Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tantangan Adik Singa Panjshir

Banyak pejabat resah akibat persaingan di antara dua kubu di dalam pemerintah Afganistan. Ahmad Zia Massoud mengumpulkan dukungan bekas Mujahidin. 

25 April 2016 | 00.00 WIB

Tantangan Adik Singa Panjshir
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DI hadapan sekumpulan pria berewokan-sebagian adalah komandan pemberontak di masa invasi Uni Soviet-seorang lelaki berkaki satu meraih mikrofon dan menyorongkannya ke bibirnya, supaya suaranya lebih terdengar. "Kaum Mujahidin akan mencari syahid melawan Taliban," dia berteriak.

Rapat akbar di sebuah tempat di Provinsi Baghlan, bagian utara Afganistan, suatu Senin pada Februari lalu itu dihadiri Ahmad Zia Massoud. Politikus kawakan ini sebenarnya adalah pejabat pemerintah; dia Utusan Khusus Presiden untuk Reformasi dan Pemerintahan yang Baik. Tapi kedatangannya di tempat itu-di panggung, dikelilingi sekelompok tetua berbusana tradisional, dia tak segan-segan berpose untuk melakukan selfie-tak ada sangkut-pautnya dengan urusan kedudukannya. Dia sesungguhnya sedang menggalang kekuatan demi upayanya mengambil alih fungsi-fungsi yang tak bisa dijalankan pemerintah.

Di wilayah utara negara yang hingga kini terancam perpecahan itu, Zia Massoud bukan orang asing. Safarinya ke lima provinsi di sana, seperti digambarkan Sune Engel Rasmussen dalam tulisannya di Foreign Policy dua pekan lalu, mengundang kerumunan orang dalam jumlah besar. Tapi minat orang-orang sebenarnya bukan semata karena dia adalah adik Ahmad Shah Massoud alias Singa dari Panjshir, pemimpin legendaris Mujahidin yang tewas dibunuh Al-Qaidah pada 2001. Pesan-pesan yang diserukannyalah yang disambut orang-orang yang kecewa terhadap pemerintah.

Dalam pertemuan serupa di Provinsi Takhar, dia berbicara tentang rapuhnya keamanan di bagian utara Afganistan. "Musuh berusaha menjadikan kawasan utara tak aman. Tapi perang melawan Taliban dan kelompok-kelompok teroris lain adalah perang patriotik dan kewajiban nasional setiap warga negara," katanya, seperti dikutip Ahlulbayt News Agency.

Peringatan Zia Massoud tentang Taliban tak mengada-ada. Kelompok militan yang pernah berkuasa di Afganistan pada 1996-2001 ini pekan lalu tak hanya mengumumkan bakal menggelar serangan lagi bersamaan dengan datangnya musim semi, tapi bahkan telah memulainya. Mereka melancarkan aksi bom bunuh diri dan serbuan terhadap sebuah markas dinas keamanan di Kabul pada Selasa pekan lalu, menewaskan 64 orang dan melukai 320 orang lainnya.

Menurut Zia Massoud, Mujahidin harus mengambil alih kepemimpinan dalam situasi yang disebutnya "perang habis-habisan" itu. Berdiam diri, menurut dia, hanya akan mempercepat jatuhnya provinsi-provinsi di wilayah utara ke tangan Taliban.

Bisa jadi safari Zia Massoud berkebetulan dengan masa-masa sulit yang harus dihadapi pemerintah. Selain harus mencari jalan keluar dari deraan kemerosotan kinerja ekonomi, beberapa bulan terakhir pemerintah terpaksa kehilangan dukungan dari politikus, pemimpin milisi, mantan menteri, dan berbagai makelar kekuasaan. Berbalik menentang pemerintah, mereka menilai Presiden Ashraf Ghani dan Kepala Eksekutif Abdullah Abdullah terlalu lemah menghadapi Taliban dan tak cakap memerintah.

Meski demikian, sebagai tokoh yang sudah berpengalaman di pemerintahan bahkan sejak awal, ketika Afganistan baru lepas dari Uni Soviet, Zia Massoud seperti tahu persis isu apa yang bisa menggerakkan orang.

* * * *

Suasana hati orang-orang di wilayah utara diliputi cemas, terutama karena mereka harus menyaksikan betapa Taliban bisa dengan mudah menguasai lagi begitu banyak teritori, dalam tempo singkat pula. Berbicara di hadapan mereka, Zia Massoud berupaya menggambarkan dirinya sebagai wakil dari kalangan di pemerintah yang gigih melawan karena menganggap pemerintah gagal menaklukkan pemberontakan.

Dia mengkritik pemimpin tentara yang dinilainya tak kompeten. Dia menertawai perjudian politik paling sensitif yang sedang dijalankan Presiden Ghani: berupaya menghidupkan lagi perundingan damai dengan Taliban melalui perbaikan hubungan dengan Pakistan.

Satu hal lagi yang dia serukan: meminta para komandan di masa perlawanan terhadap Uni Soviet menghimpun anak buahnya dan bersiap menghadapi pertempuran di musim semi. "Kita bukan menyarankan perang, tapi tren perundingan damai saat ini tak bakal menghasilkan manfaat dan hanya buang-buang waktu," ujarnya.

Seruan yang terakhir itu bisa bertentangan dengan permintaan Presiden Ghani agar milisi-yang oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pernah disebut sebagai "satuan polisi lokal"-membubarkan diri. Ghani ingin menghentikan pelanggaran hak asasi yang kerap dilakukan milisi-milisi ini. Zia Massoud memang tak menyebut kata "milisi". Tapi, dari maksud dan tujuan ajakannya, itulah sesungguhnya yang hendak dia mobilisasi.

Bagaimanapun, safari Zia Massoud telah membeberkan betapa tak berfungsinya apa yang disebut pemerintah persatuan Afganistan sejak dibentuk pada 2014, seusai pemilihan umum yang hasilnya diperselisihkan itu. Ghani, pemenang resmi, menjadi presiden, dan Abdullah, yang juga mengklaim sebagai pemenang, menjabat kepala eksekutif. Konflik kepemimpinan nasional tak reda juga setelah itu, tapi mereka menutup-nutupinya.

Situasi itu menjadi penyebab buruknya kinerja pemerintah. Menurut hasil survei Asia Foundation yang dipublikasikan pada Januari lalu, kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga publik merosot tajam. "Melihat lemahnya pemerintah, jika ada ketidakstabilan, sangat mustahil pemerintah bisa menjalankan mandatnya setelah September," ucap Anwar ul-Haq Ahadi, bekas pendukung Ghani dan pernah menjabat Menteri Keuangan dalam pemerintahan Presiden Hamid Karzai, seperti dikutip The Washington Post.

Pada Januari lalu, Ahadi memilih menjadi oposisi dengan mendirikan Front Afganistan Baru. Dia berupaya menekan pemerintah agar setuju "kembali kepada rakyat dan meminta mandat baru"-dengan kata lain menggelar pemilu. 

* * * *

Pembagian kekuasaan antara Ghani dan Abdullah, yang diperantarai Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry, sebetulnya dibebani syarat. Untuk melegitimasi pemerintah, disepakati akan diselenggarakan pemilu parlemen dan majelis konstitusi paling lambat September tahun ini. Majelis itulah yang akan memutuskan apakah peran kepala eksekutif ditahbiskan sebagai jabatan resmi dengan kekuasaan seperti perdana menteri.

Dalam prakteknya, hingga kini, tak satu pun dari syarat-syarat itu yang telah dilaksanakan. Pemerintah justru ribut di dalam. Sidang kabinet, menurut Zia Massoud, hanya "memperdebatkan hal-hal remeh", bukan "isu-isu besar yang dihadapi negara". Beberapa pejabat dan mantan pejabat mengatakan kedua kubu juga membangun staf masing-masing, jarang berkoordinasi. Karena itu, reformasi, yang didengung-dengungnya jadi salah satu sasaran kerja, malah terabaikan.

Kebuntuan akibat perebutan kekuasaan internal itu bahkan menyebabkan pencalonan untuk jabatan menteri pertahanan tak kunjung rampung. Efek tarik-menarik kubu Ghani dengan kubu Abdullah juga merembet ke Kabul: kota berpenduduk empat juta orang ini tak punya wali kota.

"Abdullah dan Ghani; mereka tak bisa bekerja sama. Jika salah satu dari mereka bilang belok kanan, yang lain akan bilang belok kiri," kata Safiullah, pedagang buah di Kabul yang berusia 28 tahun.

Anwar ul-Haq Ahadi bisa memahami keputusasaan seperti itu. Menurut dia, jika pemerintah berkinerja baik, rakyat pasti mau memberikan kesempatan kepada pemerintah. "Tapi kenyataannya tidak. Pemerintah membuktikan diri sebagai bencana bagi negara ini," ujarnya.

Banyak diplomat asing menilai langkah yang ditempuh Zia Massoud pun-"turun ke jalan" menggalang kekuatan, alih-alih mendirikan organisasi politik seperti pejabat lain-tak bakal serta-merta membereskan masalah. Mereka sulit membayangkan ada pasukan "swasta" beroperasi di utara. "Itu mungkin saja menyelesaikan masalah keamanan setempat, tapi jelas tak bakal memperkuat negara," kata Franz-Michael Mellbin, Utusan Khusus dan Duta Besar Uni Eropa untuk Afganistan.

Purwanto Setiadi (Ahlulbayt News Agency, BBC, Foreign Policy, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus