Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahudman Harahap masih lincah menjalankan perannya sebagai Wali Kota Medan. Rabu pekan lalu, ia hadir pada penyerahan penghargaan Kota Layak Anak yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Hotel Sahid, Jakarta. Jumat paginya, dia sudah muncul pada peringatan ulang tahun TNI ke-67 di markas Komando Daerah Militer I Bukit Barisan, Medan.
Kendati demikian, itu bukan berarti ia tak menghadapi masalah. Rahudman sadar putusan Mahkamah Konstitusi dua pekan lalu, yang melenyapkan ketentuan adanya izin presiden untuk memeriksa kepala daerah, bisa berimbas ke dirinya. Padahal, dari sisi waktu, bisa disebut ia masih lama menjabat wali kota, tiga tahun lagi. ”Karena itulah kami sedang menyiapkan langkah-langkah penanganan untuk menghadapi kasus ini,” kata Rahudman kepada Tempo setelah menghadiri upacara HUT TNI tersebut.
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada 2010 menetapkan pria berkumis lebat ini sebagai tersangka kasus korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa Tapanuli Selatan sebesar Rp 13,8 miliar pada 2004. Dari jumlah tersebut, Rahudman, yang saat itu menjabat sekretaris daerah, diduga menikmati Rp 1,5 miliar. Walau sudah belasan saksi diperiksa dalam perkara ini, penyidik tak kunjung memeriksa Rahudman. ”Pemeriksaannya masih terbentur proses pengurusan surat izin kepada presiden,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Noor Rachmad, Agustus lalu.
Perkara izin itulah yang kini jadi perbincangan hangat para aktivis korupsi dan sejumlah kepala daerah. Rabu dua pekan lalu, putusan penting diketuk Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. Sembilan hakim konstitusi sepakat menghapus butir pertama dan kedua Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah atau wakilnya harus melalui izin tertulis dari presiden.
”Ini bertentangan dengan prinsip bahwa semua warga negara sama di depan hukum, yang tercantum dalam UUD 1945,” kata Mahfud kepada Tempo. Izin ini, kata Mahfud, tidak diperlukan, bahkan menghambat penyidikan. Menurut dia, keputusan memeriksa seorang tersangka cukup diambil dari penetapan internal penyidik. ”Kalau harus menunggu izin, bisa lama. Tersangka juga berpotensi menghilangkan barang bukti.”
Hakim mempertahankan salah satu butir yang menyatakan penahanan harus dengan izin tertulis dari presiden. Menurut Mahfud, presiden perlu mengetahui seorang kepala daerah akan ditahan agar bisa segera mengisi kekosongan jabatan. Di sini Mahkamah memberi batasan. Jika setelah 30 hari surat permohonan tak kunjung berbalas, kepala daerah bisa ditahan. ”Asumsinya, selama 30 hari itu presiden sudah tahu si kepala daerah akan ditahan,” ujarnya.
Sejumlah kepala daerah dipastikan memang bakal menjadi ”korban” dari putusan ini. Itu karena, seperti kata Mahfud, putusan Mahkamah bisa langsung diterapkan. Salah satunya ya Rahudman. Saat ditanyai kemungkinan dia segera diperiksa kejaksaan karena tak perlu lagi ada izin dari presiden, Rahudman mengatakan itu tak jadi masalah. ”Kapan saja, saya siap diperiksa, asalkan sesuai dengan ketentuan,” katanya.
Sebagai saksi, keterangan Rahudman penting untuk menjelaskan aliran anggaran. Tapi, setahun setelah ia ditetapkan sebagai tersangka, dengan alasan belum ada izin, Kejaksaan Tinggi tak memeriksanya. Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Marcos Simare-mare, kasus Rahudman sudah digelar di Kejaksaan Agung. Seusai gelar acara tersebut, pihaknya mengira bisa mengurus izin memeriksa Rahudman itu langsung ke Presiden. Ternyata tidak. ”Kami tetap menunggu dari Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Contoh kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah yang juga jalan di tempat adalah perkara Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek. Awang ditetapkan sebagai tersangka penjualan dan pengalihan saham PT Kaltim Prima Coal senilai Rp 576 miliar pada 2010. Saat itu Awang masih menjabat Bupati Kutai Timur.
Tapi, untuk soal Awang ini, Jaksa Agung Basrief Arief punya alasan. Penyidik, kata dia, belum memproses surat permohonan izin pemeriksaan karena masih menunggu kasasi dari Mahkamah Agung. Ada dua putusan yang berbeda terhadap dua terdakwa kasus ini. Direktur Utama Kutai Timur Energi Anung Nugroho dihukum enam tahun penjara, sementara Direktur Apidian Triwahyudi divonis bebas. ”Setelah ada kasasi, baru pemeriksaan bisa jalan lagi,” katanya.
Lambat turunnya izin presiden untuk memeriksa para kepala daerah itu memang dituding sebagai penyebab kejaksaan tak kunjung memeriksa kepala daerah yang tersangkut korupsi. April tahun lalu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan ada 61 surat permohonan izin pemeriksaan yang mangkrak di meja Presiden Yudhoyono sejak 2005. ”Salah satunya surat permohonan izin pemeriksaan terhadap Awang Faroek,” ujar Noor kala itu. Pernyataan ini langsung ditepis Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Ia mengatakan tak mungkin permohonan itu berlama-lama di atas meja presiden.
Menurut Mahfud, pernyataan-pernyataan seperti itu justru membuktikan ada yang tak beres dalam birokrasi pemeriksaan kepala daerah yang terlibat korupsi. Bisa jadi ada orang-orang di kedua institusi tersebut yang memanfaatkan celah mekanisme izin itu untuk memeras. ”Selama ini kan banyak disebut-sebut tersangka korupsi menjadi ATM oknum penegak hukum,” katanya.
Sebenarnya Pasal 36 Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah memberi batas waktu bagi presiden untuk meneken izin. Jika lewat dari 60 hari surat permohonan izin tak berbalas, kepala daerah bisa langsung diperiksa. Hanya, prakteknya, ternyata ini tak berjalan. Penyebabnya: sulit menentukan apakah sudah atau belum 60 hari itu. ”Sulit mengukur kapan surat permohonan itu masuk ke meja presiden,” ujar Mahfud.
Tak transparannya alur perjalanan izin presiden inilah yang, antara lain, menjadi alasan sejumlah penggiat antikorupsi mengajukan permohonan uji materi pasal 36 itu pada November tahun lalu. Di antaranya Feri Amsari (dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas), Zainal Arifin Mochtar Husein (dosen Universitas Gadjah Mada), Teten Masduki, dan Indonesia Corruption Watch.
Kepada Tempo, peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, menyatakan salah satu alasan institusinya memohon pengujian Pasal 36 Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu adalah mereka kerap menerima keluhan dari penyidik di kejaksaan dan kepolisian. Para penyidik, ujar dia, mengatakan tak mudah memproses kasus rasuah yang melibatkan kepala daerah. Para pemimpin daerah ogah diperiksa karena berlindung di balik surat izin presiden. ”Surat izin ini yang selalu menjadi hambatan utama pemberantasan korupsi,” ujar Febri.
Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan gembira terhadap putusan Mahkamah yang melenyapkan ketentuan adanya izin presiden ini. Hanya, kata dia, syarat memeriksa kepala daerah yang menyandang status tersangka korupsi adalah kejaksaan harus mengantongi kepastian adanya kerugian negara.
Kejaksaan pekan lalu sudah bergerak menindaklanjuti putusan Mahkamah. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto, pihaknya sudah mengedarkan putusan Mahkamah ini kepada semua kejaksaan tinggi dan negeri. ”Setiap ada kasus yang melibatkan kepala daerah, harus cepat ditangani,” katanya. Kali ini memang tak ada alasan lagi kejaksaan menyatakan ”belum ada izin dari presiden”.
Mustafa Silalahi, Soetana Monang Hasibuan (Medan), Indra Wijaya
JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam Lindungan Berbagai Alasan
Kejaksaan menjadi pihak yang paling disorot karena kasus pidana umum dan korupsi yang melibatkan kepala daerah banyak yang mandek. Setiap kali disentil, kejaksaan selalu beralasan penyidik terbentur masalah izin presiden. Tahun lalu Kejaksaan Agung menyatakan ada 61 kepala daerah yang sedang menanti izin ini. Inilah tujuh kepala daerah yang kasusnya paling banyak disorot.
1. Muhtadin Serai
2. Budiman Arifin
3. Rahudman Harahap
4. Buhari Matta
5. Awang FaroEk Ishak
6. Jamro H. Jalil
7. Malikul Amdjad
Terobosan Mahkamah Konstitusi
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dihapus:
(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
Dipertahankan:
3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2.
Catatan:
Dalam butir ini dimasukkan syarat penahanan bisa dilakukan bila lewat 30 hari dari surat permohonan penahanan yang dikirimkan kepada presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo