalah. ”Kapan saja, saya siap diperiksa, asalkan sesuai dengan ketentuan,” katanya.

Sebagai saksi, keterangan Rahudman penting untuk menjelaskan aliran anggaran. Tapi, setahun setelah ia ditetapkan sebagai tersangka, dengan alasan belum ada izin, Kejaksaan Tinggi tak memeriksanya. Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Marcos Simare-mare, kasus Rahudman sudah digelar di Kejaksaan Agung. Seusai gelar acara tersebut, pihaknya mengira bisa mengurus izin memeriksa Rahudman itu langsung ke Presiden. Ternyata tidak. ”Kami tetap menunggu dari Kejaksaan Agung,” ujarnya.

Contoh kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah yang juga jalan di tempat adalah perkara Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek. Awang ditetapkan sebagai tersangka penjualan dan pengalihan saham PT Kaltim Prima Coal senilai Rp 576 miliar pada 2010. Saat itu Awang masih menjabat Bupati Kutai Timur.

Tapi, untuk soal Awang ini, Jaksa Agung Basrief Arief punya alasan. Penyidik, kata dia, belum memproses surat permohonan izin pemeriksaan karena masih menunggu kasasi dari Mahkamah Agung. Ada dua putusan yang berbeda terhadap dua terdakwa kasus ini. Direktur Utama Kutai Timur Energi Anung Nugroho dihukum enam tahun penjara, sementara Direktur Apidian Triwahyudi divonis bebas. ”Setelah ada kasasi, baru pemeriksaan bisa jalan lagi,” katanya.

Lambat turunnya izin presiden untuk memeriksa para kepala daerah itu memang dituding sebagai penyebab kejaksaan tak kunjung memeriksa kepala daerah yang tersangkut korupsi. April tahun lalu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan ada 61 surat permohonan izin pemeriksaan yang mangkrak di meja Presiden Yudhoyono sejak 2005. ”Salah satunya surat permohonan izin pemeriksaan terhadap Awang Faroek,” ujar Noor kala itu. Pernyataan ini langsung ditepis Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Ia mengatakan tak mungkin permohonan itu berlama-lama di atas meja presiden.

Menurut Mahfud, pernyataan-pernyataan seperti itu justru membuktikan ada yang tak beres dalam birokrasi pemeriksaan kepala daerah yang terlibat korupsi. Bisa jadi ada orang-orang di kedua institusi tersebut yang memanfaatkan celah mekanisme izin itu untuk memeras. ”Selama ini kan banyak disebut-sebut tersangka korupsi menjadi ATM oknum penegak hukum,” katanya.

Sebenarnya Pasal 36 Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah memberi batas waktu bagi presiden untuk meneken izin. Jika lewat dari 60 hari surat permohonan izin tak berbalas, kepala daerah bisa langsung diperiksa. Hanya, prakteknya, ternyata ini tak berjalan. Penyebabnya: sulit menentukan apakah sudah atau belum 60 hari itu. ”Sulit mengukur kapan surat permohonan itu masuk ke meja presiden,” ujar Mahfud.

Tak transparannya alur perjalanan izin presiden inilah yang, antara lain, menjadi alasan sejumlah penggiat antikorupsi mengajukan permohonan uji materi pasal 36 itu pada November tahun lalu. Di antaranya Feri Amsari (dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas), Zainal Arifin Mochtar Husein (dosen Universitas Gadjah Mada), Teten Masduki, dan Indonesia Corruption Watch.

Kepada Tempo, peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, menyatakan salah satu alasan institusinya memohon pengujian Pasal 36 Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu adalah mereka kerap menerima keluhan dari penyidik di kejaksaan dan kepolisian. Para penyidik, ujar dia, mengatakan tak mudah memproses kasus rasuah yang melibatkan kepala daerah. Para pemimpin daerah ogah diperiksa karena berlindung di balik surat izin presiden. ”Surat izin ini yang selalu menjadi hambatan utama pemberantasan korupsi,” ujar Febri.

Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan gembira terhadap putusan Mahkamah yang melenyapkan ketentuan adanya izin presiden ini. Hanya, kata dia, syarat memeriksa kepala daerah yang menyandang status tersangka korupsi adalah kejaksaan harus mengantongi kepastian adanya kerugian negara.

Kejaksaan pekan lalu sudah bergerak menindaklanjuti putusan Mahkamah. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto, pihaknya sudah mengedarkan putusan Mahkamah ini kepada semua kejaksaan tinggi dan negeri. ”Setiap ada kasus yang melibatkan kepala daerah, harus cepat ditangani,” katanya. Kali ini memang tak ada alasan lagi kejaksaan menyatakan ”belum ada izin dari presiden”.

Mustafa Silalahi, Soetana Monang Hasibuan (Medan), Indra Wijaya


JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam Lindungan Berbagai Alasan

Kejaksaan menjadi pihak yang paling disorot karena kasus pidana umum dan korupsi yang melibatkan kepala daerah banyak yang mandek. Setiap kali disentil, kejaksaan selalu beralasan penyidik terbentur masalah izin presiden. Tahun lalu Kejaksaan Agung menyatakan ada 61 kepala daerah yang sedang menanti izin ini. Inilah tujuh kepala daerah yang kasusnya paling banyak disorot.

1. Muhtadin Serai

  • Bupati Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan (Ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan)
  • Kasus: Dugaan korupsi pembangunan Pasar Saka Selabung senilai Rp 7 miliar pada 2004
  • Status: Tersangka
  • Keterangan: Pernah diperiksa sebagai saksi tapi belum diperiksa dalam status tersangka.

    2. Budiman Arifin

  • Bupati Bulungan, Kalimantan Timur (Ditangani Kejaksaan Negeri Nunukan)
  • Kasus: Diduga terlibat korupsi pembebasan lahan terbuka hijau senilai Rp 7,06 miliar pada 2004. Saat itu, ia masih menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Nunukan.
  • Status: Tersangka
  • Keterangan: Sudah tiga orang yang divonis bersalah, antara lain mantan Bupati Nunukan Abdul Hafid Achmad, yang divonis dua tahun penjara.

    3. Rahudman Harahap

  • Wali Kota Medan (Ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara)
  • Kasus: Diduga terlibat korupsi tunjangan pendapatan aparatur pemerintah desa di Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2005 senilai Rp 1,5 miliar
  • Status: Tersangka sejak 2010
  • Keterangan: Kejaksaan sempat mengusulkan surat penghentian penyidikan perkara. Namun kasus ini dibuka kembali.

    4. Buhari Matta

  • Bupati Kolaka, Sulawesi Tenggara
  • Kasus: Diduga menerima suap Rp 5 miliar berkaitan dengan izin tambang nikel
  • Status: Tersangka sejak Juli 2011
  • Keterangan: Kejaksaan sudah mengirim surat permohonan izin pemeriksaan kepada presiden. Namun izin belum turun.

    5. Awang FaroEk Ishak

  • Gubernur Kalimantan Timur
  • Kasus: Dugaan korupsi divestasi saham PT Kaltim Prima Coal yang merugikan negara US$ 63 juta atau sekitar Rp 576 miliar
  • Status: Tersangka oleh Kejaksaan Agung sejak 2010
  • Keterangan: Kejaksaan menyatakan masih mempelajari kasusnya karena salah satu terdakwa dibebaskan.

    6. Jamro H. Jalil

  • Bupati Bangka Selatan, Kepulauan Bangka-Belitung
  • Kasus: Korupsi dana KUT Rp 338 juta.
  • Status: Tersangka oleh Kejaksaan Negeri Sungailiat sejak 2007
  • Keterangan: Sampai Agustus 2010, kejaksaan mengatakan sudah tiga kali mengirim permohonan surat izin ke Presiden.

    7. Malikul Amdjad

  • Wakil Wali Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka-Belitung
  • Kasus: Diduga bersama semua anggota DPRD Kota Pangkalpinang periode 1999-2004 menerima gratifikasi dari Kepala Badan Keuangan Pemerintah Kota Pangkalpinang Umar H.S. Tiap anggota mendapat uang Rp 40 juta.
  • Status: TersangkaKeterangan: Belum diperiksa karena belum ada izin meski surat permohonan sudah diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2010.

    Terobosan Mahkamah Konstitusi

    Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

    Dihapus:
    (1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.
    (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

    Dipertahankan:
    3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2.

    Catatan:
    Dalam butir ini dimasukkan syarat penahanan bisa dilakukan bila lewat 30 hari dari surat permohonan penahanan yang dikirimkan kepada presiden.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus